Sigajang laleng lipa adalah salah satu budaya yang ada di Sulawesi Selatan. Tradisi ini dilakukan khususnya pada masyarakat suku Bugis-Makassar untuk mempertahankan harga diri dan martabat.
Melansir Warisan Budaya Kemdikbud, sigajang laleng lipa atau sitobo laleng lipa adalah ritual bertarung dalam sarung menggunakan senjata tradisional badik. Disebutkan bahwa sigajang laleng lipa pada masyarakat terdahulu suku Bugis-Makassar dilakukan untuk lambang kekuatan, seni, dan permainan rakyat, meskipun akhirnya berakhir dengan kematian.
Selain itu tradisi ini juga dilakukan oleh masyarakat Bugis-Makassar sebagai jalan terakhir dalam penyelesaian masalah. Ritual sigajang laleng lipa dilakukan untuk menentukan kebenaran bagi mereka yang bersengketa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi yang hidup alias sang pemenang adalah pihak yang benar, sementara pihak kalah dan berakhir dengan kematian adalah pihak yang salah. Tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh rakyat biasa, tetapi juga dilakukan oleh arung atau kalangan bangsawan.
Ritual sigajang laleng lipa dilakukan dengan menyatukan dua pria di dalam sebuah sarung. Kedua pria nantinya akan saling bertarung dan adu kekuatan menggunakan badik hingga keduanya sama-sama mati atau sama-sama hidup, atau salah satunya mati.
Sejarah Sigajang Laleng Lipa
Melansir jurnal Universitas Hasanuddin yang berjudul "Tudang Madeceng: Transformasi Nilai Positif Sigajang Laleng Lipa Dalam Penyelesaian Sengketa Non Litigasi" disebutkan bahwa tradisi ini mulai dilakukan pada masa Kerajaan Bugis ratusan tahun lalu. Di masa lalu, jika ada dua keluarga yang berseteru, penyelesaian terakhirnya adalah dengan adu kekuatan dengan ritual ini.
Jika ada keluarga yang harga dirinya direndahkan, pertarungan ini akan dilangsungkan agar segala permasalahan segera berakhir dan perselisihan tidak terus terjadi.
Namun, dijelaskan pula bahwa ritual sigajang laleng lipa tidak tertulis dalam catatan raja Gowa-Tallo dan kitab I La Galigo serta catatan harian Aru Palaka. Tidak ada pembahasan terkait ritual ini baik secara eksplisit maupun implisit bahwa pernah terjadi sigajang laleng lipa pada masa-masa kerajaan Bugis Sulawesi Selatan.
Dalam naskah sejarah disebutkan seorang raja dalam menyelesaikan masalah pantang untuk keluar darah dari tubuhnya. Sehingga pakar hukum adat menyebutkan ritual ini hanyalah kiasan-kiasan yang hidup dalam masyarakat Bugis agar manusia menjunjung tinggi harkat dan martabatnya.
Konon, tradisi ini berasal dari sifat masyarakat Bugis yang menjunjung tinggi rasa malu, atau yang dalam bahasa Bugis disebut siri. Sifat Siri ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Bugis termasuk dalam menyelesaikan masalah.
Bahkan ada pepatah yang mengatakan, hanya orang yang punya siri yang dianggap sebagai manusia. Selain itu, ada prinsip yang dijunjung masyarakat suku Bugis yakni "narekko siri kuh mo'lejja-lejja copponna mih kawalie ma'bicara", yang artinya jika malu saya kamu injak-injak maka ujungnya Badik yang bertindak.
Tetapi sebelum melakukan ritual sigajang laleng lipa, pihak yang berseteru terlebih dahulu bersepakat untuk bertarung. Melalui kesepakatan ini maka apabila salah satunya meninggal maka pihak satunya tidak dikenakan sanksi apapun.
Sigajang laleng lipa sendiri dianggap sebagai cara terakhir apabila tidak mencapai kata damai dalam sebuah musyawarah.
Selanjutnya makna tradisi sigajang laleng lipa...