Conclave: Pencarian Paus Baru Yang Penuh Dengan Intrik
EDITORIAL RATING
AUDIENCE RATING

Sinopsis:
Conclave atau konklaf adalah pertemuan para kardinal Gereja Katolik untuk memilih Paus baru setelah kursi kepausan kosong, baik karena Paus meninggal dunia atau resign. Konklaf diadakan di Kapel Sistina, Vatikan.
Para kardinal dari seluruh dunia yang dipilih untuk mengikuti pemilihan umum ini dikurung dalam proses tertutup (agar mereka tidak terpengaruh dengan hal apapun yang mereka lihat) sampai akhirnya mereka setuju dengan satu nama yang nantinya akan menjadi Paus baru.
Thomas Lawrence (Ralph Fiennes) adalah dekan kardinal yang tugasnya mengurus prosesi konklaf ini. Sejak Paus meninggal, ia sudah mengendus bahwa Kardinal Joseph Tremblay (John Lithgow) mengincar posisi ini. Teman dekat Lawrence, Kardinal Aldo Bellini (Stanley Tucci), dipilih oleh beberapa teman mereka karena pandangannya yang liberal.
Kemudian ada juga Kardinal Joshua Adeyemi (Lucian Msamati) yang mempunyai pandangan yang lumayan konservatif tapi sepertinya banyak memiliki suara. Dan yang terakhir adalah Kardinal Goffredo Tedesco (Sergio Castellitto) yang ngotot ingin mengembalikan Vatikan seperti kejayaan Roma dahulu kala. Lawrence sendiri bukannya tanpa masalah.
![]() |
Sebelum Paus meninggal, dia sudah meminta untuk resign karena imannya mulai goyah. Pada awalnya, ia terlihat tidak begitu invested dengan perannya sebagai pengurus konklaf. Tapi ketika dinding mulai berbicara dan satu per satu rahasia mulai terkuak, Lawrence mau tak mau harus terjun untuk menjamin Paus yang terpilih berikutnya adalah pemimpin terbaik.
Review:
Secara sekilas, Conclave yang disutradarai oleh Edward Berger ini, terdengar seperti sebuah film yang rumit dan kompleks. Topiknya serius, hampir semua karakternya laki-laki, setting-nya hanya di satu tempat dan semua adegan isinya adalah orang ngobrol.
Tapi percayalah, Conclave bukan film yang membosankan. Film ini bahkan mungkin lebih seru dari semua jilid Fast and Furious dijadikan satu.
Diadaptasi dari buku berjudul sama karya Robert Harris, Peter Straughan mengadaptasi film ini dengan cukup cermat. Dalam lima belas menit, penonton akan tahu orang-orang seperti apa yang ada di layar.
![]() |
Kardinal Thomas Lawrence sebagai karakter utama adalah pemandu yang baik karena ia melakukan semua hal yang akan dilakukan penonton kalau mereka ada di posisinya.
Di atas kertas, Conclave mungkin kurang adegan aksi. Satu-satunya adegan heboh yang ada di film adalah ketika ada bom bunuh diri di luar kapel (bukan spoiler, adegan ini muncul di trailer).
Tapi meskipun begitu, Conclave sangat mencengkeram dari awal sampai akhir. Conclave tahu bahwa bergosip adalah kegiatan yang sama serunya dengan adegan merampok bank.
Baca juga: The Gorge: Kisah Penjaga Pintu Neraka |
Bahkan kalau pun tokoh ini fiksi, penonton akan memakan adegan ini kalau rahasia yang keluar dari mulut karakternya cukup sedap. Dan Conclave menghadirkan begitu banyak skandal dan intrik, durasi 120 menit berlalu begitu saja.
Meskipun klimaksnya tidak sesensasional yang saya harapkan, tapi film ini berhasil membuat saya cengengesan (karena keseruan!) dari awal film dibuka sampai akhir.
Skrip dari Straughan yang mantap tadi kemudian diterjemahkan dengan apik oleh Edward Berger. Ia tahu sekali bagaimana cara membingkai kisah ini menjadi sebuah tontonan yang luar biasa menghibur.
Dengan nuansa yang dibuat extra serius (dari musik sampai blocking adegan), Conclave menggunakan estetika camp sebagai senjata utamanya. Sinematografer StŽphane Fontaine membingkai Conclave dengan warna merah yang pekat, hampir seperti darah.
![]() |
Hampir semua adegan, kamu akan melihat warna merah hadir. Berger menaruhnya di kostum, di lokasi dan kadang di aksesori kecil. Meskipun film ini banyak sekali menggunakan kamera statis, tapi Conclave tidak pernah sekali pun kehilangan momentum.
Kekuatannya adalah di komposisi gambar yang sempurna, kadang sampai mengintimidasi. Teknis yang canggih itu kemudian akhirnya diwarnai dengan permainan aktornya yang memadai.
Ralph Fiennes tahu benar bagaimana cara menjadi komandan film ini. Melalui aksinya, penonton akan bisa melihat bagaimana Thomas Lawrence berfikir bahkan ketika karakternya tidak mengucapkan apa-apa.
Stanley Tucci langsung menarik perhatian tanpa perlu usaha. Dan Isabella Rosellini yang memerankan Suster Agnes, menggunakan waktunya yang terbatas untuk mengguncang kafetaria.
Conclave adalah bagaimana sebuah drama dipersembahkan. Secara konten, ia cukup serius: bagaimana caranya memilih pemimpin yang baik dari calon-calon yang kurang meyakinkan. Belum lagi soal isu keyakinan terhadap Tuhan.
Tapi ia berhasil menghadirkan semua ini dengan sentuhan modern yang pas sehingga ia akhirnya menjadi tontonan yang tidak hanya accessible bagi semua orang tapi juga karya yang luar biasa menghibur.