Jaksa penuntut umum (JPU) menolak nota pembelaan atau pleidoi istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi. Jaksa menegaskan jika mereka menghormati kedudukan Putri sebagai seorang wanita sebagaimana Islam memuliakan Khadijah hingga Maryam.
Dilansir dari detikNews, hal itu ditegaskan JPU di hadapan majelis hakim dalam sidang replik atau tanggapan JPU atas pleidoi terdakwa Putri Candrawathi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (30/1/2023).
"Kami berpendapat pleidoi terdakwa Putri Candrawathi harus dikesampingkan. Selain itu, pleidoi tidak didukung dengan fakta yuridis yang kuat," kata jaksa saat membacakan repliknya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jaksa pun meminta majelis hakim agar Putri tetap menjatuhkan putusan sebagaimana tuntutan jaksa sebelumnya, yakni 8 tahun penjara.
"Memohon majelis hakim menolak seluruh pleidoi dari tim penasihat Putri Candrawathi dan pleidoi terdakwa Putri Candrawathi. Menjatuhkan putusan sebagaimana diktum tuntutan JPU," imbuh jaksa.
Jaksa lalu memulai membacakan repliknya atas pleidoi istri Ferdy Sambo tersebut. JPU beranggapan pleidoi Putri yang mengaku tidak paham mengapa dirinya didakwa melakukan pembunuhan berencana Yosua tidak relevan dengan fakta sidang.
"Bahwa terhadap pendapat terdakwa Putri Candrawathi cukup dapat dipahami karena apa yang dikatakan terdakwa Putri Candrawathi sangatlah relevan dengan fakta yang ada," ungkap jaksa.
Jaksa juga membantah jika pihaknya menyebut Putri sebagai wanita bermoral. Pihaknya tegas tidak pernah menyinggung hal itu dalam surat tuntutannya.
"Berdasarkan fakta hukum sidang, bukan hal seperti yang dikemukakan terdakwa menyatakan menuding terdakwa Putri Candrawathi sebagai perempuan tidak bermoral, padahal itu sama sekali tidak tertulis dalam tuntutan JPU," urai jaksa.
Jaksa lantas menyinggung bagaimana agama menjunjung tinggi seorang wanita. Hal itu pula yang dikatakan jaksa juga diterapkan kepada Putri.
"JPU menghormati betul kedudukan terdakwa Putri Candrawathi sebagai seorang wanita, seorang istri, dan seorang ibu rumah tangga, sebagaimana Islam memuliakan Maryam, Fatimah, Khadijah, dan Aisyah," paparnya.
Menurut jaksa, semua agama mengajarkan bagaimana memuliakan seorang wanita. Pihaknya lalu menyebut beberapa nama sosok perempuan yang disebut dalam ajaran agama.
"Kristen dan Katolik memuliakan Bunda Maria dan Elizabeth, kemudian Dewi Shinta dalam aliran cerita Ramayana, dan Drupadi dalam Mahabarata agama Hindu, serta kemuliaan Putri Yasoda dalam ajaran agama Buddha," tuturnya.
"Sehingga JPU tidak simpulkan hasil poligraf atau beberapa alat bukti yang tidak terkait dengan unsur tinggi delik, misal delik dalam pasal sebagaimana dakwaan JPU yang termuat dalam tuntutan terdakwa," tambah jaksa.
Kepura-puraan Putri di Mata Jaksa
Dalam repliknya, jaksa meyakini Putri terlibat dalam pembunuhan berencana Brigadir N Yosua Hutabarat. Pihaknya lantas beranggapan istri Ferdy Sambo itu hanya berpura-pura tidak mengetahui persoalan.
"JPU hanya berdasar fakta hukum yang ditunjukan Putri Candrawathi adalah salah satu pelaku pembunuhan berencana, disusul terdakwa Putri Candrawathi tidak memahami atau pura-pura tidak paham apa pembunuhan berencana," urai jaksa.
Jaksa kemudian menjelaskan bukti keterlibatan Putri dalam kasus pembunuhan rencana ini, yakni ketika dirinya mengikuti skenario yang diatur oleh suaminya sendiri, yakni Ferdy Sambo.
"Akan tetapi terdakwa Putri Candrawathi melakukan karakter yang dipersalahkan dengan pembunuhan berencana yaitu menyampaikan cerita kepada Ferdy Sambo berupa cerita jika terdakwa dilecehkan dan kemudian berbuah menjadi cerita pemerkosaan," imbuh jaksa.
Untuk diketahui, Putri sebelumnya dituntut 8 tahun penjara. Jaksa menyakini Putri terlibat pembunuhan berencana Yosua bersama Ferdy Sambo, Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, dan Kuat Ma'ruf.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.
JPU Tetap Tuntut Eliezer 12 Tahun Penjara
JPU juga meminta majelis hakim agar Bharada Richard Eliezer tetap menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara sesuai dengan tuntutan jaksa. Jaksa menyinggung soal rasa sakit yang dialami Brigadir N Yosua Hutabarat saat ditembak oleh Eliezer.
"Berdasarkan landasan berpikir di atas, kami JPU telah berusaha memahami penderitaan dan sakitnya korban Nopriansyah Yosua Hutabarat sesaat sebelum ditembak sampai dengan bersangkutan meregang nyawa akibat timah panas yang menembus dan bersarang dalam tubuhnya," kata jaksa saat membaca replik di PN Jaksel, Senin (30/1).
Jaksa mengatakan Eliezer memang bersikap jujur. Namun, menurut jaksa, kejujuran Eliezer di sidang tidak berarti perbuatan pidananya terhapus.
Selain berusaha memahami perasaan Yosua sebagai korban, jaksa mengatakan tuntutannya itu sebagai bentuk empati kepada keluarga Brigadir Yosua. Jaksa juga menjelaskan faktor lain yang membuat mereka menuntut Eliezer dijatuhi hukuman 12 tahun penjara.
"Penderitaan keluarga korban atas meninggalnya Yosua, pemaafan keluarga korban Yosua kepada terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu, serta kondisi sosial kemasyarakatan sehubungan dengan faktor penjerat pidana bagi terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu adalah agar tidak melakukan perbuatan yang sama di kemudian hari, maupun bagi masyarakat luas untuk mengamankan masyarakat dari penjahat sehingga dengan demikian diharapkan anggota, dan masyarakat lainnya tidak akan melakukan tindak pidana sebagaimana tujuan dan teori," jelas jaksa.