Wanita-Anak Sulsel Jadi Sasaran Empuk Pelaku Kekerasan Seksual Sepanjang 2024

Wanita-Anak Sulsel Jadi Sasaran Empuk Pelaku Kekerasan Seksual Sepanjang 2024

Muh Zulkarnaim - detikSulsel
Jumat, 27 Des 2024 20:15 WIB
Koordinator Bidang Perempuan, Anak dan Disabilitas LBH Makassar, Ambara Dewi Purnama.
Foto: Koordinator Bidang Perempuan, Anak dan Disabilitas LBH Makassar, Ambara Dewi Purnama. (Muh Zulkarnaim/detikSulsel)
Makassar -

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mencatat 55 Kasus kekerasan seksual di Sulawesi Selatan (Sulsel) sepanjang tahun 2024. Kalangan wanita dan anak-anak mayoritas menjadi korban dalam kasus tersebut.

"Jadi meningkatnya (menjadi) 55 kasus," kata Koordinator Bidang Perempuan, Anak dan Disabilitas LBH Makassar, Ambara Dewi Purnama saat konferensi pers di Kantor LBH Makassar, Jumat (27/12/2024) sore.

Ambara menjelaskan korban kekerasan seksual terbanyak adalah 33 anak-anak dengan rentang usia 14-18 tahun, sedangkan korban dewasa berusia 19-45 tahun. Ambara menambahkan bahwa pelaku kekerasan seksual seringkali adalah orang terdekat, seperti tetangga, paman, ayah tiri, hingga guru sekolah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Yang paling kita soroti itu yang di Laniang (BTP, Makassar) kasus kekerasan seksual terhadap siswi disabilitas," katanya.

Ambara menjelaskan 55 kasus tersebut meningkat drastis dengan perbandingan 19 sampai 20 kasus pada 2023 lalu. Ironisnya, baru ada 2 kasus yang divonis khusus menggunakan undang-undang TPKS.

ADVERTISEMENT

"Yang divonis khusus undang-undang TPKS, cuman 2 kasus," katanya.

Dia mengatakan sisa 53 kasus pelecehan seksual itu, tidak semua tertangani sampai tingkat pengadilan karena ada yang didamaikan, ada yang berhenti di pihak kepolisian. Lebih lanjut dia juga menyebut kekerasan seksual sering terjadi secara verbal dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

"Pelecehan seksual secara verbal terdapat 2 orang korban, persetubuhan dan perbuatan cabul terhadap anak ada 3 korban, kekerasan seksual berbasis elektronik ada korban, perbuatan cabul dan pemerkosaan yang mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan ada 20 korban," ungkapnya.

Lebih lanjut Ambara mengungkapkan bahwa modus-modus kekerasan seksual yang dilakukan pelaku cukup beragam ada yang menyampaikan hasrat seksual secara verbal dengan bahasa melecehkan korban.

"Pertama banyak pelaku yang menyampaikan kalau dalam kasus pelecehan seksual secara verbal biasanya pelaku menyampaikan hasrat seksualnya dengan bahasa-bahasa yang melecehkan si korban. Selanjutnya jika korbannya anak mereka akan memanfaatkan kerentanan anak, mengiming-imingi dengan uang, mengiming-imingi korban akan dibiayai hingga kuliah, termasuk juga menakut-nakuti korban, mengancam akan melaporkan perbuatan si korban terhadap orang tuanya," katanya.

Di lain sisi, kata Ambara, pihaknya juga mengalami banyak kendala saat melakukan pendampingan kasus kekerasan seksual. Salah satu kendala yang dialami adalah penyidik jarang menggunakan undang-undang TPKS.

"Jadi biasanya kalau korbannya anak itu cuma pake undang-undang perlindungan anak, padahal ada undang-undang TPKs yang sebenarnya mencover dan lebih mudah karena di undang-undang TPKS ini cuma mensyaratkan satu alat bukti saja. Misalnya pengakuan dari korban itu sudah bisa ditindaklanjuti," katanya.




(hmw/ata)

Hide Ads