Sebanyak 120 kepala keluarga (KK) di wilayah Transmigran Maidi, Kecamatan Oba Selatan, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, memilih eksodus imbas wilayahnya kerap tergenang banjir. Kondisi itu mengakibatkan warga kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari apalagi aktivitas pertanian lumpuh.
"Dampak (wilayah permukiman dan lahan perkebunan kerap tergenang banjir) sampai batanam (menanam) juga tara (tidak) bisa, (tanaman) yang so (sudah) tanam juga mati (tidak dapat tumbuh)," ujar warga Transmigran Maidi, Arianto Abd Rajak kepada detikcom, Senin (17/6/2024).
Arianto mengatakan warga meninggalkan kampung secara bertahap. Dia mengatakan 120 KK memilih eksodus dalam kurun waktu 2016-2017.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Awalnya 200 kepala keluarga (KK), cuma mulai di tahun 2016-2017 saat sering tergenang, penduduk berkurang, mereka keluar tinggalkan kampung. Sekarang yang tersisa tinggal 91 KK," terang Arianto.
Sementara itu, Kepala Desa Maidi, Abdullah Yakub mengatakan jumlah warga yang tersisa saat ini sebanyak 80 KK. Dia menyebut, sebelumnya ada 200 KK yang terbagi 100 warga lokal dan 100 warga dari Pulau Jawa.
"Sekarang tinggal 80 KK. Jadi awalnya itu untuk satuan permukiman 1 kan 200 KK yang terdiri dari penduduk lokal 100 KK, nasionalnya (transmigran dari Pulau Jawa) 100 KK. Cuma karena di transmigran itu kan kendalanya air tergenang toh, baru jalan keluarnya air itu sampai sekarang belum dinormalisasi, akhirnya setiap hujan air tergenang," jelasnya.
Lebih lanjut Abdullah mengatakan, penyebab dari kondisi itu membuat warga memilih eksodus ke beberapa desa di wilayah Tidore Kepulauan. Bahkan, ada yang memilih balik ke Jawa sebagai akibat dari dampak ekonomi.
"Ada yang ke Desa Kosa, Desa Bale (Kecamatan Oba) dan juga ke Sofifi (Kecamatan Oba Utara), dan ada juga sudah pulang ke Jawa. (Warga memilih eksodus) karena mereka tidak bisa menanam untuk membiayai anak-anak sekolah dan (memenuhi kebutuhan) ekonomi sehari-hari," ujar Abdullah.
Abdullah menuturkan, sejauh ini belum ada tanggapan dari Pemerintah Kota Tidore Kepulauan. Tapi dirinya sempat meminta warga yang berada di lokasi melakukan dokumentasi tanggul yang jebol agar diteruskan ke dinas terkait.
"Belum (direspons pemkot). Kemarin pas hujan deras itu saya kegiatan di Sofifi dua hari. Jadi saya minta mereka di kampung dokumentasi, biar saya lapor ke dinas transmigrasi. Karena waktu (irigasi) jebol pertama, transmigrasi dan PUPR sudah turun itu," imbuhnya.
Detikcom telah berupaya menghubungi Kepala Dinas PUPR Kota Tidore Kepulauan, Abdul Muiz Husaen sejak Minggu (16/6) malam hingga Senin (17/6). Namun panggilan telepon hingga pesan WhatsApp belum direspons hingga berita tayang.
Sebelumnya diberitakan, sebanyak 21 rumah warga di Kota Tidore Kepulauan, terendam banjir gegara tanggul yang baru selesai dibangun jebol. Kondisi tersebut sudah berlangsung hampir sepekan dan belum ada tanda-tanda air surut.
"Ada sekitar 21 rumah yang sampai sekarang masih tergenang air. Jadi saat (tanggul) jebol kan air langsung meluber keluar. Sudah sekitar satu minggu ini tergenang air," ujar warga Transmigran Maidi, Arianto Abd Rajak kepada detikcom, Senin (17/6).
Peristiwa tanggul jebol terjadi di wilayah Transmigran Maidi, Kecamatan Oba Selatan, Kota Tidore Kepulauan pada Senin (10/6). Ketinggian air mencapai satu meter.
"(Panjang dinding tanggul yang ambruk) sekitar 200 meter, (akibatnya) air meluap ke perkampungan. Ketinggian air sekitar 1 meter, karena tanggul hingga saluran irigasi itu terhubung langsung ke Sungai Hager," ujarnya.
(hsr/sar)