Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (Sulsel) melaporkan ada sekitar 17.000 anak tidak sekolah (ATS) usia SD, SMP dan SMA. Pihaknya pun memberikan subsidi agar mereka bisa kembali melanjutkan pendidikannya.
"Anak tidak sekolah itu awalnya 40.000 lebih. Setelah diverifikasi dan validasi berdasarkan dapodik by name by adress Disdik sisa 17.000," kata Kepala Disdik Bone Andi Fajaruddin kepada detikSulsel, Sabtu (3/6/2023).
Fajaruddin menuturkan pemberian subsidi kepada anak putus sekolah akan diberikan secara bertahap. Tahun ini pihaknya mengalokasikan anggaran subsidi total Rp 1 miliar untuk 2.500 anak putus sekolah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebanyak Rp 1 miliar kita alokasikan anggaran untuk kurang lebih 2.000 sampai 2.500 anak tidak sekolah. Itu subsidi langsung ke peserta belajar, masing-masing terima Rp 500 ribu," imbuhnya.
Fajar mengatakan total subsidi itu dianggarkan lewat APBD dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) Kesetaraan. Khusus untuk siswa putus sekolah usia 24 tahun ke atas diakomodir menggunakan APBD, sementara usia 24 tahun ke bawah lewat BOP.
"Jadi yang usia 24 tahun ke atas itu yang akan kita subsidi melalui APBD untuk paket A, paket B, dan paket C. Uang itu diterima tunai oleh peserta belajar langsung ke rekeningnya," jelas Fajar.
Pemberian subsidi bagi anak putus sekolah ini mengacu pada data Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
"Uang itu kita transfer ke Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Nanti PKBM yang mendata warganya, dan transfer ke orangnya," sambung Fajar.
Fajar mengklaim angka anak putus sekolah di Bone sudah jauh menurun. Awalnya dilaporkan ada 40.000 anak putus sekolah hingga kini ditekan di angka 17.000 orang.
"Awalnya ada 40.000 anak tidak sekolah. Makanya target penuntasan kita tahun 2023 ini 2000 sampai 2.500 orang. Tujuannya untuk meningkatkan indeks pendidikan kita yang muaranya ke perbaikan indeks pembangunan manusia (IPM)," jelasnya.
Fajar menambahkan, penyebab anak tidak sekolah mayortias faktor ekonomi yang paling dominan. Banyak anak tidak sekolah karena ikut kerja ke orang tuanya untuk menopang ekonomi keluarga.
"Anak-anak yang seharusnya bersekolah berhenti karena tekanan ekonomi memaksa dia untuk bekerja. Insyaallah dengan berbagai program kita, termasuk dengan Gerakan Masyarakat Lisu Massikola (Gemar Limas) sudah mengurangi angka putus sekolah itu," pungkasnya.
(sar/sar)