Lembaga Bantuan Hukum (LBH) (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) APIK menyoroti kasus Brigadir AK yang diduga menganiaya bayi usia 2 bulan hingga tewas. Korban disebut mengalami kekerasan berbasis gender.
Hal itu dikatakan Advokat Publik LBH APIK Semarang, Nurul Layalia. Ia menjelaskan, kasus yang melibatkan Brigadir AK itu tak hanya terkait kekerasan fisik.
"Tapi juga kekerasan berbasis gender, yang mana kekerasan berbasis gender ini tidak hanya kekerasan berupa seksual, tapi juga psikis, mentalnya juga kena," kata Layalia di Sekretariat AJI Semarang, Kecamatan Semarang Utara, Jumat (14/3/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selain itu juga ada kekerasan yang mungkin berulang, karena tidak hanya bayinya saja yang mengalami kekerasan, tapi korban juga menyatakan beberapa kali mengalami penganiayaan," lanjutnya.
Ia menjelaskan, kekerasan berbasis gender itu juga tampak lantaran adanya ketimpangan atau relasi kuasa antara pelaku dan korban.
Layalia sendiri mengacu pada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang mengatakan, korban memiliki hak atas perlindungan hukum dan pendampingan.
"Dari informasi, korban sudah didampingi oleh kuasa hukum yang kemudian dihubungkan ke LPSK. Nah, seharusnya korban bisa mengakses mengenai hak-hak restitusi atau pemulihannya juga," tuturnya.
Selain itu, ia juga menyoroti terduga pelaku yang juga merupakan aparat penegak hukum. Ia berharap, tak menjadi masalah dalam proses penanganan kasus tersebut.
"Karena korbannya di bawah umur, (Brigadir AK) harus dihukum maksimal untuk perlindungan anaknya. Meski terduga pelaku adalah orang tuanya, harus ada penguatan. Saya harap aparat penegak hukum bisa memutus seadil-adilnya," harapnya.
"Meski terduga pelaku seorang aparat penegak hukum, kami berharap (penyidik) tidak tebang pilih. Harus adil, memutus dengan melihat tindak pidana apa dan pasal yang menjerat apa," lanjutnya.
Ia memandang proses hukum harus tetap berjalan secara transparan dan adil meski terduga pelaku merupakan aparat penegak hukum. Terlebih, kasus ini tak hanya terkait kekerasan terhadap anak, tetapi juga kekerasan berbasis gender yang sistematis.
"Kawan-kawan harus bisa saling bergandeng tangan untuk mengawal kasus ini. Jangan sampai kasus ini diputus dengan tidak adil karena perempuan di sini menjadi korban, dan juga anak menjadi korban," tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, seorang oknum anggota Polda Jawa Tengah dilaporkan menganiaya bayi usia 2 bulan hingga meninggal. Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jateng saat ini menangani laporan tersebut.
Laporan yang dilayangkan menggunakan Pasal 80 ayat (3) UU RI nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan UU nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan atau Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang Penganiayaan Berat.
(apu/apu)