Program Sejuta Rumah (PSR) yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo sejak 29 April 2015 disebut tidak menyentuh akar permasalahan pokok perumahan itu sendiri. Hal ini diungkapkan oleh M. Jehansyah Siregar, Pemerhati Lingkungan dan Kawasan Pemukiman dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
"Ada banyak yang harus dikritisi dari sisi capaian ini, mulai dari pencapaian satu juta hingga penerapan beberapa program yang sejatinya tidak menyentuh pada akar permasalahan pokok perumahan itu sendiri," ungkap Jehansyah kepada detikcom belum lama ini.
Jehansyah mengatakan bahwa indikator pencapaian PSR seharusnya dilihat berdasarkan perhitungan housing backlog atau backlog perumahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Angka satu juta itu tujuannya tentu untuk merumahkan rakyat secara layak dan itu seharusnya dihitung berdasarkan housing backlog," kata Jehansyah.
Backlog perumahan merupakan kondisi kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan rakyat. Dalam penjelasannya, Jehansyah mengatakan bahwa semakin besar sebuah kota, maka semakin banyak pemukiman kumuh. Artinya, angka backlog akan semakin besar pula.
Jehansyah menilai bahwa Program Badan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) yang merupakan bagian dari PSR tidak bisa dihitung sebagai pengurang angka backlog. Hal ini karena rumah yang dibedah tersebut sudah dimiliki dan hanya diperbaiki kualitasnya.
Permasalahan perumahan rakyat, papar Jehansyah, sejatinya adalah ketidakmampuan masyarakat tersebut menjangkau hunian di perkotaan. Oleh karena itu, muncullah pemukiman kumuh.
"Setidaknya kriteria pemukiman kumuh ada tiga: mulai bangunannya sub-standar atau tidak layak; prasarana pemukiman tidak memadai, seperti ketiadaan saluran, sanitasi, air bersih; dan status tanah yang tidak jelas dan rawan sengketa," papar Jehansyah.
Jehansyah mengatakan bahwa ketiga masalah pemukiman kumuh inilah yang semestinya ditangani oleh pemerintah untuk mengatasi rumah yang tidak layak dan pemukiman kumuh di perkotaan.
"Karena itu antara direktorat jenderal (Ditjen) di Kementerian PUPR tidak bisa bergerak sendiri, tetapi melibatkan juga Ditjen Cipta Karya selain Ditjen Perumahan. Standar kelayakannya pun harus berbeda antara pemukiman di perkotaan dengan pedesaan," jelas Jehansyah.
Selain itu, menurut Jehansyah, pemerintah seharusnya fokus dalam meningkatkan pembangunan rumah sewa (public rental housing) dan rumah swadaya (assisted self-help housing).
"Makanya munculah public rental housing, assisted self-help housing atau rumah swadaya, peran pemerintah di situ. Tidak bisa semua stakeholder dikumpulkan kemudian semua kinerjanya diklaim sebagai capaian program, salah kaprah menghitung seperti itu," pungkas Jehansyah.
(dna/dna)