Kadisdik Sorong Jadi Tersangka Korupsi Dana Alkes COVID-19 Rp 2,3 Miliar

Kadisdik Sorong Jadi Tersangka Korupsi Dana Alkes COVID-19 Rp 2,3 Miliar

Juhra Nasir - detikSulsel
Jumat, 28 Jun 2024 20:30 WIB
Kapolresta Sorong Kota Kombes Happy Perdana Yudianto saat melaksanakan rilis. Juhra Nasir/detikcom
Foto: Kapolresta Sorong Kota Kombes Happy Perdana Yudianto saat melaksanakan rilis. Juhra Nasir/detikcom
Sorong -

Kepala Dinas Pendidikan Kota Sorong, Papua Barat Daya, YA (50) ditetapkan sebagai tersangka korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) COVID-19 senilai Rp 2,3 miliar. Seorang konsultan inisial F (40) juga turut ditetapkan sebagai tersangka.

"Kemarin kita sudah menetapkan 2 tersangka atas nama YA dan F laki-laki," kata Kapolresta Sorong Kota Kombes Happy Perdana Yudianto kepada wartawan, Jumat (28/6/2024).

Happy mengatakan YA dan F ditetapkan sebagai tersangka usai pihaknya melakukan gelar perkara pada Jumat (14/6) di Polda Papua Barat. Kedua tersangka sudah ditahan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami tahan di rutan Polresta Sorong Kota," bebernya.

Happy menyebut pihaknya sudah memeriksa 25 saksi dalam kasus tersebut, salah satunya adalah saksi ahli dari BPK RI. Aksi kedua tersangka merugikan negara sebesar Rp 2,3 miliar.

ADVERTISEMENT

"Kita sudah memeriksa 25 saksi kemudian juga pemeriksaan ahli diantaranya BPK RI, kemudian pengelola keuangan daerah Kemendagri dan pengadaan barang dan jasa. Terkait kerugian negara berdasarkan hasil audit BPK RI ditaksir Rp 2.366.721.670.00," ungkapnya.

Selain penetapan tersangka, polisi juga menyita sejumlah barang bukti berupa dokumen kontrak, perjanjian pinjam bendera perusahaan hingga rekening koran milik CV Serangan Abadi Papua.

"Kami menyita 7 dokumen diantaranya dokumen kontrak, dokumen pencairan, DPA perubahan RAB tahun 2021, RAB, rekening koran CV Serangan Abadi Papua dan surat perjanjian pinjam bendera, pembelian," ujarnya.

Happy menjelaskan tahun 2021, Dinas Pendidikan Kota Sorong mendapatkan kucuran anggaran sebesar Rp 4,7 miliar untuk pengadaan alat protokol kesehatan di TK, SD dan SMP. Namun, dana tersebut justru dikelola sendiri oleh YA.

"Dinas Pendidikan atau PPK tidak menyusun HPS dan KAK namun hanya membuat RAB yang telah di mark up harga satuan dan penyedia dalam hal ini menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan volume yang ada dalam kontrak sehingga indikasi penyimpangan yang mengakibatkan kerugian negara," imbuhnya.

Happy mengungkap YA bekerja sendiri melakukan pengadaan barang alat kesehatan tersebut, padahal pengadaan seharusnya dilakukan pihak ketiga. Sementara F berperan sebagai konsultan yang memalsukan tandatangan perusahaan dan merekayasa laporan.

"YA ini mencoba meminjam perusahaan, YA juga bekerja sendiri, padahal harus ada pihak ketiga setelah melakukan lelang, namun yang bersangkutan melaksanakan sendiri. YA juga melaksanakan 6 paket tersebut dan kemudian direkayasa. Tersangka F ini konsultan dan yang bersangkutan membantu tersangka YA untuk mencari perusahaan, F juga memalsukan tandatangan perusahaan yang dipinjam kemudian membantu tersangka YA melakukan rekayasa," ungkapnya.

Atas perbuatannya, kedua tersangka dikenakan Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 dan atau Pasal 12 huruf i juncto Pasal 18 UU RI nomor 32 tahun 1999 sebagaimana telah diubah atau ditambahkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 KUHP.

"Dengan maksimal hukuman 20 tahun penjara dan denda hingga Rp 1 miliar," tutupnya.




(hmw/hsr)

Hide Ads