Semenjak pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dimulai, banyak yang memprediksi ruang kantor di Jakarta akan banyak yang kosong. Terutama ruang kantor pemerintahan.
Ada beberapa usulan bagaimana jika gedung kosong tersebut difungsikan sebagai hunian seperti apartemen agar tidak terbengkalai.
Head of Advisory Services Colliers, Monica Koesnovagril berpendapat, usulan tersebut tidak memungkinkan karena dua hal. Pertama karena teknis. Struktur bangunan perkantoran berbeda dengan perumahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kendala utamanya lebih dari teknis karena secara struktur kantor, struktur retail, berbeda dengan struktur apartemen. Kalau kita bicara soal apartemen, harus dilengkapi dengan WC, sangat-sangat berbeda," kata Monica dalam acara Colliers Virtual Media Briefing pada Rabu (8/1/2025).
Apabila ingin benar-benar dialihfungsikan, maka gedung tersebut harus dihancurkan dan dibangun kembali yang sesuai dengan standar hunian vertikal.
"Untuk konversi satu fungsi menjadi fungsi lain itu lebih mudah membongkar saja, dibangun sesuatu yang baru," tuturnya.
Kendala kedua adalah masalah hukum. Hal ini berlaku pada bangunan pemerintahan. Apabila berencana mengubah apalagi menghancurkan gedung perkantoran pemerintahan, kemudian diubah menjadi perumahan, prosesnya akan lebih sulit.
"Jadi PR kalau itu adalah kantor pemerintah. Secara regulasinya itu akan jadi panjang karena itu artinya penghapusan bukuan. Kendalanya pertama secara teknis, dan kendala kedua secara hukum atau regulasi yang mengatur itu," ungkapnya.
Kemudian, dalam laporan Perspektif Colliers terhadap Kondisi Pasar Properti di Jakarta Pasca Transisi IKN, Colliers menawarkan beberapa saran yang lebih aman untuk alih fungsi ruang kantor yang kosong tersebut.
Pertama adalah menjual aset untuk dibangun kembali menjadi hunian vertikal. Ruang kantor yang bisa dialih fungsikan untuk skema ini perlu dipilih, yakni bangunan tua yang sudah sulit untuk dimanfaatkan kembali, selain dibangun ulang.
Keuntungannya terdapat pendapatan langsung dari penjualan aset milik negara, meningkatkan produktivitas bangunan, dan mendorong pertumbuhan sektor properti di wilayah sekitarnya. Lalu, risikonya juga ada, yakni hilangnya kepemilikan negara secara permanen atas aset tersebut, perlu adanya pengawasan untuk memastikan proses penjualannya menghasilkan manfaat, dan pengembang harus mematuhi peraturan zonasi yang berlaku dan telah mendapatkan izin.
Solusi kedua adalah pemerintah menjual aset dan memberikan pinjaman dengan bunga rendah kepada pengembang untuk membangun rumah sewa bagi masyarakat golongan menengah ke bawah.
Keuntungannya tersedianya rumah sewa yang terjangkau dan aktivitas ekonomi tetap berjalan. Adapun yang perlu dipersiapkan untuk skema ini adalah pengawasan terhadap kinerja pengembang dan perlunya mekanisme yang jelas untuk menjamin pembayaran kembali pinjaman dan menghindari kerugian keuangan negara.
Solusi ketiga adalah dibuatnya perjanjian kerja sama antara pemerintah dengan swasta (KPS) atau build-operate-transfer (BOT) untuk perumahan sewa.
Kelebihannya adalah memastikan aset tetap menjadi milik negara setelah masa kemitraan berakhir, mengurangi beban keuangan pemerintah karena biaya konstruksi dan operasional ditanggung oleh sektor swasta dan mendorong partisipasi sektor swasta dalam menyediakan infrastruktur publik.
Hal yang perlu diperhatikan di antaranya perjanjian harus dirancang secara hati-hati agar dapat melindungi aset tersebut pemanfaatan bangunan tersebut perlu diawasi dengan ketat, serta adanya potensi risiko kegagalan proyek jika pengembang tidak mampu memenuhi kewajiban finansial atau operasional.
(aqi/zlf)