Menyembuhkan Trauma Lewat Cinta dari The Architecture of Love

Mikhael Kevin
|
detikPop
Cuplikan adegan dalam film The Architecture of Love.
Cuplikan adegan The Architecture of Love. Dok. Starvision
Jakarta - Setelah beberapa film tanah air belakangan dipenuhi oleh suguhan horor, kini sinema Indonesia kembali memunculkan suatu film drama romance kembali.

Kali ini film romance diangkat dari novel yang cukup populer karangan Ika Natassa berjudul The Architecture of Love. Novel ini sendiri telah rilis pada 12 Mei 2021 lalu.

Cerita di film ini mengangkat konteks yang persis seperti di novelnya melalui karakter River (Nicholas Saputra) dan Raia (Putri Marino).

Menceritakan kedua karakter yang mempunyai trauma dari cinta yang membuat mereka 'kabur' dalam rentang waktu yang berbeda.

Suatu waktu Raia pergi ke New York untuk memperbaiki traumanya yang membuat ia mengalami writers block dan berusaha mencari suasana baru untuk menjadi inspirasi ceritanya. Saat itulah ia bertemu dengan River.

Cuplikan adegan dalam film The Architecture of Love.Cuplikan adegan dalam film The Architecture of Love. Foto: Dok. Starvision

Sama seperti formula film romance drama pada umumnya, plot cerita dalam film ini diceritakan mengalir secara lurus. Dengan alur yang santai penonton dapat mengikuti proses perkembangan karakter dalam menyelesaikan traumanya masing-masing.

Sayang dengan formula plot yang disuguhkan terlalu bertele-tele dan terasa membosankan sehingga terkadang membuat penonton melepaskan empati ke karakter.

Namun dibalik ketidaksempurnaannya, film ini menyajikan nilai dan pesan moral yang cukup kepada penonton untuk lebih belajar lagi dalam hal cinta.

Dengan menggunakan karakter yang mature, serta pemilihan cast yang tepat, karakter River dan Raia dapat memberikan perspektif hubungan percintaan dewasa kepada para penonton. Dimana cinta bukanlah hanya saling suka melainkan menaruh harapan dan perjalanan di dalamnya.

Seperti yang dikatakan Chand Parwez Servia sebagai produsernya, film ini diproduksi untuk memberikan pandangan terhadap perjalanan cinta yang seharusnya bisa terjadi di setiap orang.

"Saya sangat yakin bahwa pasti kita pernah ada dalam posisi yang ditunjukkan dalam film ini. Menurut saya untuk sembuh kita harus mencintai. Dan mencintai itu ternyata menyenangkan," sebut Parwez saat konferensi pers di Jakarta (25/4/2024)

Film ini dapat dinikmati secara santai tanpa harus berpikir panjang. Namun setelah menontonnya, barulah kita berpikir dan merefleksikan hidup kita khususnya dalam percintaan.

"Kita sedang bicara cinta. Keindahan dan kesucian itu sendiri. Cinta itu simpel, kita aja sekarang manusia yang bikin itu complicated," jelas Ika Natassa sebagai penulis novelnya saat konferensi pers di Jakarta (25/4/2024)

Karena itulah film ini hadir sebagai wahana refleksi untuk berpikir tentang cinta. Di kala percintaan yang begitu rumit dan kompleks, cinta itu hadir sebagai penyejuk dan pembawa kebahagiaan bagi hidup.

Jadi film ini berpesan untuk para penontonnya dapat menikmati hidup serta menikmati arti dari cinta itu sendiri sepanjang hidup. Meskipun sedang diterpa konflik yang rumit, jangan pernah memberatkan cinta atas pelampiasannya, namun jadikanlah cinta sebagai penyejuk hati kita.


(ass/ass)


TAGS


BERITA TERKAIT

Selengkapnya


BERITA DETIKCOM LAINNYA


Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama berkomentar di sini

TRENDING NOW

SHOW MORE

PHOTO

VIDEO