Masyarakat di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra) mempunyai satu tradisi unik bernama Karia'a Lambe. Tradisi ini merupakan upacara adat khusus bagi anak remaja yang mulai beranjak dewasa.
Tradisi Kari'a dilakukan dengan mengarak anak perempuan menggunakan tandu mengelilingi desa, sementara anak laki-laki berada di bagian depan dan berjalan kaki. Masyarakat setempat menggelar tradisi ini sebagai upacara sunatan khusus bagi anak laki-laki dan perempuan di Wakatobi.
"Yang dikhususkan untuk ditandu itu hanya anak perempuan saja. Yang laki-laki jalan kaki. Tapi laki-laki kan mereka jalan. Yang ditandu kan perempuan. Laki-lakinya itu mengikut pemangku adat mereka yang di depan itu," kata Mursalim, salah seorang warga yang mengikuti upacara tersebut kepada detikcom, Sabtu (3/9/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Umumnya, tradisi Karia'a digelar setahun sekali oleh masyarakat Wakatobi dan dilakukan di waktu-waktu khusus. Namun tradisi ini sempat tidak terlaksana dalam beberapa tahun terakhir semenjak COVID-19.
Setelah larangan tersebut sudah dicabut, barulah pada tahun ini masyarakat Wakatobi bisa kembali menggelar tradisi Karia'a. Salah satu desa di Wakatobi yang masih melestarikan tradisi tersebut adalah masyarakat di Desa Mandati.
Dalam pelaksanaannya, upacara tersebut dipimpin oleh tokoh adat yang dituakan di desa tempat digelarnya upacara Karia'a Lambe.
"(Dipimpin) pemangku adat yang ada disini. Maksudnya tokoh adat yang ada di desa itu, yang dituakan di sini," kata Mursalim.
Mursalim menyebut, dalam tradisi Karia'a Lambe, perempuan di atas tandu akan menggunakan pakaian adat Wakatobi lalu diarak dari desa ke kota. Sementara anak laki-laki yang berjalan kaki, serta tokoh adat juga menggunakan pakaian adat.
Para anak perempuan akan dikumpulkan terlebih dahulu dalam suatu tempat, kemudian dipandu oleh orang tua masing-masing sebelum diarak keliling desa.
"Yang pertama itu dikumpul dulu sama orang tua. Kalau misalnya satu tempat toh. Istilahnya rumah yang dipercayakan untuk turun sama-sama. Habis dipandu sama orang tua. Istilahnya sara ini turun duluan. Setelah turun dia menuju ke tempat duduk masing-masing. Sara itu yang ditandu," jelas Mursalim.
Selanjutnya proses dimulainya upacara...
Proses dimulainya upacara ini ditandai dengan nyanyian lagu-lagu daerah. Sepanjang berlangsungnya upacara, perjalanan juga akan diiringi dengan lagu daerah.
"Setelah itu dinyanyikan ada lagu-lagu daerah. Lagu kadandio namanya. Setelah lagu kadandio diangkat baru jalan. Jalan itu juga diiringi dengan lagu. Bahasa Wakatobi bahkan kita yang sekarang tidak mengerti apa artinya. Bahasa-bahasanya yang hanya dipahami oleh pemangku adat," kata Mursalim.
Mursalim menyebut pemangku adat akan berada di barisan depan saat upacara. Selain itu, diikuti juga oleh orang tua dari perempuan yang diarak di atas tandu.
"Yang duluan jalan itu. Pemangku adat tadi. Pemangku adatnya kurang lebih delapan atau Sembilan. Kalau orang tua si perempuan mengikuti tandu. Ada juga yang angkat tandu atau pegang aqua begitu," ujarnya.
Setelah anak perempuan diarak berkeliling, rombongan akan kembali membawa mereka menuju ke tempat berangkat. Mursalim menyebut, jarak yang ditempuh rombongan sekitar satu kilometer.
"Dimulai dari rumah tempat berangkatnya. Setelah itu diarak keliling. Selanjutnya kembali lagi ke tempat semula," ujarnya.
"Sekitaran satu kilo lebih lah," sambungnya.
Tradisi Karia'a Lambe ini dijadikan sebagai momentum mempererat tali silaturahmi antara keluarga, kerabat, tetangga. Uniknya, sepanjang perjalanan para keluarga dari anak-anak perempuan akan saling bersorak memuji-muji sang anak yang ditandu.
"Keseruannya itu pertama itu mulai dari turun. Pokoknya laki-lakinya sudah teriak itu. Kita promosikan kita punya saudara perempuan bahwa ini cantik. Pokoknya tidak ada duanya. Letak keseruannya itu pas berbalas kata itu antara laki-laki dari keluarga perempuan yang ditandu," jelas Mursalim.
Tradisi Karia'a ini merupakan suatu bentuk penghormatan kepada perempuan. Mursalim menyebut, upacara yang digelar merupakan salah satu upaya untuk melestarikan tradisi turun-temurun yang telah diwariskan.
"Yang pertama itu diistimewakan ceritanya. Kedua itu memang diambil dari kerajaan dulu, istilahnya kita meneruskan. Menghargai Perempuan zaman dulu, jadi istilahnya kita meneruskan lah. Jadi dulu kan raja atau tuan putri. Jadi analoginya begitu lah. Kita istilahkan tuan putri itu perempuan," jelasnya.
Simak Video "Video: Momen Nelayan Prigi Trenggalek Gelar Labuh Larung Sembonyo"
[Gambas:Video 20detik]
(urw/hmw)