Banyak orang yang mencari peruntungan dengan datang ke Jakarta, tapi tak semuanya berhasil. Sejumlah orang mengalami nasib kurang beruntung karena tak mendapat pekerjaan layak dan terpaksa tinggal di kolong jembatan.
Tentu, kolong jembatan bukanlah tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai tempat tinggal. Suara berisik knalpot kendaraan, gelap, sumpek, hingga bau tak sedap menjadi santapan sehari-hari.
Salah satu jembatan yang dijadikan sebagai tempat tinggal warga adalah Jembatan Pasar Rumput. Jembatan ini menyambungkan Jalan Sukabumi dengan Jalan Sultan Agung, lokasi persisnya ada di seberang Rusun dan Halte TransJakarta Pasar Rumput, Jakarta Selatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wendi, salah satu warga yang tinggal di kolong jembatan tersebut mengaku sudah tinggal selama tiga tahun. Bekerja sebagai pemulung, ia harus tidur, makan, hingga mandi sehari-hari di kolong jembatan yang di bawahnya dialiri Kali Ciliwung yang keruh dan bau.
Tim detikProperti berkesempatan langsung untuk mengunjungi tempat tinggal Wendi pada Kamis (3/7/2026). Ia menempati bagian sisi samping kolong jembatan yang terbuat dari beton. Lalu terdapat rangka baja di bawahnya agar jembatan tetap kokoh.
Wendi bukanlah warga asli Jakarta. Ia mengaku datang dari daerah sekitar Bandar Lampung dan nekat merantau ke ibu kota dengan menumpangi truk sekitar 1992. Setibanya di Jakarta pun, ia tak tahu ingin kerja apa karena saat itu usianya masih muda.
"Dulu kan bebas ya naik kereta, bisa bebas duduk di mana aja. Terus ditanyain sama petugas 'karcis mana?' Aduh pak buat makan aja nggak ada, mau pergi ke mana juga nggak tau saya," kata Wendi saat diwawancara detikcom.
Wendi tak tinggal sendirian di kolong jembatan. Ia hidup bersama Amor, salah satu sahabatnya yang juga berprofesi sebagai pemulung. Wendi berujar jika Amor adalah orang yang paling lama tinggal di kolong jembatan tersebut.
Dahulu, Wendi tak punya tempat tinggal tetap sehingga sering tidur di halte atau emperan toko. Bahkan, barang-barang miliknya seperti pakaian hingga KTP telah raib dicuri saat sedang tidur di halte bus beberapa tahun yang lalu.
Suatu waktu, Wendi bertemu dengan mertua Amor yang sudah dikenalnya sejak lama. Kemudian ia ditawari untuk tinggal di kolong jembatan yang disebut lebih 'aman dan nyaman' daripada harus tidur di pinggir jalan.
Sebagai pemulung, Wendi sehari-hari mengambil botol bekas yang tersebar di sudut Jakarta. Ia tak selalu pergi berkeliling untuk mengumpulkan botol, terkadang cukup berdiri di atas rangka baja jembatan dan mengais botol bekas yang mengapung di kali.
"Tapi kalau pas turun hujan aja (ambil botol bekas), soalnya air kalinya kan meluap. Kalau nggak turun hujan yaudah harus muter," ujarnya.
Wendi bercerita jika suatu hari pernah ditawari pekerjaan dan tempat tinggal layak oleh temannya yang juga bekas pemulung. Namun, ia ragu dengan tawaran tersebut dan tak yakin bisa mendapat pekerjaan lebih baik, mengingat saat itu ia hanya lulusan SD dan cuma bisa memulung.
Kini, ia sehari-hari hanya mengumpulkan botol bekas yang dihargai sekitar Rp 20.000 per karung. Dalam sehari, Wendi perlu mengumpulkan 3-4 karung botol bekas agar bisa mendapatkan uang sekitar Rp 60.000-80.000.
Bagi Wendi, tidur di kolong jembatan bukanlah sebuah impian. Ia pun berharap suatu saat bisa tinggal di tempat yang layak sekaligus mendapatkan penghasilan lebih besar.
"Aduh siapa yang nggak kepengen? Pasti kepengen, bohong kalau enggak. Tapi ya enggak semudah itu juga kan kalau mau tinggal di kontrakan, pasti ditanya dulu pekerjaannya apa, sedangkan kami ini anak jalanan, kalau ditanya begitu udah nyerah aja," pungkasnya.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
(ilf/das)