Wali Kota Makassar Moh Ramdhan 'Danny' Pomanto mengundur pelaksanaan pemilu raya ketua RT/RW agar pelaksanaannya berbarengan dengan Pilpres dan Pileg tahun 2024. Kebijakan ini pun memicu kontroversi di tengah masyarakat.
"Jadi pak wali kota tidak usah mengambil kebijakan yang berbau pro dan kontra. Jangan memaksakan kehendak karena itu yang memicu tidak kondusifnya masyarakat karena kontroversial," ucap Sekretaris Aliansi Eks Ketua RT/RW Makassar Khairilyen kepada detikSulsel, Sabtu (8/10/2022).
Mantan Ketua RT di Kelurahan Maccini Parang, Kecamatan Makassar ini menilai Wali Kota Makassar terkesan memonopoli pemilu ketua RT/RW. Masyarakat dianggap tidak dilibatkan dalam setiap kebijakan.
"Pemilu RT RW itu milik masyarakat. Masyarakat yang seharusnya mengatur sekaitan dengan tanggal waktu. Pemerintah hanya fasilitator, tidak bisa dia memonopoli hal-hal yang seperti ini," katanya.
Menurutnya, Pemkot Makassar tidak punya hak untuk menentukan pelaksanaan pemilu raya ketua RT/RW. Pihaknya mengingatkan, jika waktu pemilihan RT/RW merupakan kewenangan warga, sementara pemerintah sekadar fasilitator.
"Saya tidak perlu menjelaskan undang-undang yang sekaitan dengan hal itu. Tapi sesungguhnya Pemkot lebih tahu persis, cuma mereka menganggapnya masyarakat tidak paham hukum," ujar Khairil.
Aliansi Eks Ketua RT/RW Kota Makassar menilai kebijakan penundaan pemilu RT/RW tahun ini sarat muatan politis. Wali Kota Makassar terlalu memaksakan kehendak tanpa mau mendengar aspirasi masyarakat.
"Keputusan menunda pemilu raya inikan memicu kecurigaan orang lain. Kontroversi sekali, terlalu banyak muatan politis. Bahkan lebih dominan politisnya dalam pengambilan kebijakannya," urai dia.
Khairil juga menuding Pemkot Makassar tidak konsisten dengan kebijakannya. Sistem e-voting pemilu RT/RW yang sebelumnya optimis diberlakukan justru belakangan jadi alasan penundaan karena menuai penolakan.
"Sebelumnya digadang-gadang untuk dilakukan di bulan November melalui mekanisme e-voting. Kalau itu kemudian ditunda berarti itu secara tidak langsung memicu opini masyarakat, khususnya eks RT/RW untuk berpandangan bahwa sistem e-voting itu memiliki penyimpangan," ujarnya.
Pihaknya pun memang sejak awal menganggap sistem e-voting rawan kecurangan. Menurutnya sistem itu sejak awal direncanakan untuk kepentingan politik tertentu.
"Dari pandangan politisnya, jangan-jangan ini adalah cara untuk memenangkan orang-orang yang kemudian ingin mengusung dia di beberapa kontestasi politik atau kepentingan pribadi dan kelompoknya," tutur Khairil.
Kebijakan yang Dituding Tidak Berdasar
Sementara anggota Fraksi PKS Makassar Yeni Rahman menilai pertimbangan Wali Kota Makassar menunda pemilu RT/RW patut dipertanyakan. Alasan menjaga kondusivitas masyarakat di tengah penolakan e-voting tidak berdasar.
"Tidak mendasar sekali. Kalau pun misalnya karena alasan e-voting pemilihan tidak bisa, kan bisa melakukan pemilihan secara manual," tegas Yeni Rahman saat dihubungi, Sabtu (8/10).
Dirinya turut mempertanyakan dasar jika kemudian Wali Kota Makassar berencana menggelar pemilu RT/RW serentak dengan momen pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg).
"Bagaimana caranya mau fokus? Dimana logikanya. Susah itu. Tidak mendasar sekali," imbuhnya.
Atas hal itu, anggota Komisi D DPRD Makassar menganggap Danny terlalu ikut campur dalam pemilu RT/RW. Kebijakannya pun dinilai rawan menimbulkan riak-riak di masyarakat.
"Terlalu jauh Wali Kota (Danny Pomanto) mencampuri RT/RW. Padahal sederhananya lagi ini persoalan," ujar Yeni.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.
(sar/hsr)