Beberapa anggota Komisi II DPR RI menyinggung kembali pernyataan Menteri ATR/BPN perihal 48 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh 60 keluarga. Mereka mempertanyakan apa langkah lanjutan dari temuan tersebut.
"Pak Menteri saya senang mendengar bicara kalau tanah di Indonesia dikuasai oleh 60 keluarga, kalau nggak salah. Artinya negara mulai jujur nih sama rakyat. Yang jadi pertanyaan adalah kita mau ngapain dengan informasi itu? Apakah ini menjadi suatu tonggak kemudian terjadi keadilan agraria? Apakah ada niat dari pemerintah ingin mempercepat reforma agraria dan retribusi agrarian?" tanya salah satu anggota Komisi II DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan.
Menanggapi hal ini, Nusron mengatakan akan segera mengubah regulasi. Ada beberapa hal yang akan dilakukannya, salah satunya adalah memperjelas suatu aturan agar tidak multi tafsir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setelah kami me-launching (mengungkap) ada ketidakadilan dalam distribusi tanah dan sumber daya agraria yang dikuasai 60 keluarga. So what? What Next? Saya setuju ubah regulasi," kata Nusron dalam Rapat Kerja bersama Komisi II DPR RI di Senayan, Jakarta, pada Senin (8/9/2025).
"Salah satunya apa? Pertama, HGU sawit atau HGU yang lain. Kewajiban mandatory plasma itu harus diperkuat di dalam perundang-undangan. Selama ini plasma itu hanya termasuk PP Nomor 18 Tahun 2021 dan PP Nomor 26 Tahun 2021 juga. Yang ini pak menurut saya masih ada tafsir yang belum solid," lanjutnya.
Poin yang menurut Kementerian ATR/BPN belum jelas adalah mengenai kewajiban pemilik lahan sawit bermitra dengan masyarakat. Dalam aturan, pemilik lahan sawit harus membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan.
"Antara definisi plasma with in atau with out. Apa itu with in? Kalau kami punya pandangan bahwa plasma itu harus with in. Kalau orang punya HGU 10.000 karena 2.000 itu keputusannya 20 persen. Yah 2.000 dari 10.000 itu harus diserahkan sama masyarakat dan dibina. Tapi hari ini dengan kalimat fasilitasi kebun masyarakat itu, dia tetap 10.000 tapi membina with out 2.000 yang ada di luar itu dianggap sudah bagian dari plasma," jelasnya.
Namun, dalam pandangan Kementerian ATR/BPN, konsep seperti itu bukan plasma, melainkan supply chain atau pemasok. Perbedaan tafsir ini, kata Nusron, harus segera diperbaiki.
"Nah ini akan kami rapikan dulu. Kalau dari situ minimal 20 persen dari 60 keluarga itu ada distribusi pak. Minimal pak, mandatory. Sudah ada keluarga kita kurangi 20 persen," terangnya.
Kemudian, cara kedua adalah dengan penertiban tanah-tanah terlantar. Menurutnya daripada tidak dimanfaatkan, lebih baik diambil oleh negara untuk kepentingan masyarakat.
"HGU yang disinggung tadi, belum habis masanya tapi tidak dimanfaatkan, tidak diproduktifkan berdasarkan PP 20 Tahun 2021. Kan tadi dikategorikan terlantar ini potensinya ada hampir 3,7 hektare, hampir. Kalau ini ditata akan ada distribusi lagi. Nah ini diambil oleh negara untuk kepentingan rakyat, dari oligarki nakal tadi itu," jelasnya.
Kemudian, Nusron juga menemukan bahwa beberapa pemegang HGU dan HGB menjadikan tanah mereka menjadi agunan ke bank. Jumlahnya cukup banyak hingga jutaan hektare dan Kementerian ATR/BPN butuh regulasi untuk menertibkan hal ini. Saat ini pihaknya sedang melakukan penyelarasan dengan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan(Satgas PKH) yang tengah melakukan penataan.
"Mereka pemegang HGU dan HGB tidak diapa-apakan dijadikan tanggungan ke bank. Ada yang di Himbara, ada yang di lembaga keuangan yang dulu didirikan lewat UU. Jumlahnya banyak hampir jutaan hektare," ucapnya.
Sebelumnya diberitakan Kementerian ATR/BPN menemukan tanah HGU dan HGB dikuasai oleh 60 keluarga. Menurutnya, hal itu merupakan sebuah persoalan sehingga perlu diatasi dengan menerapkan aturan plasma.
"Kalau di-tracking BO-nya, beneficiary ownership-nya, itu hanya dikuasai oleh 60 keluarga," tegasnya diskusi #DemiIndonesia Wujudkan Asta Cita di Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, Selasa (26/8/2025).
"Satu-satunya adalah mereka kalau memperpanjang HGU, tidak bisa kita perpanjang kecuali mandatory (wajib) potong 20 persen untuk plasma," tambah Nusron.
Peraturan tersebut sudah ditawarkan kepada pengusaha yang memegang HGU. Para pengusaha pun belum berani mengajukan perpanjang HGU.
"Akhirnya mundur semua, belum berani mengajukan perpanjangan HGU sampai hari ini. Karena rata-rata tidak mau ambil potong 20 persen," katanya.
Menurutnya, terdapat persepsi yang keliru terkait aturan plasma karena menyamakan pengertian plasma dengan splicing. Padahal, plasma merupakan aturan untuk menyediakan sebagian tanah buat digarap masyarakat.
"Definisi plasma adalah ketika orang itu dulu membebaskan hutan, hutannya 20 ribu (hektare), ada kewajiban plasma yang diambilkan 20 persen dari 20 ribu (hektare) itu dipotong untuk rakyat untuk diberikan plasma," tuturnya.
(aqi/aqi)