Cerita Pemuda Singapura Tinggal di Akiya: Jadi Petani hingga Buka Kafe

Cri Tanjoeng - detikProperti
Kamis, 27 Jul 2023 17:45 WIB
Foto: (istimewa/Lee Xian Jie via CNBC)
Jakarta -

Lee Xian Jie, seorang pemuda asal Singapura membagikan pengalaman hidupnya selama tinggal di sebuah Akiya di daerah suatu pedesaan Jepang tepatnya berlokasi di Desa Wakayama, Ryujin-Mura.

Akiya adalah rumah terlantar atau rumah kosong di Jepang yang jumlahnya tengah naik pesat lantaran penurunan jumlah penduduk ditambah adanya urbanisasi.

Ceritanya dimulai ketika dia menuju sebuah rumah pertanian tradisional ketika memijakkan kaki di atas lantai yang sangat reyot dan bergetar setiap langkahnya, dengan struktur rumah cukup kumuh dan sudah terbengkalai hingga berusia 300 tahun.

Tapi, menurut Lee, jika dilihat lebih dekat rumah tersebut sebenarnya 'dibangun dengan baik'.

"Seluruh pillarnya terbuat dari kayu Sakura, sehingga jenis kayu tersebut justru sangat padat dan keras. Selain itu, sangat jarang bahwa rumah ini dibangun dengan jerami sehingga memiliki nilai sejarah yang tinggi," Kata Lee dikutip dari CNBC, Selasa (26/06/2023).

Rumah ini punya nilai sejarah yang panjang karena sudah ditempati oleh empat generasi sebelumnya.

Lee menjelaskan bahwa tidak seperti kebanyakan Akiya yang dijual, rumahnya justru diizinkan oleh pemiliknya untuk disewakan dan memulihkan tempat itu sebab berada di lokasi "tanah yang bagus" dan di area dua kuburan keluarga.

"Saya sangat tertarik akan sejarah. Saya ingin melihat seperti apa masyarakat dahulu yang tinggal tanpa pupuk kimia. Bagaimana mereka dapat membangun rumah hanya dengan kayu dan sambungan?" Katanya.

Akiya Foto: (istimewa/Lee Xian Jie via CNBC)

Lantas bagaimana dia dapat menjalani hidup selama dirumah tersebut? Berikut tips yang dapat diambil dari pengalaman gaya hidup petani tersebut.

Hal yang perlu dipertimbangkan

Lee memulai kehidupannya semenjak pandemi COVID-19, ketika tidak ada pekerjaan dimana pun dan dia memulai perjalanannya ke Kyoto pada enam tahun yang lalu ke Ryujin-Mura.

Pria berumur 33 tahun ini menyewa rumah pertanian bersamaan dengan Akiya lainnya, yang sekarang sudah menjadi sebuah co-working space atau ruang kerja bersama untuk para pengembara digital.

dia juga membangun sebuah kafe dengan konsep farm-to-table selama tiga hari dalam seminggu, menggunakan bahan-bahan yang dia panen dan juga digunakan secara gratis. Selain itu, dia juga membeli sebuah bangunan berusia 100 tahun disebelahnya dan mengubahnya menjadi sebuah wisma tamu.

Walau sebuah Akiya memiliki harga yang murah, menurutnya pertimbangan yang harus diperhatikan sebelum pindah ke pedesaan Jepang dilihat dari dua hal yakni mampu untuk berbahasa dan menjalankan hidup pertanian.

"Jika bahasanya saja tidak bisa maka tidak bisa bergaul dengan tetangga. Komunikasi akan jadi sangat sulit. Orang-orang melupakan bahwa waktu yang dapat mereka gunakan bisa digunakan untuk berbahasa. Setidaknya untuk benar-benar fasih berbahasa Jepang membutuhkan waktu empat hingga delapan tahun," sambung dia.

Kemudian, menurutnya menjalankan hidup pertanian di pedesaan sama sulitnya dengan perkotaan, apalagi menjaga rumput pada lahan membutuhkan waktu dan tenaga agar tetap terjaga.

Lee yang bekerja selama 16 jam sehari di pertanian mengungkapkan, tidak ada kehidupan petani yang lamban disini.

"Petani merupakan orang tersibuk di sini. satu-satunya yang membedakan adalah Anda tidak harus duduk di depan meja. Saya merasa tertekan bahwa begitu banyaknya rumput yang harus terus dipotong karena disini hujan terus dan tanaman tumbuh dengan baik. Jika tidak diurus akan memengaruhi tanaman tetangga," Kata Lee.

"Bagi tamu, mungkin hidup di pedesaan sama dengan hidup lambat karena mereka tidak perlu melakukan pekerjaan," tambahnya.

Akiya Foto: (istimewa/Lee Xian Jie via CNBC)

Namun, bagi Lee kerja keras di pedesaan sepadan dengan rasa puasnya ketika menyajikan hidangan di kafe nya.

Lee mengungkapkan, hal paling memuaskan pekerjaan saya adalah ketika dia menyajikan teh dari hasil racikannya sendiri dan nasi yang dia gunakan tanpa pestisida.

"Disini saya berteman dengan banyak warga lokal, hubungan antar manusia justru yang saya anggap nilainya tak terhingga," jelas dia.

Biaya Renovasi

Tidak diragukan bahwa tinggal pedesaan jauh lebih murah dibanding perkotaan. Lee menyatakan bahwa dia mengeluarkan jauh di bawah US$ 750 atau setara dengan Rp 11 juta untuk rumah utama dan ruang kerja dengan properti pada luas tanah sekitar 100 ribu kaki persegi.

Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa biaya renovasi bisa besar tergantung bagaimana kondisi Akiya tersebut. Misalnya seperti jika lantai rumah utama menjadi lembap dan penuh rayap.

"Saya menghitung dan menyadari bahwa jika saya merenovasi tempat dengan baik, saya akan membayar jumlah yang sama dengan yang saya dapatkan jika tinggal di Kyoto selama lima tahun," Kata Lee.

"Saya berpikir untuk mengganti lantai sendiri tetapi saya malah jatuh dari lantai, lalu saya menyewa tukang kayu yang tinggal tidak jauh sekitar 10 menit," tambahnya.

Dalam pengeluaran biaya renovasi setiap Akiya yang dia huni, Untuk ruang tamu, dengan luas bidang 190 ribu kaki persegi, dia menghabiskan sebanyak US$ 97,000 atau setara dengan Rp 1,4 miliar.

"Namun artinya saya dapat menghemat jika saya mengotorkan tangan saya. Kebanyakan yang saya kerjakan berhubungan dengan listrik, pipa, toilet atau lubang di lantai"

Kemudian untuk mengubah rumah utama menjadi kafe dan ruang khusus pribadinya sebanyak US$ 37,000 atau setara dengan Rp 555 Juta Sehingga, Lee merasa perlu turun tangan dalam hal perbaikan agar dapat meminimalisir biaya renovasi yang dia bisa keluarkan hanya untuk properti - sebagian alasannya adalah karena kurangnya tenaga kerja di desa tersebut.

Menurutnya mengeluarkan biaya pada lima pekerja untuk properti, sekalipun dirinya mampu pun cukup mengkhawatirkan sebab di desa ini justru banyaknya "minim bekerja" di pedesaan Jepang

"Jika Anda ingin melakukan pertanian, Anda juga harus menjadi ahli dalam pertanian, atau Anda akan gagal. Disini Ada lebih sedikit pekerjaan dalam bentuk apa pun sebab biaya hidup lebih rendah di pedesaan Jepang, tetapi begitu juga pendapatannya." ujarnya.

Namun, selama Lee menjalani hidup di desa dia tidak merasa khawatir karena berpengalaman menjadi pemandu tur sejak 2017 untuk mengenalkan aktifitas bukanlah hal yang sulit untuknya dapat menarik pengunjung di dalam pedesaan ini dengan target pendapatan mencapai hingga US$ 7,500 atau setara dengan Rp 112 Juta dari usahanya seperti kafe, tur, ruang kerja, dan wisma tamu.

"Disini akan ada pelatihan pembuatan teh yang telah habis terjual oleh sekelompok orang Eropa untuk reservasi pada bulan Oktober. Memang banyak hal menarik yang bisa dilakukan selama disini dari segi budaya, sejarah, dan alamnya. Terlebih lagi daerah ini tidak jauh dari bandara. Bahkan tahun ini sudah reservasi sudah dipenuhi segerombolan untuk mencoba pengalaman tersebut," Ungkap Lee.




(dna/dna)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork