Asal Usul Buaya Diyakini Keturunan Manusia dalam Mitos Bugis-Makassar

Asal Usul Buaya Diyakini Keturunan Manusia dalam Mitos Bugis-Makassar

Tim detikcom - detikSulsel
Sabtu, 12 Feb 2022 17:16 WIB
Buaya diyakni warga di Makassar sebagai keturunan manusia
Foto: Buaya yang diyakni sebagai keturunan manusia. (Hermawan-detikcom)
Makassar -

Sejumlah masyarakat Bugis-Makassar hingga kini masih meyakini mitos buaya sebagai keturunan dan kembaran manusia. Hal ini membuat buaya dimuliakan oleh masyarakat Bugis-Makassar yang meyakini buaya sebagai kembaran dan keturunannya.

Seperti kejadian pada November 2020 silam, dimana kemunculan buaya di Sungai Tallo, Kota Makassar membuat gempar warga karena buaya itu diyakini sebagai kembaran manusia. Peristiwa itu juga sempat viral di jagat maya.

Dia lah Muliadi, warga di Jalan Pacinan, Kelurahan Tello Baru, Panakkukang, Makassar yang mengevakuasi buaya itu dari sungai dan meletakkannya di ruang tamu rumahnya. Muliadi yakin buaya yang dibawa ke rumahnya itu keturunan manusia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Buaya keturunan (manusia) itu," tutur kerabat Muliadi, Firman, kepada wartawan di rumah Muliadi pada Kamis, 12 November 2020 lalu.

Keyakinan itu membuat Muliadi menggelar serangkaian upacara adat di rumahnya, mulai dari buaya yang diletakkan di atas kain putih hingga memanggil orang khusus untuk menabuh gendang.

ADVERTISEMENT

Menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Dr Nurhayati Rahman, keyakinan masyarakat Bugis-Makassar soal buaya merupakan keturunan manusia dan harus diperlakukan dengan mulia sudah ada jauh sebelum ajaran Islam masuk ke Sulawesi Selatan (Sulsel). Hal itu sebagaimana tertuang dalam kitab sastra Bugis kuno Lagaligo.

"Di Lagaligo ada dijelaskan pandangan kosmogoni, bahwa orang Bugis memandang alam raya ini terdiri dari tiga lapis. Yaitu dunia di atas (langit) atau yang disebut Botting Langi dihuni oleh para dewa dan dewi. Lalu kemudian dunia di bawah laut dia sebut dengan Buri Liung, yang juga dihuni oleh dewa-dewi. Pertemuan antara dewi dari Botting Langi dan dewa di Buri Liung melahirkan manusia," jelas Nurhayati sebagaimana dilansir dari detiknews, Sabtu (12/2/2022).

Dalam naskah Lagaligo, manusia yang lahir dari pertemuan dewi Botting Langi (dunia langit) dan dewa dari Buri Liung (dunia laut) menghuni dunia tengah yang disebut Ale Lino. Karena hidup di dunia tengah, Ale Lino mempunyai tugas menjaga keseimbangan alam.

Hal itu membuat masyarakat Bugis-Makassar kuno meyakini dirinya sebagai bagian dari apa yang berasal dari langit dan bawah laut, termaksud buaya yang diyakini sebagai keturunan dan kembarannya.

"Jadi mereka percaya setiap manusia itu lahir di dunia ini ada kembarannya. Ada yang kembaran air, ada yang kembaran ular, tapi pada umumnya mereka menganggap kembarannya adalah buaya," ungkapnya.

Penulis buku 'Suara-suara dalam Lokalitas' itu melanjutkan, masyarakat Bugis-Makassar kuno juga selalu mengaitkan kelahiran manusia dengan buaya yang disebut sebagai sang pemilik air, atau Patanna Jene dalam bahasa Makassar.

"Dia (orang Bugis-Makassar) tidak mau sebut itu buaya, tapi Patanna Jene (di Makassar), kalau Bugis Punnae Wae (pemilik air). Dan dia percaya bahwa kalau jari-jarinya terdiri dari 5 itu bukan buaya, tapi manusia, iya (maksudnya buaya keturunan manusia)," paparnya.

Buaya dalam masyarakat Bugis-Makasar kuno lantas kian mulia, karena dalam kitab Lagaligo disebutkan, dewa-dewi dari dunia langit dan dunia bawah laut selalu duduk di punggung buaya ketika muncul ke bumi

"Sekali lagi ini kepercayaan, kalau kepercayaan itu kan masuk dalam supranatural ya, selalu terkait dengan hal-hal yang di luar jangkauan akal sehat, semua kepercayaan begitu," imbuhnya.

Sementara itu, mereka yang meyakini buaya sebagai kembarannya menyebut bahwa saat ibu melahirkannya di dunia ada buaya yang juga muncul dari air ketuban yang pecah.

"Jadi dia (ibu melahirkan) menganggap sebelum keluar anaknya itu, itu kan ada pecah ketuban, nah dia menganggap air itu keluar bersama dengan kembarannya (buaya) anaknya. Jadi dia punya kepercayaan, bahwa orang Bugis-Makassar, orang Sulawesi Selatan, bahwa selalunya itu manusia lahir tidak sendirian di dunia ini, selalu ada kembarannya," pungkasnya.

(nvl/nvl)

Hide Ads