Sosok Imam Lapeo, Ulama Sufi-Pejuang Kemerdekaan dari Bumi Mandar

Sosok Imam Lapeo, Ulama Sufi-Pejuang Kemerdekaan dari Bumi Mandar

St. Fatimah - detikSulsel
Kamis, 14 Nov 2024 21:30 WIB
Imam Lapeo
Foto: Website Desa Lapeo
Makassar -

Imam Lapeo merupakan salah satu tokoh yang sangat dikagumi oleh masyarakat Mandar. Ia adalah sosok ulama karismatik sekaligus pejuang kemerdekaan di Sulawesi Barat (Sulbar).

Bagi orang Mandar, Imam Lapeo dikenal sebagai waliullah (wali Allah) dengan segala karamah dan kesakralannya. Kiprahnya pun membawa perubahan besar bagi perkembangan Islam di Tanah Mandar.

Warisan sejarah Imam Lapeo yang paling utama adalah Masjid Nurut Taubah KH Muhammad Thahir Imam Lapeo yang sekaligus menjadi pondok pesantren pusat pendidikan Islam di Lapeo. Masjid ini berdiri kokoh di desa Lapeo, Campalagian, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masjid tertua di Tanah Mandar tersebut menjadi saksi perjuangan Imam Lapeo dalam menyebarkan agama Islam. Di masjid ini pulalah, makam Imam Lapeo berada. Hingga kini, ramai peziarah dari berbagai daerah di Indonesia berkunjung setiap harinya.

Figur Imam Lapeo sendiri menjadi sosok ulama panutan yang disegani. Tak cuma bagi masyarakat Mandar, tapi juga bagi seluruh umat Muslim di Indonesia.

ADVERTISEMENT

Lantas, seperti apa sosok dari Sang Ulama tersebut? Benarkah sepanjang hidupnya, banyak karamah dan kisah-kisah di luar nalar yang terjadi? Bagaimana pula wujud perjuangannya dalam melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Bumi Mandar?

Rihlah dan Perjalanan Hidup Imam Lapeo

Imam LapeoMasjid Imam Lapeo Foto: Website Desa Lapeo

Imam Lapeo lahir pada tahun 1839 di Pambusuang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Ayahnya bernama Muhammad bin Abdul Karim, seorang petani dan nelayan yang taat beragama dan penghafal Al-Qur'an. Sedangkan ibunya, Ikaji binti Lego, berasal dari keluarga bangsawan.

Sewaktu lahir, ia diberi nama Junaihin Namli oleh kedua orang tuanya, sebuah nama yang cukup asing dalam kosa kata bahasa Mandar. Namun saat beranjak remaja, namanya kemudian diganti menjadi Muhammad Thahir oleh gurunya Syekh Alwi Jamalullail bin Sahel.

Nama Imam Lapeo sendiri merupakan pemberian dari masyarakat karena kiprahnya yang mendirikan masjid dan menyebarkan Islam di Lapeo, sebuah desa yang berada di kecamatan Campalagian, Kabupaten Polewali Mandar. Di masjid itu, dirinya sekaligus menjadi imam dan guru bagi banyak orang.

Sejak kecil, Imam Lapeo telah menunjukkan sikap cinta dan haus pada ilmu pengetahuan dan agama. Setiap hari, ia tekun mengaji di bawah asuhan ayah dan kakeknya. Sejak kecil, ia sudah khatam Al-Qur'an beberapa kali melampaui teman-teman sebayanya.

Ketika beranjak remaja, Imam Lapeo memfokuskan diri belajar bahasa Arab, seperti nahwu sharaf. Ini menjadi dasar untuk mempelajari kitab-kitab fiqih dan ilmu tauhid.

Tak hanya di Pambusuang, ia juga belajar ke berbagai daerah dan negara. Pertama ia berangkat ke Parepare dan berguru pada Al-Yafi'i tentang fiqih dan tafsir.

Saat usia 18-20 tahun, ia belajar ke Pulau Salemo, Pangkep, yang saat itu menjadi pusat pendidikan pesantren yang dibina oleh ulama-ulama besar dari Gresik, Jawa Timur.

Selanjutnya, ia pergi ke Padang, dengan pamannya untuk berdagang sarung sutera Mandar. Di sana ia melihat kalangan pemuda Padang sangat rajin mengikuti kajian dan belajar agama dengan para ulama.

Hal ini memacu semangatnya untuk turut serta. Dirinya pun meminta izin pada sang paman untuk tinggal dan menuntut ilmu di daerah tersebut. Sembari itu, ia juga belajar ilmu bela diri pencak silat.

Setelah menimba ilmu selama 4 tahun, bukannya kembali ke Pambusuang, Imam Lapeo justru pergi ke Makkah pada tahun 1886. Di pusat Islam ini, ia berguru ke beberapa ulama besar seperti Syekh Muhammad Al-Ibna di mana ia belajar ilmu fiqih, tafsir, akhlak/tasawuf, dan ilmu kalam.

Rihlah ilmiah Imam Lapeo berakhir di batas benua Asia dan Eropa, tepatnya di Istanbul, Turki. Di sinilah ia belajar tarekat Syadziliyah, yang kemudian menjadi pilihan utamanya. Dari sini pula, ia kemudian mendapat gelar "Ambol" yang berasal dari kata "Istanbul" tempatnya menuntut ilmu.[1]

Setelah itu barulah ia kembali ke tanah Mandar untuk menyebarkan ajaran Islam. Di sini ia mendirikan masjid Nurut Taubah, mendirikan pesantren Ad-Diniyah al-Islamiyah Ahl Sunnah wa al-Jama'ah, hingga berjuang melawan penjajah.

Kehadirannya di Tanah Mandar membawa perubahan besar dalam kehidupan masyarakat. Khususnya dalam dunia pendidikan Islam.

Imam Lapeo mengembuskan nafas terakhirnya pada Selasa, 17 Juni 1952 bertepatan dengan tanggal 27 Ramadhan 1362 H, ia wafat dalam usia 114 tahun. Ia dimakamkan di halaman Masjid Nur Al-Taubah yang didirikannya di Lapeo, yang kini dikenal sebagai Masigi Lapeo (Masjid Lapeo).[2]

Sosok dan Kepribadian Gagah, Berani, dan Dermawan

Imam Lapeo dikenal sebagai sosok ulama yang penuh karisma dan sangat disegani oleh masyarakat. Sosoknya pun menjadi panutan dan teladan khususnya dalam kehidupan masyarakat Mandar.

Bagi orang mandar, Imam Lapeo adalah waliullah. Ia dikenal memiliki karamah dan kesakralan yang masih diturunkan di tengah masyarakat.

Perawakannya sendiri tegap dan gagah. Tubuhnya jangkung, tingginya sekitar 180cm. Wajahnya lonjong dengan kulit coklat-hitam.

Sehari-hari ia senang mengenakan jubah besar yang dililitkan di kepala lengkap dengan baju kurung di badannya. Hal ini membuatnya terlihat berbeda dan unik dibanding masyarakat Mandar umumnya pada masa itu.

Karakter gagah dan pemberani, terlihat dari tekadnya yang bulat dalam menuntut ilmu. Bahkan ia juga turut berperang ketika ikut membantu sebuah kabilah di Madinah. Pada saat penjajahan, ia dengan sigap berhadapan dan bernegosiasi dengan pihak Jepang.

Selain pemberani, Imam Lapeo juga dikenal arif, bijaksana, dan dermawan. Hal ini tercermin dalam perilaku sehari-hari dalam bersosialisasi dengan masyarakat. Ia banyak membantu orang-orang lemah dengan penuh kasih sayang dan sopan santun.

Bahkan kedermawanannya ini terlihat ketika ia menjamu tamu dengan berbagai hidangan makanan. Dikisahkan ia bahkan menyuguhkan 3 ekor sapi tiap harinya untuk menjamu tamu, pekerja masjid, guru, anak mengaji, keluarga, dan para tetangganya.[1]

Strategi Dakwah Imam Lapeo di Tanah Mandar

Imam Lapeo dihormati tidak hanya karena kepribadian terpujinya, tetapi juga karena peran besarnya dalam penyebaran Islam di Mandar. Berbekal ilmu yang dimiliki, Imam Lapeo menyebarkan dan menegakkan ajaran Islam secara kaffah di tengah-tengah masyarakat.

Dalam perannya sebagai ulama dan pemimpin, Imam Lapeo melakukan pembaruan Islam di Mandar melalui tiga saluran utama. Yakni perkawinan, pendidikan, dan tasawuf:

1. Perkawinan

Perkawinan, terutama antara ulama dan keluarga bangsawan atau penguasa, telah terbukti menjadi saluran yang efektif dalam penyebaran Islam di Indonesia. Melalui perkawinan, Islam bisa berkembang dengan cepat karena adanya peningkatan status sosial dan politik.

Imam Lapeo sendiri telah menikah sebanyak enam kali, dan setiap pernikahannya dilakukan dengan wanita dari keluarga-keluarga terpandang di daerahnya. Pernikahan Imam Lapeo dengan wanita dari kalangan bangsawan dan tokoh masyarakat ini bertujuan untuk memperluas pengaruh dan menyebarkan Islam melalui hubungan kekerabatan yang terjalin.

Istri pertamanya bernama Rugayyah yang berasal dari Pambusuang. Dari pernikahan ini, ia dikaruniai 8 orang anak antara lain bernama St. Fatimah, St. Hidayah, Muh. Yamin, Abd Hamid, Muh. Muchsin, St. Aisyah, St. Muhsanah, dan St. Marhumah.

Pernikahan kedua Imam Lapeo adalah dengan seorang gadis bernama St. Halifah, yang berasal dari Campalagian. Sayangnya, pernikahan ini tidak dikaruniai anak.

Kemudian, istri ketiga Imam Lapeo adalah St. Hadijah, yang berasal dari daerah Balanipa. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai seorang anak bernama Najamuddin.

Pernikahan keempat Imam Lapeo adalah dengan St. Attariyah, seorang wanita asal Tinambung. Namun, pernikahan keempat ini pun tidak dikaruniai anak.

Perkawinannya yang kelima, yakni dengan seorang putri yang bernama Syarifah Hidah, namun perkawinan itu juga tidak dikaruniai anak. Terakhir, ia menikah dengan St. Amirah yang berasal dari keturunan Raja (Mara'dia) Mamuju dan dari perkawinan ini ia dikaruniai empat orang anak yang masing-masing bernama Abdul Muthalib, St. Sabannur, St. Aisyah, dan St. Aminah.

2. Pendidikan

Strategi kedua yang dilakukan dalam penyebaran Islam adalah melalui pendidikan. Ia memanfaatkan rumahnya sebagai tempat pengajaran bagi santri yang datang dari berbagai daerah.

Murid-murid yang datang belajar padanya umumnya ditampung di rumah, terutama murid yang berasal dari pegunungan Kabupaten Polewali Mandar dan murid-murid yang berasal dari luar daerah Polewali Mandar.

Seiring bertambahnya jumlah murid, Imam Lapeo mendirikan pesantren yang diberi nama Madrasah Al-Diniyah Al-Islamiyah Ahlusunnah Wal Jama'ah, dengan bantuan beberapa guru.

Usaha pengembangan Islam melalui pendidikan yang dilakukan Imam Lapeo tidak hanya terbatas di Lapeo, tetapi juga meluas ke kampung-kampung dan desa-desa di Mandar, bahkan hingga luar daerah, memperluas penyebaran Islam di wilayah tersebut.

3. Tasawuf

Penyebaran Islam di Indonesia juga dilakukan melalui jalur tasawuf. Imam Lapeo, yang dikenal dengan gelar 'to salama' (yang memperoleh keselamatan) atau 'to makkarama' (yang memiliki kekeramatan), memainkan peran penting dalam hal ini di daerah Mandar.

Ia mengembangkan ajaran tasawuf, khususnya tarekat Syaziliyah, yang ia pelajari saat menuntut ilmu di Istanbul, Turki. Ajaran tarekat ini, berupa zikir, wirid dan hizb yang berisi permohonan keselamatan dunia maupun di akhirat.

Melalui ajaran ini, ia mendorong murid-muridnya untuk memperbanyak salat sunah dan zikir dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, meninggalkan perbuatan maksiat, serta memperbanyak mengerjakan ibadah wajib dan sunah.

Selain itu, Imam Lapeo juga menarik perhatian masyarakat yang sebelumnya menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, terutama mereka yang percaya terhadap kekuatan doti (sihir). Berita tentang kemampuannya dalam mengatasi kekuatan sihir membuat banyak orang datang untuk berguru kepadanya.

Namun, yang mereka pelajari bukan sekadar hal-hal luar biasa, melainkan ajaran agama Islam yang benar.[3]

Perjuangan Imam Lapeo, Pahlawan dari Tanah Mandar

Imam LapeoMakam Imam Lapeo Foto: Website Desa Lapeo

Imam Lapeo bukan hanya ulama yang menyebarkan Islam, tetapi juga dikenal sebagai seorang pejuang dan pahlawan. Ketika itu, Mandar berada di bawah kekuasaan penjajah. Imam Lapeo sebagai seorang ulama juga turut memberikan kontribusinya dalam perjuangan melawan penjajah.

Meskipun tidak terlibat langsung dalam mengangkat senjata dan peperangan, ia berperan penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan memberi semangat juang melalui beberapa taktik strategis.

Pertama, Imam Lapeo membangkitkan semangat nasionalisme dengan menyemangati para pejuang melalui nasehat dan pesan moral. Hal itu terbukti ketika ia memberi nasehat kepada Hj. Andi Depu, panglima KRIS MUDA untuk menyusun strategi dalam perlawanan rakyat.

Kedua, untuk memperkuat perlawanan, ia mengirim murid-muridnya melatih pejuang dan menyediakan perlengkapan sederhana, seperti bambu runcing. Ketiga, misi penyelamatan musuh, maksudnya Imam Lapeo pernah menyelamatkan tentara Jepang yang hilang dalam melakukan operasi militer.

Dari misi penyelamatan tersebut, akhirnya terjalin sebuah diplomasi dengan Komandan Jepang untuk memberikan izin baginya menyalakan lentera sebagai tanda terima kasih.[1]

Karamah Imam Lapeo

Bagi masyarakat Mandar, Imam Lapeo juga dijuluki sebagai wali (waliyullah) atau 'to salama.' Hal ini dikarenakan Imam Lapeo memiliki karamah dan kesakralan yang tidak dimiliki oleh orang pada umumnya.[1]

Salah satu dari beberapa kisah kekeramatan Imam Lapeo yang dipercaya kebenarannya oleh masyarakat Mandar dahulu, yaitu ketika ia ingin membayar hutang.

Suatu malam, Imam Lapeo menghadapi situasi yang mendesak. Ia belum memiliki uang untuk membayar hutang yang jatuh tempo keesokan harinya, yang dipinjamkan untuk perluasan bangunan masjid.

Dalam kondisi tersebut, Imam Lapeo bersama putranya, Muchsin Thahir, dan seorang kusir bendi berangkat menuju Majene untuk menemui H. Hasan, seorang pedagang yang memberikan utang, dengan tujuan meminta perpanjangan waktu.

Sepanjang perjalanan dari Lapeo menuju Majene, mereka singgah di beberapa masjid untuk melaksanakan shalat sunnah, seperti masjid-masjid di Karama, Tangnga-Tangnga, dan Tinambung. Imam Lapeo tidak terburu-buru, bahkan berlama-lama di masjid-masjid di Limboro dan Lembang-Lembang, sebelum melanjutkan perjalanan menjelang subuh.

Di perjalanan antara Lembang-Lembang dan Tinambung tiba-tiba ia ditahan oleh seseorang yang sama sekali tidak di kenalnya. Orang itu memberikan suatu bungkusan sebagai oleh-oleh kepada Imam Lapeo.

Imam Lapeo meminta putranya, Muchsin Thahir, untuk mengambil bungkusan tersebut dan melanjutkan perjalanan ke Majene. Sesampainya di rumah H. Hasan, bungkusan itu dibuka, dan di dalamnya terdapat sejumlah uang yang pas untuk membayar hutangnya.

Selain itu, terdapat juga berbagai cerita yang mengisahkan kemampuan luar biasa Imam Lapeo dalam menyembuhkan penyakit, menolong orang yang tenggelam, mengembalikan hewan peliharaan yang hilang, serta berbagai peristiwa keramat lainnya. Keajaiban-keajaiban tersebut semakin memperkuat keyakinan masyarakat Mandar terhadap kesucian dan kekeramatan Imam Lapeo, yang dianggap memiliki kemampuan yang luar biasa sebagai seorang wali.[2]

Sumber:

[1] Jurnal Universitas Islam Negeri Alauddin, "Imam Lapeo (Ulama dan Pahlawan dari Tanah Mandar)"
[2] Buku Sejarah dan Budaya Lokal dari Sulawesi sampai Bima karya Drs. Nasruddin, MM dkk
[3] Jurnal Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, "Imam Lapeo sebagai Pelopor Pembaharuan Islam di Mandar"




(edr/urw)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads