Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Tana Toraja, Sulawesi Selatan (Sulsel) ikut melarang keras ritual Rambu Solo yang pertama kali digelar warga muslim di Kelurahan Tangko, Kecamatan Makale. Ritual ini dinilai menyimpang dari ajaran Islam karena mengarah ke syirik.
"Iya. Sudah (kita larang). Ada patung (di acara) berarti sudah mengarah ke syirik," ungkap Ketua Pengurus Cabang NU (PCNU) Tana Toraja Ahmad Toago kepada detikSulsel, Senin (13/6/2022).
Ahmad menuturkan selama ini memang ada kegiatan warga muslim memperingati kematian yang disebut Ma'Tambun. Ini juga dilakukan warga NU. Namun ini jauh berbeda dengan ritual Rambu Solo yang dilakukan warga di Kelurahan Tangko.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena ada patung, ada batu nisan, ada peti. Itu kan sangat bertentangan sekali dengan ajaran Islam. Makanya tidak bisa ditolerir itu. Makanya saya sudah imbau semua warga NU jangan ada ikut (hadiri) acara itu," tuturnya.
Sikap NU kata Ahmad, akan sama dengan sikap Muhammadiyah. Ini karena Ketua Muhammadiyah Tana Toraja Zainal Muttaqin juga merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tana Toraja. Sehingga mewakili sikap semua ormas Islam.
"Itu sejak bulan 1 (Januari) sudah disampaikan. Ada pertemuan dengan MUI, Muhammadiyah, NU dan ormas lain. Saat acara Rambu Solo itu baru direncanakan, sudah dilarang tapi dia (keluarga) tidak diterima saat disampaikan itu pelanggaran dalam Islam," jelasnya.
Ahmad menuturkan memang ada acara Ma'Tambun namun berbeda jauh dengan acara Rambu Solo. Upacara peringatan hari kematian warga muslim ini hanya diisi dengan acara pengajian. Tidak ada tambahan ritual lain-lain.
"Sudah baca Al-Qur'an, ya sudah juga acaranya. Hanya ada biasanya acara khatam Al-Qur'an. Jadi tidak melenceng dari ajaran Islam. Rangkaian acaranya berbeda," tukasnya.
Sebelumnya, MUI Tana Toraja ikut melarang acara Rambu Solo yang digelar warga muslim ini karena dinilai buruk bagi dakwah Islam. Namun warga muslim yang menggelar ritual Rambu Solo menilai MUI tidak paham dengan kearifan lokal Toraja sehingga mengecam ritual yang digelar.
"Saya kira MUI tidak tau Ma'Badong, mereka selama ini menganggap Ma'Badong itu sebagai ritual nonmuslim, padahal ini kegiatan budaya kearifan lokal dan tidak ada hubungannya dengan agama. Islam boleh lakukan, Kristen, dan Hindu bisa," kata anak almarhum Ahmad Dalle Salubi, Muhammad Ali kepada detikSulsel, Senin (13/6).
Ali menduga MUI tidak paham dan kurang mengerti adat istiadat Toraja sehingga melarang ritual yang dilakukan. Seperti Ma'Badong yang dituding meniru agama lain. Padahal tidak ada kaitan Ma'Badong dengan agama. Ritual ini untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan
"Dari segi mananya dilarang. Acara adat ini tidak ada hubungannya dengan agama. Kami berkesimpulan dimana bumi dipijak di situ langit harus kita junjung. Lebih tidak relevan lagi kalau kita tinggal di Toraja tapi pakai adat Bugis atau Jawa," jelasnya.
Sementara keberadaan Tau-tau atau patung yang menyerupai almarhum itu disebutnya hanya sebagai simbol saja. Ali mengungkapkan, keluarganya sudah dianggap sebagai bangsawan. Sehingga keberadaan Tau-tau dinilai sangat penting untuk kelengkapan ritual dan budaya.
"Itu (Tau-tau) aksesoris, karena ini kegiatan keluarga bangsawan. Tidak lengkap budaya ini kalau tidak ada Tau-taunya. Habib Quraish Shihab kan pernah bilang selama itu tidak disembah tidak masalah. Saya berani mengambil keputusan itu," ungkapnya.
(tau/nvl)