Mempunyai rumah sendiri merupakan impian banyak orang, termasuk generasi milenial dan zilenial. Sayangnya, harga rumah yang melonjak tinggi membuat mereka kesulitan beli sehingga memilih ngontrak.
CEO Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mendeskripsikan Zilenial sebagai generasi antara Milenial dan Gen Z. Ia menyebut saat ini adalah zaman bagi Zilenial untuk membeli rumah.
"Generasi Zilenial ini sebetulnya tahun ini mereka lagi butuh-butuhnya rumah kalau kita lihat. Gen Z itu mungkin masih baru masuk kerja, masih belum memikirkan ada rumah, (belum) mau beli rumah lah karena daya belinya masih terbatas," kata Ali dalam Press Conference Golden Property Awards 2025: The Legacy di Raffles Hotel, Senin (29/9/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Zilenial dan Gen Z, menurut beberapa riset, lebih punya minat untuk membeli rumah dibandingkan Milenial. Milenial cenderung lebih cuek dan memilih buat menyewa hunian.
Meski ada yang menyebut Gen Z dan Milenial tak ingin beli rumah, Ali berpendapat sebaliknya. Mereka punya keinginan membeli rumah, tetapi terhalang karena harga properti yang terlalu mahal.
"Jadi kalau saya bilang kenapa Zilenial, kenapa Milenial enggak mau beli rumah, itu tanda frustasinya kaum milenial atau kaum Zilenial," ujarnya.
Bukan tak mau membeli rumah, melainkan daya beli mereka tidak sesuai dengan harga rumah yang mahal saat ini. Alhasil, mereka memilih menggunakan uang buat hal lain seperti menyewa hunian, traveling, dan coffeeing.
Menurut Ali, pemerintah perlu membuat hunian menengah perkotaan beserta insentif dan subsidinya. Mengingat kini ada banyak stimulus tetapi hanya menyasar masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Padahal, milenial dan zilenial tidak tergolong sebagai MBR, melainkan kelas menengah.
"Saat ini kan tadi (kaum) milenial-zilenial kan sewa, jadi enggak bisa beli rumah. Kenapa? Bukan enggak mau beli rumah, dia enggak bisa beli rumah karena enggak ada subsidi, harga belinya terlalu tinggi," tutur Ali.
Kaum menengah perkotaan mempunyai daya beli untuk rumah seharga Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar. Namun, ketersediaan hunian tersebut masih minim sehingga tak sebanding dengan permintaan.
"Tapi ketika ditanya ada enggak rumah Rp 500 juta ke atas atau apartemen 500 juta? Enggak ada. Terus dia di mana? Ya dia sewa. Jadi frustasi," ucapnya.
Jika tidak bisa membeli, mereka dapat beralih ke rumah subsidi yang harganya di bawah Rp 180 juta. Akan tetapi, rumah subsidi, menurut Ali, teruntuk MBR dan bukan kaum Milenial dan Zilenial.
Kemudian, pembeli tersebut bisa saja menyesal karena jarak tempuh dari rumah ke tempat kerja di Jakarta terlalu jauh. Rumah itu pun akhirnya dibiarkan, sedangkan pemilik memilih buat sewa kos-kosan.
"Kalau enggak ada insentif pemerintah, di perkotaan enggak akan bisa buat hunian-hunian menengah itu nggak akan bisa. Karena harga tanah mahal, pengembang akan jual yang lebih mahal harga unitnya," imbuhnya.
Insentif yang dapat diberikan kepada kelas menengah yang ingin beli rumah, salah satunya penurunan suku bunga fixed dari sebelumnya 12 persen menjadi 6 persen. Lalu, pembebasan pajak seperti bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan persetujuan bangunan gedung (PBG).
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini.
(dhw/das)