Nama BJ Habibie tentunya tak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Siapa yang tak mengenalnya? Sosok anak bangsa dengan deretan prestasi yang mengagumkan dalam bidang perancangan pesawat terbang.
Keahlian Habibie dalam bidang rancang bangun pesawat terbang menunjukkan karakternya yang visioner. Kemampuannya dalam bidang tersebut bahkan telah diakui dunia. Teori Habibie, Faktor Habibie, hingga Model Habibie menjadi sumbangsih yang luar biasa dalam dunia penerbangan.
Kecemerlangan prestasi Habibie ini tak terlepas dari prinsip dan karakter Bugis-Makassar yang dipegangnya. Putra pertamanya, Ilham Akbar Habibie, dalam sebuah seminar bertajuk Ethos 4 Jusuf di Universitas Hasanuddin, Senin (2/9/2024) mengatakan, prinsip Bugis-Makassar yang dipegang Habibie setidaknya dapat diterjemahkan dalam istilah yang disebut 3 B, yaitu berilmu, beragama, dan berani,
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi orang Bugis-Makassar itu harus berilmu, harus beragama tentunya, harus punya agama-kepercayaan, dan harus berani," ujar Ilham.
"Dan kalau kita menerjemahkan dan menerapkan itu pada kehidupan bapak, bagi curriculum vitae-nya itu kalau memang demikian akan berdampak dan bermakna," sambungnya.
Masa Kecil Habibie
![]() |
Nama aslinya Bacharuddin Jusuf Habibie, lahir di Parepare 25 Juni 1936. Ia merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, terlahir dari pasangan suami-istri Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA Tuti Marini Puspowardoyo.
Habibie yang semasa kecilnya akrab disapa Rudy tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sederhana. Sejak kecil Habibie menunjukkan perilaku yang berbeda dibandingkan saudara-saudaranya yang lain. Sehari-harinya Habibie lebih senang berdiam diri di rumah dan membaca buku.
Sang kakak bahkan harus setiap hari membujuk Habibie untuk keluar rumah dan bermain. Meskipun hanya sesekali, ketika bermain di luar rumah Habibie layaknya anak kecil pada umumnya. Ia bergaul dan bermain dengan anak-anak sebayanya dari berbagai kalangan.
Salah satu hal yang membuat Habibie unik adalah sudah bercita-cita menjadi insinyur sejak masih di taman kanak-kanak. Setiap ditanya oleh guru ingin jadi apa ketika besar, Rudy kecil akan dengan mantap menjawab mau jadi insinyur.
Pada tahun 1945 ketika usianya 9 tahun, Habibie yang mulai beranjak remaja pindah ke Makassar menyusul kakak-kakaknya. Setahun kemudian pada 1946 sang ayah dipromosikan menjadi Residente Landbouw Consulent Kepala Pertanian atau Inspektur Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan untuk seluruh wilayah Wilayah Indonesia Timur yang berkedudukan di Makassar.
Hanya sekitar 4 tahun berselang setelah menetap di Makassar, ayah Habibie meninggal dunia pada tanggal 3 September 1950. Alwi Abdul Jalil Habibie mendapat serangan jantung sekitar pukul tujuh malam dalam keadaan bersujud ketika melaksanakan sholat Isya.
Sepeninggal sang ayah, Habibie dikirim ke Jakarta oleh ibunya untuk melanjutkan pendidikannya di HBS. Alasannya karena di sekolah tersebut diajarkan bahasa Jerman dan Prancis.
Hanya beberapa minggu di sana, Habibie yang tak tahan akan panasnya Jakarta meminta izin kepada ibunya untuk pindah ke HBS Bandung Namun tak berselang lama, Habibie pindah ke SMP 5 atas keinginannya sendiri.
Setelah lulus, Habibie bersekolah di SMA Khatolik yang terletak di kawasan Dago. Ketika SMA, prestasi Habibie sudah mulai tampak menonjol di kelas, khususnya pada pelajaran-pelajaran eksakta seperti matematika dan mekanika.
Tamat SMA, Habibie melanjutkan pendidikannya ke Institut Teknologi Bandung (ITB). Selama menjadi mahasiswa ITB, Habibie mulai mulai menunjukkan ketertarikannya pada bidang pesawat terbang.
Sementara itu, sang ibu yang mulai merasa tak tenang karena jauh dari anaknya memutuskan menyusul ke Bandung bersama keluarga lainnya. Rumah yang mereka tempati selama di Makassar kemudian dijual untuk melanjutkan hidup di Bandung. Demi mencukupi biaya pendidikan anak-anaknya, sang Ibu berdagang kecil dan menyewakan pondokan mahasiswa.
Belajar Aeronautika ke Jerman
Tak sampai setahun mengenyam pendidikan di ITB, Habibie yang selalu haus pengetahuan memutuskan untuk berhenti dan melanjutkan pendidikan di Jerman. Ketika itu Habibie yang sedang berlibur ke Jakarta mendapatkan informasi mengenai beasiswa kuliah di Jerman.
Akan tetapi, Habibie yang ingin mengambil jurusan aeronautika tidak dapat berangkat dengan beasiswa di tahun itu. Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah berangkat dengan biaya sendiri.
Habibie lalu menyampaikan keinginan pada sang ibu dan kendala yang dihadapi. Setelah berdiskusi, ibunya menyanggupi. Ketika ayah Habibie meninggal, RA. Tuti Marini memang sudah bersumpah di hadapan jenazah suaminya untuk menyekolahkan anak-anaknya dengan keringat sendiri.
Setelah mendapat restu dari sang ibu, ia menyampaikan permohonan resmi kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Permohonan diterima, Habibie lalu mempersiapkan segala hal yang diperlukan untuk berangkat kuliah di Jerman
Tibalah waktu yang dinanti-nantikan, BJ Habibie pun berangkat menuju Jerman Barat menumpang pesawat KLM (Royal Dutch Airlines). Itu merupakan pengalaman pertama Habibie menggunakan pesawat terbang.
Sumpah untuk Bangsa Indonesia
![]() |
Ada sebuah cerita yang mengharukan saat Habibie berkuliah di Jerman. Ketika itu, Habibie tengah mempersiapkan sebuah Seminar Pembangunan di Hamburg bagian Utara bersama mahasiswa PPI lainnya. Habibie yang saat itu menjabat sebagai ketua PPI di Aachen tiba-tiba mendapat serangan penyakit semacam influenza yang virusnya masuk ke jantung.
Kesibukannya mempersiapkan seminar tersebut membuat Habibie seringkali melewatkan waktu makan. Belum lagi agenda yang padat ditambah kesibukan belajar membuatnya sering beraktivitas hingga larut malam. Akhirnya Habibie kelelahan dan dan jatuh sakit.
Saat itu Habibie dirawat di Rumah Sakit Bad Godesberg, Bonn, dan keadaannya kritis. Dia ditempatkan di kamar yang dihuni oleh seorang anak yang menderita leukimia cukup gawat. Dalam kondisi tersebut hampir tak ada harapan bagi BJ Habibie untuk hidup. Bahkan Habibie sudah dimasukkan ke kamar mayat dan didampingi oleh seorang rohanian.
Sementara itu, keluarga Habibie di Indonesia yang menerima kabar tersebut terguncang. Setelah pihak keluarga berunding, diputuskan sang Ibu bersama kakak ipar Habibie, Subono Mantofani yang akan berangkat ke Jerman Barat. Saat itu tak mudah melakukan perjalanan ke luar negeri, namun berkat bantuan Kolonel Gatot Subroto yang merupakan atasan Subono ketika itu, mereka akhirnya terbang ke Jerman.
Habibie yang ketika itu baru saja melalui masa kritisnya seolah kembali menemukan semangat hidupnya menyaksikan kehadiran sang ibu dan kakak iparnya. Di pembaringan ketika sedang merenung, Habibie menuliskan sebuah sajak yang menggambarkan perasaannya saat itu.
Dalam sebuah kesempatan Habibie pernah mengatakan, "Kemauan keras saya dan perkenan Tuhan menyebabkan masa kritis itu dapat saya lalui dengan baik." Puisi yang dituliskan Habibie ketika itu betul-betul menggambarkan tekadnya yang begitu kuat untuk membangun bangsanya.
Pada bait-bait dalam puisi itu, terlihat bahwa cita-cita pengabdian Habibie kepada Tanah Air telah tertanam dengan sangat kuat.
Berikut ini sajak puisi yang dituliskan Habibie:
Sumpahku !!!
"Terlentang!!!
Djatuh! Perih! Kesal!
Ibu Pertiwi
Engkau Pegangan
Dalam perdjalanan
Djanji pusaka dan sakti
Tanah tumpah darahku
Makmur dan sutji
..............
..............
..............
Hantjur badan
Tetap berdjalan
Djiwa besar dan sutji
Membawa aku,............. Padamu!!!"
Berkarier di Jerman dan Menjadi Ahli
Habibie menyelesaikan pendidikan setara S1 di Jerman dan meraih gelar Diploma Ing. pada tahun 1960. Saat itu ia berusia 24 tahun. Di sinilah perjalanan karier Habibie dalam bidang konstruksi pesawat terbang dimulai.
Berbekal gelar insinyur, Habibie bekerja sebagai Assistant Research Scientist pada Institut Konstruksi Ringan Technische Hochschule atau Rheinisch-Westfaelische Technische Hochshule (RTWH), Aachen.
Tahun 1962, Habibie berkesempatan pulang ke Indonesia setelah mendapat jatah libur 2 bulan dari perusahaan tempatnya bekerja. Ketika itulah ia bertemu kembali dengan Ainun dan memutuskan untuk menikah. Keduanya melangsungkan akad nikah pada 12 Mei di Bandung.
Pertemuan singkatnya hingga menikah dengan Ainun hanya berlangsung dalam 3 bulan. Ketika masa cutinya dua bulan yang diperpanjang sebulan telah habis, Habibie pun kembali ke Jerman, dia memboyong serta Ainun yang baru saja dinikahinya.
Setibanya di Jerman, Habibie menjalani kehidupan barunya. Pasangan muda itu berjuang bertahan hidup dari penghasilan Habibie yang pas-pasan. Mereka harus mengatur uang belanja dan mencukup-cukupkan uang yang dimiliki untuk biaya hidup sebulan.
Di tengah kesibukannya sebagai asisten peneliti, Habibie yang kala itu telah dikarunia putra pertamanya berusaha mencari pekerjaan lain. Bagai gayung bersambut, saat itu kebetulan sebuah industri kereta api di Jerman, Firma Talbot, sedang mencari ahli konstruksi untuk mendesain gerbong.
Habibie kemudian mencoba memakai cara-cara kontruksi pembuatan pesawat terbang dalam pembuatan wagon. Proses pembuatan prototipe gerbong tersebut sangatlah rumit. Namun berkat kemampuannya yang luar biasa, Habibie berhasil menyelesaikan tantangan tersebut. Prototipe gerbong yang didesain Habibie berhasil diterima oleh Pusat Percobaan dan Pengetesan Deutsche Bundesbahn.
Pada 1965, BJ Habibie menyelesaikan pendidikan doktornya dan meraih gelar doktor insinyur dengan predikat 'Sehr Gut' atau sangat baik. Di Jerman, sistem pendidikannya tidak mengenal istilah cum laude dan summa cum laude.
Ketika bekerja di Hamburger Flugzeugbau (HFB) DI Hamburg, Habibie lagi-lagi berhasil menunjukkan kepiawaiannya dengan menyelesaikan sejumlah persoalan yang selama ini sangat sulit terpecahkan.
Mulanya, Habibie ditugaskan memecahkan suatu persoalan terkait kestabilan konstruksi di bagian belakang pesawat terbang F 28 yang saat itu sedang dikembangkan. Sudah tiga tahun terakhir perusahaan tersebut berusaha menyelesaikan persoalan tersebut namun selalu gagal.
Mereka bahkan sudah menghabiskan biaya yang sangat besar untuk membayar tim khusus, namun hasilnya tak memuaskan. Di tangan Habibie, persoalan tersebut berhasil diselesaikan hanya dalam waktu 6 bulan.
Melihat keberhasilannya, Habibie diberikan tugas baru oleh HBF. Dia diminta memecahkan persoalan yang menyangkut gantungan mesin di bagian belakang pesawat terbang eksekutif yang dikenal dengan nama HBF 320. Kurang dari 7 bulan, masalah itu berhasil terselesaikan.
Tak sampai di situ, Habibie juga berhasil memenangkan tender Departemen Pertahanan Jerman untuk melakukan riset terkait penyebab jatuhnya Starfighter F-104 G. Habibie mengajukan rencana riset untuk menemukan metode perhitungan kecepatan suatu retakan berjalar pada bahan elastoplastik.
Riset itu dilakukan selama bertahun-tahun. Hasilnya mengagumkan, Habibie berhasil mengetahui rahasia penyebab jatuhnya pesawat tempur F-104 G. Setelah dilakukan rekayasa ulang dan perbaikan di bagian tertentu pesawat F-104 G, tak ada lagi pesawat F-104 G yang jatuh sejak saat itu.
Kecemerlangan Habibie dalam menyelesaikan persoalan-persoalan rumit tersebut berkat kemampuannya identifikasinya yang luar biasa. Tak hanya itu, dia memiliki banyak ide dan mampu mentransformasikannya menjadi kenyataan.
Beberapa rumusan Habibie seperti Teori Habibie, Faktor Habibie, Prediksi Habibie sekarang dapat ditemui pada sejumlah jilid Advisory Group for Aerospace Research dab Development (AGARD). AGARD merupakan buku pegangan yang berisi prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang dalam mendesain pesawat terbang standar North Atlantic Treaty Organization (NATO), organisasi pertahanan Atlantik Utara.
Prestasi yang Mendunia
![]() |
Sosok Habibie adalah sosok yang jenius. Dengan kejeniusannya, ia dijuluki Mr. Crack karena dapat merumuskan Teori Crack yang digunakan untuk menghitung keretakan hingga atap pesawat terbang dengan lebih presisi. Dengan rumus tersebut, Habibie memperoleh gelar kehormatan Guru Besar dari ITB dan Penghargaan Tinggi Ganesha Praja Manggala.
Selain itu, pengakuan dari Lembaga internasional juga berdatangan dari berbagai negara. Bahkan pernah mendapat penghargaan bergengsi yang hampir setara dengan penghargaan hadiah Nobel, yakni Edward Warner Award dan Award von Karman.
Kembali ke Indonesia dan Membangun Industri Pesawat Terbang
Setelah sukses berkarir hingga menjadi ahli konstruksi pesawat terbang di Jerman, BJ Habibie mendapat panggilan untuk kembali ke Indonesia. Ketika itu Habibie menduduki posisi sebagai Vice President dan Director of Applied Technology di perusahaan Jerman Messerschmitt Bolkow-Blohm (MBB). Tentunya tak mudah mendapatkan jabatan tersebut, terutama bagi seorang Indonesia yang harus bersaing dengan para ahli di negara tersebut.
Sekitar awal Desember 1972, Habibie ditemui oleh Ibnu Sutowo yang saat itu menjabat Direktur Utama Pertamina. Dalam pertemuan itu Ibnu menggambarkan kondisi Tanah Air yang jauh tertinggal dalam bidang ilmu dan teknologi.
Ia juga bercerita tentang rencana pembangunan yang sedang digalakkan di Indonesia, rencana-rencana yang akan dijalankan. Dan yang terpenting pesan Presiden Soeharto yang meminta BJ Habibie bersiap untuk pulang.
BJ Habibie yang sejak dulu memang memiliki keinginan besar untuk membangun Indonesia menyatakan kesiapannya memenuhi panggilan Presiden Soeharto untuk pulang ke Indonesia.
Sabtu, 26 Januari 1974, Habibie tiba di Indonesia. Tak laam berselang, Presiden Soeharto meminta Habibie untuk menemuinya di ruang kerja presiden. Dalam pertemuan tersebut, Presiden Soeharto menyatakan mengenai langkah konkrit yang akan dilakukan Habibie untuk pembangunan di Indonesia.
Ketika itu, Habibie memohon agar diizinkan mendirikan Industri Pesawat Terbang di Indonesia. Soeharto mengabulkan permohonan tersebut, Habibie kemudian diangkat menjadi Direktur Utama Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN).
Di bawah komando Habibie, IPTN bertransformasi menjadi Industri Pesawat Terbang Modern. Beberapa jenis pesawat terbang diproduksi, di antaranya Helikopter MBB jenis BO-103 dan pesawat jenis CASA 212.
Pada tahun 1977 IPTN menjalin kerjasama dengan Aero Spatiale Francis memproduksi Helikopter PUMA AS-33-J. Selain itu IPTN juga mendapat hak untuk memproduksi Helikopter NBO-105. Bahkan IPTN mampu memproduksi Pesawat Commuter berpenumpang yakni dengan beroperasinya pesawat CN 235 yang dilanjutkan dengan mengudaranya prototipe N-250.
Beroperasinya IPTN sekaligus menjadi pangkal kebangkitan teknologi tinggi Indonesia. Tak dapat dipungkiri Habibie menjadi figur sentral dalam dalam hal ini.
Kendati demikian, kontribusi ini tak terlepas dari sorotan dari sejumlah pihak. Beberapa dari mereka menilai proyek-proyek teknologi yang ditangani Habibie menyedot banyak anggaran. Namun Habibie tetap pada pendiriannya, menurutnya proyek-proyek teknologi tinggi memang memerlukan biaya yang tinggi, tapi itu semua perlu digarap demi kemajuan bangsa.
Proyek teknologi tinggi, menurut Habibie, akan menjadikan manusia-manusia dan produk berkualitas yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Referensi:
- Buku Empat Figur Yusuf, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Selatan
- Buku Mr. Crack dari Parepare
- Seminar Nasional Ethos 4 Jusuf, Prinsip dan Karakter Bugis-Makassar
Simak juga Video: Daftar Ilmuwan Indonesia dan Penemuannya yang Diakui Dunia