Kenapa Bulan Suro Dianggap Keramat? Ternyata Ini Alasannya

Kenapa Bulan Suro Dianggap Keramat? Ternyata Ini Alasannya

Edward Ridwan - detikSulsel
Rabu, 19 Jul 2023 12:42 WIB
A multi-colored pattern of blue smoke of a mystical shape in the form of a face and a ghosts head or a strange creature on a black isolated background. Abstract pattern in of waves and steam
Foto: Getty Images/iStockphoto/Aleksandr Kondratov
Makassar -

Bagi sebagian masyarakat di Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, bulan Suro dianggap bulan yang sakral dan penuh mistis. Lantas kenapa bulan Suro dianggap keramat?

Bulan Suro merupakan bulan pertama dalam kalender almanak Jawa. Kalender Jawa ini juga identik dengan sistem kalender Islam Hijriyah, yang mana bulan Suro bertepatan dengan bulan Muharram dalam Islam.

Khusus bulan Suro ini diyakini sebagian masyarakat memiliki kemistisan dan kesakralan tertentu. Karena itu berbagai larangan muncul di bulan ini, seperti dilarang menikah, dilarang keluar rumah, dan dilarang melakukan hal-hal yang sembarangan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lantas, mengapa bulan Suro dianggap sebagai bulan keramat? Benarkah larangan-larangan di bulan Suro yang diyakini masyarakat tersebut bisa mendatangkan musibah jika dilanggar? Dan bagaimana pula Islam memandang hal ini?

Berikut ulasannya dirangkum detikSulsel dari berbagai sumber.

ADVERTISEMENT

Sejarah Awal Bulan Suro dan Bulan Muharram

Mengutip CNN Indonesia, bulan Suro ini berawal dari Raja Kerajaan Mataram Sultan Agung yang berkuasa pada tahun 1613-1645. Kala itu, Sultan Agung membuat kebijakan khusus untuk menyatukan kalender Saka dan kalender Islam Hijriyah.

Awalnya penanggalan Saka adalah perpaduan antara kalender Jawa dan warisan dari Agama Hindu.

Dalam buku Sejarah Perkembangan Tahun Baru Jawa dan Perilaku Sosial-Budaya Orang Jawa: Suatu Pengantar (2005) disebutkan bahwa perubahan kalender oleh Sultan Agung ini terjadi pada tanggal 1 Sura tahun alip 1555 yang bertepatan pada 1 Muharram 1043 Hijriyah atau 8 Juli 1633 Masehi.

Sementara itu, Nama bulan "Suro" atau "Sura" disebutkan berasal dari istilah "Assyura" yakni hari ke-10 di bulan Muharram. Hari Asyura ini memiliki makna yang sangat penting dalam Islam.

Dikutip dari PCNU Cilacap, kata Asyura dalam bahasa arab berarti "sepuluh". Namun dalam lidah masyarakat Jawa kata "Asyura" akhirnya menjadi "Suro/Sura".

Selain bulan Suro, dalam kalender Jawa nama-nama bulan juga identik dengan nama bulan pada kalender Hijriyah. Setelah Suro, bulan selanjutnya adalah Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Syawal, Sela, dan Besar.

Berbagai Tradisi Pada Bulan Suro

Mengutip dari Buku Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa karangan Muhammad Sholikhin, disebutkan bahwa meskipun bulan Muharram dan bulan Suro dianggap identik, namun keduanya memiliki perbedaan yang mendasar, khususnya dalam hal ritual dan tradisinya.

Dalam Islam, bulan Muharram dianggap sebagai bulan haram atau bulan suci. Di mana pada bulan Ini Allah melarang umat Islam untuk melakukan peperangan dan pertumpahan darah.

Dalam masyarakat muslim Jawa, bulan Suro biasanya dirayakan dengan berbagai ritual-ritual khusus seperti selamatan, wilujengan, ruwatan dan sebagainya. Ritual-ritual ini memiliki makna untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Kuasa.

"Hal itu terkadang juga dimaksudkan sebagai upaya negosiasi spiritual sehingga segala hal gaib yang diyakini berada di atas manusia tidak akan menyentuhnya secara negatif," tulis Muhammad Sholikhin.

Ritual-ritual ini merupakan asimilasi antara Hindu, Budha, Jawa, dan Islam yang menyatu dalam wacana kultural mistik.

Alasan Bulan Suro Dianggap Keramat

Lantas, kenapa bulan Suro dianggap keramat?

Dari laman PCNU Cilacap, disebutkan bahwa bulan Suro bagi masyarakat Jawa dan Sunda memang dianggap sebagai bulan yang sakral. Hal ini diyakini secara turun temurun sehingga muncul berbagai pantangan-pantangan seperti larangan menikah, hajatan dan lain sebagainya.

Alasannya, bulan Suro dianggap sebagai bulan yang paling agung dan mulia. Karena kemuliaannya inilah maka manusia biasa atau seorang hamba dianggap terlalu lemah atau tidak akan kuat menyelenggarakan kegiatan-kegiatan lain diluar ritual yang telah ditentukan, seperti pernikahan atau hajatan.

Hajatan dan acara besar hanya dapat dilakukan oleh kaum keraton, yakni para raja atau sultan. Maka pada bulan Suro dilaksanakan ritual dan tradisi seperti jamasa pusaka, ruwatan, serta sesajen agung atau laku tapa brata.

Karena itu, bulan Suro dianggap sebagai bulan hajatan para raja dan sultan. Adapun orang biasa yang ikut-ikutan melaksanakan hajatan akan kualat.

Selain itu, dikutip dari Jurnal UIN Raden Intan Lampung, yang berjudul Tradisi Upacara Satu Suro dalam Perspektif Islam, disebutkan bahwa dalam kepercayaan masyarakat Jawa bulan Suro juga digunakan sebagai awal penanggalan dalam jagad gaib. Yakni alam para makhluk halus seperti jin, setan, siluman, binatang gaib, leluhur, alam arwah dan bidadari.

Bagi mereka, bulan Suro juga merupakan bulan sakral, di mana para makhluk halus tersebut mendapatkan dispensasi untuk melakukan seleksi alam. Bagi siapapun manusia yang tidak waspada pada bulan ini, maka bisa terkena dampaknya.

Muharram Dalam Pandangan Islam

Sementara itu, dikutip dari laman almanhaj.or.id, bulan Muharram sendiri memiliki makna dan kemuliaan tersendiri dalam Islam. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ

"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu" [At-Taubah/9:36]

Menurut Imam Ath-THabari menyebutkan keempat bulan haram tersebut adalah Rajab, Dzulqadah, Dzulhijjah dan Muharram. Hal ini senada dengan ungkapan Syaikh Abdurrahman As-Sa'di, ia berkata, keempat bulan tersebut dinamakan bulan haram karena kemuliaan yang lebih dan diharamkan peperangan pada bulan tersebut.

Selain itu, di dalam bulan Muharram juga terdapat satu hari yang sangat spesial yakni hari Asyurra yakni hari ke-10 di bulan Muharram. Di hari ini umat Islam dianjurkan untuk berpuasa.

Salah satu keutamaan puasa Asyura ini disebutkan bahwa puasa tersebut dapat menghapus dosa selama setahun yang lalu.

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَومِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Asyura, jawabnya : "Puasa Asyura menghapus dosa setahun yang lalu" [Hadits Riwayat Muslim 1162, Tirmidzi 752, Abu Daud 2425, Ibnu Majah 1738, Ahmad 22031]

Bulan Suro dalam Perspektif Islam

Dikutip dari Jurnal Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung, disebutkan bahwa umat Islam sebaiknya bijak dalam menyikapi bulan Suro atau bulan Muharram ini. Sebagai umat Rasulullah SAW, sebaiknya meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah dengan melaksanakan berbagai amalan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri.

Seorang muslim sebaiknya tidak terjebak dengan anggapan-anggapan negatif bulan Suro yang banyak berkembang di masyarakat. Seperti anggapan bahwa bulan Suro adalah bulan sial atau apes yang dapat mendatangkan bencana dan lain sebagainya.

Demikianlah penjelasan tentang kenapa bulan Suro dianggap keramat dan bagaimana Islam memandang anggapan-anggapan tersebut. Semoga menjawab rasa penasaran kalian ya, detikers!




(edr/urw)

Hide Ads