Sebanyak 195 aset SD-SMP milik Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) ternyata belum bersertifikat. Akibatnya, aset lahan sekolah tersebut rawan diserobot.
Dari data Dinas Pertanahan Kota Makassar, ada 327 SD-SMP yang berada di bawah naungan Pemkot Makassar. Namun baru 177 yang bersertifikat, sedangkan khusus yang belum disertifikasi ada 161 sekolah.
Selain 161 yang belum bersertifikat itu, ada 13 sekolah lainnya yang tanahnya bersengketa, dan diklaim pemilikannya pihak lain 21 sekolah. Dengan demikian, total 195 lahan sekolah rawan diserobot.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami targetkan ini untuk proses pensertifikatan. Pengajuan kami 100 pengajuan (sertifikasi ke Badan Pertanahan nasional)," ujar Kepala Dinas Pertanahan Kota Makassar Akhmad Namsum, Senin (28/3/2022).
Dia mengaku pengajuan sertifikasi lahan sekolah ini dilakukan secara bertahap. Apalagi masih ada pengajuan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) sejak tahun sebelumnya namun sertifikatnya belum terbit.
"Saya kencangkan terus ini karena yang kita tahu masa ada pengajuan bertahun-tahun tidak keluar. Sejak 2017, sampai sekarang masih ada yang belum keluar," ucapnya.
Tahun 2021 sebelumnya saja, disebut ada 75 lahan yang diajukan sertifikasinya ke BPN. Namun hingga kini belum ada pun yang diproses.
"Kalau yang sudah masuk di tahun kemarin tidak satu pun keluar itu 75. Diajukan 2021 oleh kepala dinas sebelumnya," ungkap Akhmad.
Dia berharap BPN bisa menyegerakan proses pengajuan sertifikasi yang diajukan pihaknya. Pasalnya dikhawatirkan lambatnya penerbitan sertifikat lahan berpotensi membuat posisi aset Pemkot rawan diserobot.
"Sekarang ini saya mengikuti proses tahapan di BPN sejak bukti penerimaan semua ada di kami. Kemudian setiap periode dua kali dalam seminggu itu saya cek di BPN sejauh mana proses tahapannya. Apa yang kendalanya, apa kurangnya," urai dia.
Pasalnya dia beranggapan BPN Kota Makassar lamban mengurus pengajuannya. Pihaknya seringkali diberikan alasan oleh BPN yang menurutnya tidak rasional.
"Alasannya dulu berkas tidak ditemukan. Yang kedua pengukurnya pindah. Semua alasan ini tidak rasional menurut saya. Kenapa tidak ditemukan? Tentu ada dokumen penerimaan. Bisa dicari mana itu berkas," paparnya.
"Kedua pengukur pindah. Masa pengukur pindah. Berarti yang begitu kerjanya tidak profesional karena berkas terikut kepada orang yang mengukurnya," keluh dia.
Akhmad berharap BPN mendukung upaya Pemkot mengamankan dan menyelamatkan aset lahan dengan mengakselerasi penerbitan sertifikatnya, termasuk kepala sekolah untuk melengkapi berkas.
"Saya kumpul sekolah yang belum bersertifikat, tujuan kami adalah menyamakan persepsi supaya melengkapi berkas. Namun begitu masih banyak yang belum memasukkan. Kalau terlambat masuk berkas ke kami, ini bisa memperlambat progresnya," jelasnya.
(sar/asm)