Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Irjen Agus Nugroho mengatakan ada 11 pria yang diduga terlibat dalam kasus persetubuhan gadis ABG 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo). Pelaku ada yang berprofesi sebagai guru, kepala desa (kades), hingga oknum Brimob.
Agus mengungkap jika 10 orang di antaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka. Para pelaku melakukan aksi bejatnya tidak secara bersama-sama yang terjadi sejak April 2022 hingga Januari 2023.
"Dilakukan di tempat yang berbeda-beda dalam waktu yang berbeda-beda, dilakukan secara berdiri sendiri, tidak bersamaan oleh 11 pelaku ini. Kita sudah menetapkan tersangka terdiri dari 10 orang pelaku," ungkap Agus dalam jumpa pers di Polda Sulteng, Rabu (31/5/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agus mengatakan pihaknya masih minim alat bukti untuk menetapkan oknum polisi menjadi tersangka. Ia meyakini timnya segera mengumpulkan alat bukti.
"Memang betul yang bersangkutan belum ditetapkan sebagai tersangka karena khusus untuk yang bersangkutan kita masih minim alat bukti, tersangka sudah ada aturan paling tidak dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam KUHAP," kata Agus.
Meski begitu, Agus memastikan tidak akan pandang bulu dalam mengusut kasus ini. Siapapun yang terlibat akan ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.
"Sebagaimana yang disampaikan kita tidak pandang bulu kita akan proses siapapun terlibat di dalam kasus ini, karena negara kita negara hukum dan di mata hukum kita semua sama, sehingga tidak ada pengecualian, kita semua harus patuh dan taat hukum sendiri," tegasnya.
Terkait sosok oknum polisi berinisial NPS ini, Agus mengatakan dia adalah anggota yang bertugas di Parimo. Namun, kini NPS sudah ditarik ke Polda Sulteng guna pemeriksaan lebih lanjut.
"Oknum anggota polri bertugas di mana, bertugas di sana Parimo, tapi sekarang kita sudah tarik ke polda, dalam rangka pemeriksaan," katanya.
Adapun 11 pelaku persetubuhan ABG ini terdiri dari berbagai latar belakang profesi dan pekerjaan, sebagai berikut:
- HR alias Pak Kades berusia 43 tahun, salah satu kades di wilayah Kabupaten Parigi Moutong;
- ARH alias Pak Guru berusia 40 tahun, dia adalah seorang ASN, seorang guru SD;
- RK alias A berusia 47 tahun, wiraswasta;
- AR alias R berusia 26 tahun, petani;
- MT alias E berusia 36 tahun, tidak memiliki pekerjaan;
- FN berusia 22 tahun, mahasiswa;
- K alias DD, 32 tahun, petani;
- AW yang sampai saat ini masih buron;
- AS ini pun sama sampai saat ini masih buron;
- AK yang sampai saat ini masih buron
- NPS yang berprofesi sebagai anggota Polri, sampai saat ini masih dalam pemeriksaan, statusnya belum menjadi tersangka dalam kasus ini.
6 TKP Berbeda
Agus Nugroho tidak merinci detail waktu persetubuhan masing-masing pelaku. Namun ia mengatakan korban disetubuhi di enam tempat kejadian perkara (TKP) yang berbeda.
"Sebagaimana sudah saya sampaikan di muka tadi, waktu berbeda, ada 6 TKP," jelasnya.
Adapun enam TKP persetubuhan itu:
- Di rumah tersangka RK;
- Di Sekretariat di Desa, sekretariat adat tempat korban bekerja;
- Di penginapan C di Desa Sausu;
- Di penginapan LH dan S di Desa Sausu;
- Di pinggir sungai Desa Sausu;
- Di rumah pondok kebun di Desa Sausu.
Bukan Kasus Pemerkosaan
Irjen Agus Nugroho menjelaskan kasus ini bukan pemerkosaan lantaran korban tidak mendapat ancaman. Para pelaku mengiming-imingi korban akan diberikan uang, baju, hingga handphone.
"Modus operandi yang digunakannya pun bukan dengan kekerasan ataupun ancaman kekerasan, melainkan dengan bujuk rayu, tipu daya, iming-iming akan diberikan sejumlah uang, akan diberikan sejumlah barang baik itu berupa pakaian, handphone," jelasnya.
"Bahkan ada di antara pelaku yang berani menjanjikan akan bertanggung jawab jika korban sampai dengan hamil," tambah Agus.
Agus menjelaskan alasan dia mengganti istilah 'pemerkosaan' menjadi 'persetubuhan' anak. Hal tersebut karena mengacu pada aturan hukum yang berlaku.
"Mengapa? Karena apabila kita mengacu pada istilah pemerkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 KUHP ini secara jelas dinyatakan bahwa unsur yang bersifat konstitutif di dalam kasus pemerkosaan adalah adanya tindakan kekerasan atau pun ancaman kekerasan, memaksa seorang wanita untuk bersetubuh dengannya di luar perkawinan," tegasnya.
(ata/sar)