Tinggal di rumah yang sejuk dan lega merupakan impian banyak orang. Selain itu, rumah yang terpapar sinar matahari juga jadi bagian penting dalam aspek hunian layak.
Namun, tidak semua orang beruntung bisa mewujudkan hal tersebut. Saat ini masih ada beberapa warga yang harus rela tinggal di rumah sempit dan pengap.
Warga Kampung Tongkol yang terletak di RT 07/RW 01, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara tak bisa merasakan itu. Mereka harus tinggal di rumah padat penduduk yang gelap karena tak tersentuh sinar matahari.
Gelapnya perkampungan ini karena hampir sepanjang gang di Kampung Tongkol telah ditutupi oleh bangunan rumah semi permanen. Hanya sebagian kecil gang di Kampung Tongkol yang masih terkena cahaya matahari.
Perkampungan yang gelap itu berada di pinggiran rel kereta api. Bising suara ular besi beradu dengan rel dirasakan setiap 2-5 menit sekali. Lantaran KRL Commuter Line tujuan Bekasi/Cikarang-Kampung Bandan selalu melintas di samping rumah warga.
Rumah yang dibangun di Kampung Tongkol terdiri dari satu lantai dan dua lantai. Bagi warga yang tinggal di rumah dua lantai bisa memanfaatkan lantai atas untuk menjemur pakaian dan mendapatkan sinar matahari.
Nasib berbeda dialami warga yang rumahnya hanya satu lantai. Saat membuka pintu, rumah mereka langsung berhadapan dengan tetangga yang jaraknya hanya sekitar 1-2 meter saja.
Lebar gang di Kampung Tongkol terbilang sempit. Dalam penelusuran tim detikProperti, saat pertama masuk ke dalam gang luasnya cukup lebar, tapi ketika sudah masuk ke tengah perkampungan mulai terasa sempit. Saking sempitnya bahkan tidak bisa dilalui dua sepeda motor sekaligus.
Edi Susanto bercerita tentang asal-usul dibalik penamaan kampung ini. Bukan karena ada tambak ikan tongkol, melainkan jalan raya di sana banyak menggunakan nama-nama ikan.
"Itu diambil dari nama jalan, yaitu Jalan Tongkol Dalam. Akhirnya dibilang anak tongkol atau Kampung Tongkol. Sekitaran wilayah sini yang masuk wilayah Pelabuhan Sunda Kelapa nama-nama jalannya rata-rata pakai nama ikan dari dulunya, ada Jalan Kerapu, Jalan Kembung, Jalan Kakap, Jalan Ekor Kuning, termasuk Jalan Tongkol," kata Susanto saat diwawancara detikcom, Kamis (25/9/2025).
Susanto, yang sudah lama tinggal di sini bercerita dahulu belum ada perkampungan padat penduduk. Kawasan ini awalnya masih dipenuhi rawa dan semak belukar, tapi sudah ada rel kereta api yang melintas.
Namun semua itu berubah pasca kerusuhan 1998. Kala itu mulai banyak warga setempat yang memasang patok kayu di lahan kosong untuk mendirikan tempat tinggal. Sebagian warga juga menjual lahan yang sudah dipatok tersebut kepada orang lain, termasuk kepada Susanto.
Susanto kemudian membeli tanah yang sudah dipatok tersebut dengan harga sekitar Rp 1,8 jutaan di 1998. Tanah tersebut kemudian digunakan olehnya untuk membangun rumah dengan luas 4 x 4,5 meter.
"Jadi orang-orang yang zaman dulu tinggal di dekat sini patok-patokin tanah, terus ditawar 'Siapa yang mau nih? Bayarin-bayarin', terus baru deh pada bikin rumah," ungkapnya.
Selain milik pribadi, rumah-rumah yang berdiri di Kampung Tongkol juga ada yang disewa. Untuk tarif sewanya berbagai macam, mulai dari Rp 300-600 ribu per bulan. Harga bisa berbeda-beda karena tergantung dari luasnya.
Evi, salah satu warga Kampung Tongkol memilih tinggal di rumah kontrakan dengan harga Rp 650 ribu per bulan. Rumah itu terdiri dari dua lantai dengan luas 4 x 2 meter.
Bersama suaminya, Evi memilih tinggal di kontrakan yang agak mahal karena terdapat kamar mandi dalam. Meski begitu, kamar mandi tersebut tidak ada kloset, jadi Evi dan suami harus buang air di WC umum.
"Kalau buang air biasanya ke MCK di situ. Bayarnya Rp 2.000 buat mandi dan buang air. Tapi kalau sekadar mandi dan cuci baju saya di rumah. Jadi saya mau Rp 650 ribu soalnya bisa mandi di dalam," ungkapnya.
Namun, tantangan muncul ketika Evi ingin buang air di tengah malam karena WC umum di dekat rumahnya sudah tutup. Alhasil, ia harus berjalan cukup jauh karena ada satu WC umum yang buka 24 jam.
Sebagai informasi, tanah yang ditempati oleh Evi, Susanto, dan warga Kampung Tongkol lainnya merupakan milik PT KAI. Sejak 1998, tanah tersebut digunakan oleh warga untuk mendirikan tempat tinggal dan kini menjadi perkampungan warga.
Menanggapi hal tersebut, Manajer Humas PT KAI Daop 1 Ixfan Hendriwintoko mengonfirmasi jika ada sebagian lahan di Kampung Tongkol merupakan milik PT KAI.
"Ada beberapa memang aset KAI Daop 1," kata Ixfan saat dikonfirmasi detikcom lewat pesan singkat, Jumat (26/9/2025).
Ixfan mengatakan belum ada rencana untuk melakukan penataan ulang di kawasan tersebut. Sebab, dibutuhkan langkah persuasif dari PT KAI dan menjalin kerja sama dengan instansi terkait.
"Perlu langkah persuasif dan berkolaborasi dengan instansi terkait, kemudian harus ada program dan target yang harus dicapai, sementara kami melakukan penjagaan dan pengelolaan pada aset tersebut," pungkasnya.
Simak cerita soal Kampung Tongkol selanjutnya hanya di detikProperti!
Simak Video "Video: Menelusuri Kampung Kembar di Duren Sawit Jaktim"
(ilf/zlf)