Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mewanti-wanti pergeseran subjek yang seolah-olah menganggap ada persetujuan dari ABG di Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah (Sulteng) dalam kasus persetubuhan anak yang dialaminya. Hal ini setelah Kapolda Sulteng Irjen Agus Nugroho menegaskan kasus ABG 15 tahun itu bukan pemerkosaan, melainkan persetubuhan anak di bawah umur.
"Dua hal ya, tidak boleh ada pergeseran subjek seolah-olah korban ada persetujuan, karena tentu persetujuan atau tidak dengan anak merupakan tindak pidana," kata Ketua KPAI Ai Maryati kepada wartawan dilansir dari detikNews, Kamis (1/6/2023).
Menurut Ai, korban anak menderita dalam kasus ini. Dia menilai korban kemungkinan takut untuk melaporkan kejadian persetubuhan ini. Hal tersebut kemudian dimanfaatkan oleh para pelaku.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak sedikit yang dia derita, karena apa? Takut, malu, dan lain-lain. Sehingga kan dia dimanfaatkan sekali oleh pihak-pihak ini, dianggap dengan membayar misalnya ya tidak seberapalah, ini juga disebut relasi kuasa, tidak seimbang," jelas Ai.
"Yang harus kita cermati adalah bagaimana peristiwa berulang itu tanpa mampu memutuskan. Ketika misalnya ada bujuk rayu dianggapnya, ya memang gimana ya, mau ngadu takut, kebayang-lah dalam situasi kerentanan psikologinya," lanjutnya.
KPAI, kata Ai, akan berupaya melindungi korban. Saat ini KPAI tengah berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan pendampingan kepada ABG 15 tahun itu.
"Di luar itu semua, tentu KPAI berupaya juga melindungi hak-hak korban, di antaranya kami sudah menghubungi LPSK untuk segera turun karena melihat dari sisi risiko yang dialami korban sampai informasinya ditangani secara medis, mengalami penyakit yang sedemikian buruk, ini mengkonfirmasi apa yang dialami, mungkin hanya peristiwa yang biasa saja tidak akan sampai seburuk ini yang dia derita," tutur dia.
Di sisi lain, KPAI memberikan apresiasi kepada kepolisian yang telah menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus ini. Sebab menurutnya, selama ini banyak kasus yang sulit diungkap ketika ada relasi kuasa.
"Kedua KPAI mengapresiasi tindakan cepat yang dilakukan Polres menetapkan tersangka dan lain sebagainya, karena dalam beberapa kasus dilakukan oleh banyak pihak terutama ada unsur eksploitasi atau memanfaatkan kerentanan anak, memberikan sejumlah uang dan sebagainya biasanya jarang tersentuh, tetapi ini menempati angka 10, bahkan ada unsur Brimob saya mengimbau segera menjawab kegelisahan di masyarakat," sebutnya.
Selanjutnya, Ai menyinggung soal penerapan pasal pemerkosaan atau persetubuhan anak di bawah umur. Ai berharap penyidik benar-benar mencermati aturan perundang-undangan agar pelaku dihukum maksimal.
"Yang berikutnya persoalan perkosaan atau bukan, lagi-lagi mencermati aturan perundangan. Kalau dulu terbatas di Undang-Undang 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak saja yang betapa kuat apa itu persetubuhan, pencabulan, lalu eksploitasi seksual dan kalau dibuka memang agak cukup ketat dan berisiko pada sanksi yang agak ringan, dan mungkin juga pasal-pasal pemberatannya itu tidak sampai karena kriteria pemberatan juga diatur sedemikian juga," katanya.
"Yang menjadi alat konfirmasi berikut adalah UU 12/2022 tentang TPKS di sini terlihat bagaimana seseorang dilakukan misalnya dia ada bujuk rayunya, kemudian dilakukan tindak kekerasan seksual untuk dimanfaatkan kepuasan seksualnya itu dan dikenai pemberatan ketika itu kepada anak, artinya tidak ada minimal di dalam UU TPKS tetapi paling lama 15 tahun plus pemberatan sepertiga dari angka itu, artinya 20 tahun. Itu kami memberi ruang yang sangat dalam kepada kepolisian untuk terus mempelajari dan menetapkan ataupun menyesuaikan aturan hukum yang berlaku," katanya.
Polisi Sebut Persetubuhan Anak
Polisi menegaskan bila kasus di Parigi Moutong bukanlah pemerkosaan tetapi persetubuhan terhadap anak di bawah umur. Alasan utamanya, menurut polisi, tidak ada kekerasan atau ancaman kekerasan di baliknya.
"Dalam perkara ini tidak ada unsur kekerasan, ancaman, ataupun ancaman kekerasan termasuk juga pengancaman terhadap korban. Dalam kaitan dengan dilakukan secara bersama-sama, dari pemeriksaan pun sudah jelas dan tegas bahwa tindak pidana ini dilakukan berdiri sendiri-sendiri, tidak dilakukan secara bersama-sama," ucap Kapolda Sulteng Irjen Agus Nugroho dalam konferensi pers, Rabu (31/5).
Agus menyebut peristiwa itu terjadi dalam kurun waktu April 2022 hingga Januari 2023 di mana terindikasi ada 11 orang pelaku yang melakukan persetubuhan terhadap korban yang merupakan seorang anak berusia 15 tahun. Perbuatan itu disebut Agus tidak terjadi bersama-sama sehingga menurutnya istilah pemerkosaan bergiliran tidaklah tepat.
"Untuk diketahui bersama bahwa kasus yang terjadi bukanlah perkara atau kasus pemerkosaan ataupun rudapaksa apalagi sebagaimana kita maklumi bersama beberapa waktu yang lalu ada yang menyampaikan pemerkosaan yang dilakukan oleh 11 orang secara bersama-sama, saya ingin meluruskan penggunaan istilah itu," ucap Agus.
Untuk diketahui, polisi mengungkapkan ada 11 orang yang diduga melakukan persetubuhan anak terhadap korban, dimana 10 di antaranya sudah menjadi tersangka. Dari 10 tersangka, 7 telah ditahan sementara 3 orang lainnya masih buron. Untuk 1 terduga pelaku yang belum menjadi tersangka ialah oknum Brimob.
Adapun inisial 11 pelaku yang disebut korban sebagai berikut:
1. HR alias Pak Kades berusia 43 tahun, salah satu kades di wilayah Kabupaten Parigi Moutong;
2. ARH alias Pak Guru berusia 40 tahun, dia adalah seorang ASN, seorang guru SD;
3. RK alias A berusia 47 tahun, wiraswasta;
4. AR alias R berusia 26 tahun, petani;
5. MT alias E berusia 36 tahun, tidak memiliki pekerjaan;
6. FN berusia 22 tahun, mahasiswa;
7. K alias DD, 32 tahun, petani;
8. AW yang sampai saat ini masih buron;
9. AS ini pun sama sampai saat ini masih buron;
10. AK yang sampai saat ini masih buron;
11. NPS yang berprofesi sebagai anggota Polri, sampai saat ini masih dalam pemeriksaan, belum berstatus tersangka.
(asm/ata)