Kita mungkin sudah tidak asing dengan stereotip umum yang menyebut perempuan lebih emosional dibanding laki-laki, terutama karena perempuan lebih mengutamakan perasaan. Apakah stereotip tersebut adalah benar, dan bagaimana pandangan studi terkait hal ini?
Dilansir dari detikEdu, kebenaran akan stereotip tersebut terjawab melalui sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Scientific Reports. Studi tersebut mengamati naik turunnya emosi pada perempuan dan laki-laki, termasuk bagaimana variasi emosi yang tidak dapat dikontrol secara eksperimental.
Dalam penelitian tersebut, peneliti mengamati pengaruh hormon seks dan ovarium terhadap volatilitas, kelambanan emosional, dan siklus. Lantas, seperti apa hasilnya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penelitian Terhadap 142 Laki-laki dan Perempuan
Selama 75 hari para peneliti mengikuti responden yang terdiri dari 142 laki-laki dan perempuan untuk mengamati emosi mereka secara teratur. Saat penelitian, perempuan dikategorikan dalam empat kelompok berbeda.
Setiap hari pada pukul 17.00, peneliti akan mengirim tautan survei online berdurasi 20 menit untuk diisi responde. Mereka diinstruksikan untuk menyelesaikan survei tersebut setelah pukul 20.00 atau sebelum tidur.
Melalui survei tersebut, mereka diminta melengkapi penilaian yang mencakup sejauh mana mereka mengalami 10 emosi positif dan 10 emosi negatif sepanjang 24 jam terakhir dengan skala 1 (sangat sedikit/tidak sama sekali) hingga 5 (sangat).
Dari survei yang dilakukan tersebut, ditemukan fakta bahwa hanya sedikit perbedaan naik turunnya emosi antara pria dan wanita.
"Kami juga tidak menemukan perbedaan yang berarti antara kelompok perempuan, sehingga jelas bahwa naik turunnya emosi disebabkan oleh banyak pengaruh, bukan hanya hormon," kata penulis senior studi Adriene Beltz dari Universitas Michigan (UM) dalam International Business Time, dikutip Rabu (3/1/2024).
"Jadi, hanya ada sedikit indikasi bahwa hormon ovarium memengaruhi variabilitas afektif pada wanita lebih besar dibandingkan faktor biopsikososial yang memengaruhi emosi sehari-hari pada pria," tulis para peneliti.
Stereotip yang Keliru
Penelitian tersebut juga menunjukkan adanya perubahan yang signifikan terhadap cara pandang terhadap ekspresi pada gender yang berbeda. Seorang profesor di Fakultas Pekerjaan Sosial Universitas Tulane, Amerika Serikat, Dr Catherine McKinley menilai, selama ini peran gender yang tradisional dan kaku dalam masyarakat patriarki telah menggambarkan bahwa laki-laki sebagai 'tidak emosional' dan perempuan sebagai 'emosional.'
"Karena patriarki menggambarkan laki-laki lebih unggul dibandingkan perempuan, sifat-sifat stereotip yang diasosiasikan dengan perempuan dan feminitas tidak dihargai, didiskreditkan, dan didelegitimasi," ucapnya, sebagaimana dikutip dari Very Well Mind.
McKinley menilai, menggambarkan perempuan dan laki-laki secara inheren termasuk dalam peran gender yang melanggengkan mitos, stereotip, dan seksisme adalah hal yang salah.
Menurutnya, anggapan bahwa perempuan lebih emosional "salah besar". Hal ini dipertegas dengan adanya fakta bahwa "setiap manusia selalu memiliki emosi, baik mereka mengidentifikasinya atau tidak."
Dampak Negatif Stereotip yang Berpusat pada Emosi
Para peneliti menuturkan anggapan orang-orang tertentu tentang siapa yang lebih emosional dibandingkan orang lain adalah hal yang keliru. Hal ini dianggap telah menyebabkan kerugian serius bagi semua orang.
"Tidak ada orang yang benar-benar cocok dengan kotak-kotak ini. Semua orang memiliki emosi dan membutuhkan koneksi," kata Liz Coleclough, PhD, LICSW, pakar pekerja sosial yang berspesialisasi dalam terapi trauma.
"Mereka mungkin menunjukkan, berperilaku, atau mengidentifikasi dalam berbagai cara di luar stereotip yang ditetapkan saat lahir. Namun, karakteristiknya dan perilaku yang melampaui ekspektasi gender dapat menimbulkan penolakan, pengucilan, bahkan bahaya," imbuhnya.
Jangan Membentuk Diri dengan Stereotip yang Keliru
Para ilmuwan menekankan, pada akhirnya setiap orang tidak perlu untuk menyetujui stereotip yang ada tentang siapa yang lebih emosional. Sebab ketika seseorang mencoba membentuk dirinya agar sesuai dengan salah satu stereotip ini, dia justru membatasi kemampuannya untuk tumbuh dan mengekspresikan diri.
"Ini dapat menyebabkan perempuan memiliki akses terbatas terhadap kekuasaan dan peluang, dan laki-laki menghambat ekspresi perasaan mereka yang sehat dan meminimalkan hubungan yang mendalam," ungkap Coleclough.
(urw/urw)