Saat ini, pemerintah tengah menggodok skema Kredit Pemilikan Rumah atau KPR flat 35 tahun. Maksud dari skema tersebut yaitu pembiayaan KPR dengan tenor panjang hingga 35 tahun dan besaran cicilannya tetap atau flat sepanjang masa KPR.
Menanggapi hal itu, Direktur Utama Bank BTN, Nixon L.P. Napitupulu mendukung rencana tersebut. Menurut Nixon, dengan skema KPR flat 35 tahun bisa memberikan keringanan angsuran bagi nasabah KPR.
"Bagus karena memberikan peluang lebih besar agar angsuran KPR bulanannya lebih ringan bagi nasabah KPR," ujarnya kepada detikProperti, Jumat (5/1/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia juga berpendapat, kebijakan tersebut sudah lazim digunakan di luar negeri. Meski demikian, Nixon menyebutkan ada tantangan dalam penerapan skema tersebut di Indonesia.
"Hanya saja memang tantangannya adalah penyediaan dana jangka panjang yang flat cukup challenging," ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Herry Trisaputra Zuna mengatakan, panjangnya tenor pembiayaan dan rendahnya bunga yang diterapkan dalam skema cicilan KPR flat 35 bisa menjadi tantangan bagi lembaga penyedia KPR, dalam hal ini bank.
"Yang kami pelajari berarti selain membuat affordable (terjangkau) dengan memperpanjang tenor, tetapi juga tetap butuh ada subsidi dengan bentuk subsidi selisih bunga sehingga lebih terjangkau," tutur Herry saat berbincang dengan detikcom belum lama ini.
Ia melanjutkan, mempertimbangkan tenor atau jangka waktu cicilan yang panjang, maka subsidi selisih bunga yang diberikan jangan sampai membebani belanja negara dalam bentuk belanja subsidi dalam APBN.
"Yang kita modifikasi bersama Kementerian Keuangan dan yang lain-lain, subsidi bunga ini jangan belanja tapi harus dalam bentuk dana abadi," sambung Herry.
Di sisi lain, Corporate Secretary PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) Primasari Setyaningrum menuturkan, untuk bisa menjamin ketersediaan dana yang cukup bagi lembaga pembiyaan KPR agar bisa menyediakan bunga tetap dalam jangka panjang seperti yang diterapkan di Jepang, maka diperlukan sekuritisasi.
"Dengan sekuritisasi KPR, akan tersedia dana segar, sehingga perbankan bisa kembali menyediakan pembiayaan baru tanpa perlu menunggu pembiayaan sebelumnya dilunasi," jelas dia.
Sekuritisasi yang dilakukan bisa berupa penerbitan efek beragun aset (EBA) yakni sejenis surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal dengan dasar jaminan berupa aset.
"Penerbitan surat berharga ini lah yang disebut sebagai sekuritisasi," jelas dia.
Dalam konteks pembiayaan perumahan, aset yang jadi jaminan dalam sekuritisasi tersebut adalah KPR itu sendiri.
"Jadi nanti akan kita pilih, KPR yang memenuhi kriteria. Kita memiliki 32 kriteria yang harus dipenuhi. Setelah dipilih KPR yang memenuhi kriteria, ada kita dapat misalkan total nilainya ada Rp 1 triliun. Itu lah yang kita ubah jadi surat berharga untuk diterbitkan sebagai EBA. Hasil penerbitan EBA ini yang kemudian disalurkan lagi untuk menerbitkan KPR baru," ulasnya
(abr/dna)