Dua petani tebu asal Lampung mengaku dirugikan oleh sebuah perusahaan gula dengan total kerugian hingga Rp 6 miliar. Andi Karianto dan Winata selaku Ketua Kelompok Tani berjuang mencari keadilan di Jakarta sejak Desember 2022.
Andris Basril selaku kuasa hukum korban, mengatakan bahwa klien-kliennya yang berasal dari Way Kanan, Lampung Utara melakukan kerjasama dengan sistem bagi hasil. Korban menandatangani perjanjian kemitraan dengan sebuah perusahaan gula selama empat tahun.
Namun, karena Andi dan Winata merasa perjanjian tersebut tidak sesuai dengan hasil yang mereka dapatkan, keduanya pun melakukan somasi kepada perusahaan. Somasi tidak ditanggapi, mereka memutuskan membawa kasus ini ke jalur hukum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Andi dan Winata memasukkan gugatan di Pengadilan Negeri (PN) Blambangan Umpu dengan Nomor Perkara 9/Pdt.G/2023/PN Bbu. Gugatan berisi permintaan ganti rugi hasil panen 2022. Sidang perdana digelar pada 6 Juni 2023, setelah sebelumnya mediasi menemui jalan buntu.
"Sudah ada mediasi yang deadlock, tanggal 25 Mei 2023. Tawaran dari mereka (perusahaan gula) memberikan kompensasi untuk perdamaian itu Rp 50 juta untuk dua klien saya," jelas Andris Basril kepada detikSumbagsel, Senin (19/6/2023).
Terkait mediasi, lanjut Andris, pihaknya menolak karena dinilai tidak sesuai dengan hasil panen yang seharusnya didapatkan Andi, Winata, dan petani lainnya.
"Kalau mediasi kan tidak pokok perkara, hasil akhirnya perdamaian lanjut perjanjian. Namun, karena kami sudah (mengajukan) gugatan, ya nggak mungkinlah (menerima Rp 50 juta) karena mereka (perusahaan) punya utang 2022," jelas Andris.
Andris mengungkapkan belum ada hasil terbaru dari sidang per 6 Juni 2023 tersebut, karena saat itu baru agenda jawab-menjawab. Agenda sidang selanjutnya sudah ditetapkan. Andris mengatakan, pihak kliennya sudah siap membawa bukti surat-surat dan saksi.
"Sidang offline-nya tanggal 17 Juli ke depan, untuk bukti surat dan saksi," lanjutnya.
Terpisah, petani tebu Andi Karianto mengungkapkan jika ada sekitar 135 hektar lahan tebu yang dikelola oleh ratusan petani dan menghasilkan 12.150 ton. Namun kenyataan pahit harus ia terima. Sebab, pendapatan yang diperoleh tidak sesuai dengan modal yang dikeluarkan untuk budidaya tebu.
"Dari total 135 hektar dengan hasil panen dengan nilai rendemen 7,5% berdasarkan hitungan analisa perusahaan dan saya, seharusnya kami mendapatkan harga Rp 620.000 per ton, tapi kami hanya mendapat harga Rp 470.00 per ton," ujar Andi ditemui di Jakarta, Senin (5/6/2023).
Jika dihitung, kerugian yang dideritanya sebesar Rp 150.000 per ton. Dikalikan 12.150 ton, total kerugiannya mencapai Rp 1,650 miliar. Sementara itu, kerugian lainnya datang dari tebu yang belum ditebang dan dipanen di lahan seluas 135 hektare itu.
Andi mengungkapkan, mereka tidak bisa menebang dan menjual tebu-tebu itu ke pihak lain karena sudah terikat perjanjian dengan perusahaan yang dimaksud. Dia memperkirakan, potensi kerugian mencapai Rp 6,82 miliar.
Dalam perjanjian bagi hasil, Andi menjelaskan bahwa 66% diberikan untuk para petani, sedangkan perusahaan mendapatkan 33%. Namun, Andi menambahkan, dirinya tidak hanya menanggung biaya budidaya tebu tapi dia juga dibebankan dengan biaya sarana dan prasarana.
"Untuk perjanjian bagi hasil, 66% untuk kami, 33% untuk perusahaan. Tapi semua itu dibebankan kepada saya seperti pembuatan jalan, perawatan jalan, pajak, inhutani, dan sewa alat berat. Saya tidak sama sekali menerima uang bagi hasil tersebut, malah merugi," kata Andi.
Andi juga mengaku dirinya sempat mendapat intimidasi yang diduga dari pihak perusahaan gula asing tersebut. Ia mendapat ancaman akan dipenjara dan difitnah.
"Saya pernah mendapat pesan yang berisikan ancaman akan dipenjarakan dan yang kedua pihak perusahaan mengatakan ke petani-petani jika saya sudah menerima uang dan membawa kabur uang tersebut," kata Andi.
Selain itu, Andi juga mengeluhkan perbedaan perlakuan dari perusahaan antara petani di tempatnya dengan petani tebu di daerah lain. Dia menduga hal tersebut karena adanya bekingan dari pihak-pihak yang memiliki kewenangan, dalam hal ini pejabat dan aparat, di daerah lain tersebut.
"Berbeda dengan mitra yang dekat dengan perusahaan di Kabupaten Way Kanan, contohnya di Kecamatan Negara Batin itu berbeda," sambungnya.
(des/des)