Uglies: Cocok Sesuai Judul Filmnya
EDITORIAL RATING
AUDIENCE RATING

Sinopsis:
Film Uglies berlatar di dunia pasca-apokaliptik, di mana remaja menjalani operasi kosmetik wajib dari pemerintah untuk menjadi Pretties saat mereka berusia 16 tahun, dan kemudian dapat pindah ke New Pretty Town.
Tally Youngblood ialah seorang gadis berusia 16 tahun yang tinggal di Uglyville dan telah lama mendambakan untuk menjadi Pretty. Namun, kehidupannya berubah ketika temannya, Shay, berencana melarikan diri ke pemukiman pemberontak yang disebut sebagai Smoke.
Review:
Seperti kebanyakan film remaja distopian yang lain, Uglies dimulai dengan dunia yang kacau yang disebabkan oleh keserakahan manusia. Setelah semua sumber daya alam habis (terdengar familiar bukan?), para ilmuwan menciptakan energi baru. Kemudian para pemimpin memutuskan untuk membuat peraturan baru untuk mencegah hal yang sama terjadi. Setiap remaja, saat berusia 16 tahun akan menjalani operasi untuk membuat mereka menjadi "Pretty" alias rupawan.
Tally (Joey King) adalah salah satu remaja yang sebentar lagi akan mengalami transisi ini. Bersama sahabatnya, Peris (Chase Stokes), mereka membuat rencana: mereka akan bersama selamanya. Operasi membuat mereka menjadi "Pretty" tidak akan meremukkan rencana tersebut. Tapi sayangnya di hari mereka seharusnya bertemu, Peris tidak kunjung datang. Tally akhirnya menyelundup ke kota bernama "Pretties" dimana semua orang yang sudah operasi tinggal. Bukannya disambut, Tally malah kehilangan sahabatnya. Peris tidak hanya berubah fisik tapi juga kepribadiannya.
Baca juga: Beragam Review Joker: Folie a Deux |
Walaupun masih sedih, Tally dekat dengan Shay (Brianne Tju). Shay yang memberontak dan tidak ingin menjadi cantik menceritakan Tally tentang The Smoke. The Some yang dipimpin oleh seseorang bernama David (Keith Powers) konon adalah sebuah tempat dimana harmoni dan kebersamaan menjadi yang terpenting. Di ulang tahunnya yang ke enam belas, Tally bercerita soal ini kepada Dr. Cable (Laverne Cox). Dr. Cable menjelaskan betapa bahayanya David dan The Smoke. Sekarang Tally menjadi mata-mata Dr. Cable untuk membuktikan kebenarannya.
Kalau kamu merasa bahwa Uglies terasa seperti film-film remaja distopian yang sempat nge-tren di era 2010-an, kamu tidak salah. Tanpa bertele-tele, film ini mengingatkan saya seperti The Hunger Games, Divergent, The Giver, The 5th Wave, The Host dan kawan-kawan. Perbedaannya adalah Uglies yang dirilis sekarang terasa seperti film yang salah era. Dan yang lebih menyedihkan lagi, Uglies tidak menawarkan hal yang baru. Semuanya terasa seperti déjà vu yang membosankan.
Ditulis oleh Jacob Forman, Vanessa Taylor dan Whit Anderson, agak sukar untuk peduli dengan dunia yang dibangun oleh Uglies karena ia tidak mempunyai pondasi yang ajeg. Dari intro-nya saja, banyak sekali pertanyaan yang muncul. Kenapa berpenampilan rupawan menjadi jawaban atas kerusakan ekosistem? Apa yang terjadi kalau orang-orang tidak mau menjadi rupawan? Apa benefit yang didapatkan oleh para penguasa ini kalau masyarakatnya rupawan semua? Pertanyaan-pertanyaan ini menghantui saya sepanjang Uglies dan sampai akhir ternyata tidak ada jawaban yang memuaskan.
Tapi sebenarnya pertanyaan-pertanyaan itu memang tidak sepenuhnya krusial. Film-film serupa juga melakukan hal yang sama. Perbedaan terbesarnya adalah jika film ini dibandingkan dengan serial The Hunger Games misalnya, Katniss dan kawan-kawan diberikan world building yang jelas. Urgensi yang ada di dalamnya, kenapa pemberontakan itu perlu, terasa kuat. Film ini sama sekali tidak. Dan yang parah dari itu semua adalah kenyataan Uglies begitu membosankan. Hampir semua plot, semua kejutan, semua keputusan karakter-karakternya terasa seperti karbon kopi film-film yang saya sebutkan tadi. Tidak ada satu pun yang baru.
McG sebagai sutradara kemudian memperparah pengalaman menonton ini dengan visual yang juga sama flat-nya. Di bagian awal, Uglies terlihat tidak meyakinkan. Gambarnya begitu datar dan visual efeknya terlihat menyedihkan. Film ini agak terlihat rupawan ketika ia mulai menginjakkan kakinya di lokasi betulan dan bukan green screen. Tapi sampai di tempat tersebut pun, McG tidak memberikan sesuatu yang mencengangkan. Nihilnya kepribadian dari segi visual ini pun akhirnya membuat Uglies menjadi produk Netflix yang gampang dilupakan.
Kalau ada hal yang bisa dipuji dari Uglies, itu adalah komitmen para aktornya untuk tetap berusaha meyakinkan penonton bahwa urusan ini adalah urusan hidup dan mati. Joey King enak dilihat. Brianne Tju mempunyai kemampuan yang baik dalam menyampaikan eksposisi tanpa terasa seperti muntahan informasi. Tapi keindahan Uglies hanya berhenti sampai di situ. Uglies ternyata tidak membuat saya merindukan tren film-film remaja distopian hadir lagi. Film ini justru membuat saya berharap agar film ini berhenti sampai disini saja. Ending yang diakhiri dengan cliffhanger bukannya membuat saya penasaran tapi malah membuat saya memutar bola mata saya. Ternyata film ini sesuai dengan judulnya.
Uglies dapat disaksikan di Netflix.
Genre | Dystopia sci-fi, Teen Adventoure, Action, Drama, Fantasy, |
Runtime | 102 minute |
Release Date | 13 September 2024 |
Production Co. | McG |
Director | MCG |
Writer | Jacob Foreman, Vanessa Taylor, Whit Anderson |
Cast | Joey King, Brianne Tju, Keith Powers |