Bawaslu Sulawesi Selatan (Sulsel) menyurati Wali Kota Makassar Mohammad Ramdhan 'Danny' Pomanto untuk tidak melakukan mutasi pejabat usai pencoblosan Pilkada 2024. Larangan tersebut membuat Danny geram usai menuding Bawaslu Sulsel telah bertindak di luar batas kewenangannya.
Larangan tersebut tertuang dalam surat bernomor: 1072/HK.03.04/K.SN/11/2024 yang diteken Ketua Bawaslu Sulsel Mardiana Rusli pada 28 November 2024. Surat itu terkait imbauan larangan melakukan penggantian pejabat pada penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota tahun 2024.
"Baru ada Bawaslu menulis surat seperti ini ke kepala daerah. Itu bukan kewenangan Bawaslu. Bawaslu hanya mengawasi, bukan mau apa namanya, (kepala daerah) mau mengganti (pejabat pemerintahan) atau tidak, bukan urusannya Bawaslu," tegas Danny kepada wartawan, Jumat (29/11/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Danny mengaku heran dengan imbauan Bawaslu Sulsel tersebut. Danny mencurigai adanya kepentingan tertentu dan dugaan intervensi terhadap Bawaslu Sulsel sehingga dirinya menjadi sasaran.
"Kenapa dia mau larang, larang itu sudah ada aturannya. Kenapa mesti saya, berarti ada yang pesan, kenapa Bawaslu ada yang pesan? Ini terungkap kalau ada yang pesan ini barang," tuturnya.
Dalam suratnya, Bawaslu Sulsel menuliskan langsung tujuan tersebut ke Danny selaku wali kota Makassar dan calon Gubernur Sulsel. Danny turut mempertanyakan maksud tujuan surat itu yang tertuju langsung ke dirinya.
"Kalau imbauan itu bukan kepada orang per orang, kepada semua calon yang menjabat. Ini dari redaksi (surat) berarti ada hubungan dengan menguntungkan seseorang," ucap Danny.
"Berarti ada orang yang kepentingannya yang disalurkan lewat Bawaslu. Tendensius ini, ada apa, justru ini mengungkap bahwa Bawaslu kepentingan orang," paparnya.
Danny menduga surat larangan tersebut muncul di tengah wacananya mencopot 10 lurah di Makassar yang diduga terlibat politik praktis. Namun Danny tidak merinci 10 lurah di Makassar yang diduga melakukan pelanggaran netralitas di pilkada.
"Kan begini ceritanya kenapa muncul surat ini, ada aksi ada reaksi. Reaksi yang paling terbaru adalah saya menyatakan sebelum pencoblosan ada 10 lurah yang terpapar bahkan atau semua," ujar Danny.
Menurut Danny, tugas Bawaslu Sulsel hanya sebatas melakukan pengawasan. Dia menganggap seharusnya Bawaslu Sulsel turut mendukung kepala daerah untuk menindak ASN yang melanggar netralitas di pilkada.
"Kok kelihatannya panik kalau saya mau ganti orang, kalau saya dapat izin. Ada apa? Berarti ada yang mau dilindungi di Pemkot Makassar, kan saya sebut ada 10 lurah yang terindikasi tidak (netral)," paparnya.
"Mestinya Bawaslu bilang, 'lapor itu, pak wali, kalau ada indikasi begitu'. Kenapa ini seolah-olah lurah yang 10 itu mau dilindungi, saya baca begitu, kan aneh toh. Kan saya bilang saya mau ganti, mau proses itu 10 lurah yang terindikasi," ucap Danny.
Danny mengaku akan tetap melakukan mutasi pejabat selama ada izin dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dia menegaskan kukuh melakukan penindakan terhadap ASN atau pejabat yang melakukan pelanggaran di masa pemerintahannya.
"Kalau dikasih izin saya, kenapa tidak (untuk dilakukan mutasi pejabat). Kan di situ jika diizinkan," tegas Danny.
Bawaslu Sulsel Bantah Diintervensi
Sementara itu, anggota Bawaslu Sulsel Saiful Jihad membantah pihaknya diintervensi oleh orang atau kelompok tertentu. Dia menegaskan Bawaslu Sulsel tegak lurus terhadap aturan dan masih berada dalam koridor melakukan pengawasan selama pilkada.
"Jika ada yang dilaporkan atau kami temukan pelanggaran, tidak pernah mempertanyakan siapa yang didukung. Apalagi sampai mengintervensi Bawaslu untuk melakukan hal seperti itu," tegas Saiful kepada detikSulsel, Sabtu (30/11).
Saiful mengatakan, surat Bawaslu Sulsel hanya bersifat imbauan sebagaimana aturan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020. Dia berdalih surat imbauan itu juga ditujukan kepada semua kepala daerah sebagai pengingat dan pencegahan untuk tidak melanggar aturan di tengah masa pilkada.
"Surat itu imbauan untuk sama-sama menjaga aturan yang ada untuk tidak melakukan mutasi 6 bulan sebelum dan setelah penetapan, tanpa izin Kemendagri. Dan bukan hanya Pak Danny, semua bupati/wali kota di Sulsel disampaikan imbauan serupa," jelasnya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...
Sanksi Mutasi Pejabat di Masa Pilkada
Dalam suratnya, Bawaslu Sulsel turut memperingatkan adanya ancaman sanksi dan denda terhadap kepala daerah yang melakukan mutasi pejabat di masa pilkada. Hukuman itu bisa dikenakan kepada gubernur, wali kota atau bupati jika terbukti tidak mendapat izin dari pemerintah pusat.
"Diingatkan agar jangan lakukan (mutasi pejabat), bahwa jika melakukan (tanpa izin), ada konsekuensi yang mesti ditanggung. Itu imbauan yang disampaikan juga kepada semua pejabat baik yang incumbent, pejabat bupati atau bupati/wali kota," papar Saiful.
Ketentuan sanksi pidana itu diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada. Dalam pasal 190 regulasi itu disebutkan bahwa kepala daerah yang melanggar terancam pidana penjara paling lama 6 bulan dan denda maksimal Rp 6.000.000.
"Jelas ada aturannya di undang-undang pemilihan, sepanjang tidak ada izin dari Kemendagri. Kalau ada izin, ya silakan. Aturannya jelas ada menjelaskan terkait itu.Jadi tidak ada intervensi," bebernya.
Saiful kembali menegaskan bahwa Bawaslu Sulsel dalam kapasitas mengingatkan Danny yang juga sebagai calon gubernur Sulsel. Apalagi Danny sudah aktif kembali sebagai wali kota Makassar usai cuti masa kampanye di Pilgub Sulsel 2024.
"Bawaslu hanya menjalankan amanah undang-undang untuk mengingatkan, bahwa ada aturan terkait hal itu. Tidak melarang mutasi atau mengganti, yang diingatkan adalah larangan dalam undang-undang. Dalam surat Bawaslu mencantumkan norma aturannya," pungkasnya.
Simak Video "Video 59 WBP Rutan Pangkajene Tidak Bisa Memilih"
[Gambas:Video 20detik]
(sar/sar)