Suara Kartini dari Seniman Perempuan Indonesia

Tia Agnes Astuti
|
detikPop
RA Kartini
Potret RA Kartini. Foto: Arsip Nasional RI
Jakarta - Raden Ajeng (RA) Kartini meninggal di usia 25 tahun, empat hari setelah kelahiran anaknya. Setiap tanggal 21 April, masyarakat Indonesia merayakan hari lahirnya ikon feminisme dalam memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia.

Salah satu karyanya, Habis Gelap Terbitlah Terang jadi buku kumpulan surat yang ditulis oleh RA Kartini telah melegenda. Suara-suara Kartini dalam tulisannya yang tak lekang oleh zaman, masih kontekstual di masa sekarang.

Kartini bukan sekadar perempuan namun sosok yang mempengaruhi generasi perempuan berikutnya. Merayakan hari Kartini, redaksi detikpop mewawancarai beberapa seniman perempuan Indonesia.

Spirit Kartini yang menjiwai seniman perempuan Tanah Air pun larut dalam setiap karya artistiknya.

Dyah Retno Fitriani lahir di Medan pada 9 Maret, mengambil jurusan Keramik di ISI Yogyakarta dan eksis berkarier sebagai seniman keramik. Berkarya dengan media keramik dan ruang seni kontemporer sejak 2014, nggak sekadar menjadikannya sebuah seniman 'kacangan'.

Pada 2016, ia mulai melakukan riset pada limbah-limbah pembuatan keramik sampai membuat daur ulang jadi lebih artistik dan fungsional. Fokus utamanya kini suistanability atau kelanjutan dalam berkarya, yang berhasil ditularkan kepada pabrik hingga studio keramik yang ada di kawasan Kasongan, Yogyakarta.

Ditemui redaksi detikpop di Komunitas Salihara, sosok Dyah Retno dimasukkan ke dalam salah satu seniman Indonesia dalam series Culture by Design yang ditayangkan ABC Australia. Dyah Retno bukan sekadar buat karya seni, namun keberlanjutan dari karya yang dihasilkan.

Seniman Keramik asal Yogyakarta, Dyah Retno saat ditemui di Komunitas Salihara pada Kamis (17/4/2025).Seniman Keramik asal Yogyakarta, Dyah Retno saat ditemui di Komunitas Salihara pada Kamis (17/4/2025). Foto: Tia Agnes/ detikcom

"Keberlanjutan bukan cuma material, bukan cuma limbah yang saya pikirkan tapi komunitas yang bisa mempengaruhi orang lain. Sejak saya 2016, melakukan riset harus diapakan limbah keramik ini, kami harus mendukung satu sama lain, makanya saya membuat Yogya Ceramics Forum. Buat seniman keramik, dosen yang tertarik dengan keramik, dan pegiat seni keramik," terangnya, Kamis (17/4/2025).

Alasannya cuma satu, dia pun melanjutkan omongannya. "Buat berpikir kembali dengan seni keramik. Gimana proses artistik ini berlangsung ke depannya," kata Dyah Retno.

Di tahun tersebut, ia membeli banyak limbah keramik dengan harga murah lalu mengubahnya secara artistik. Tak berselang lama, pabrik keramik yang ada di sekitarnya mulai memakai metode dan teknik yang bersama untuk buat keramik sama seperti seniman asal Yogyakarta tersebut.

Karya-karyanya banyak mengadaptasi bentuk radiolaria detail dari sel plankton tunggal yang tersebar di lautan. Salah satu proyeknya berjudul Physis mengolah limbah keramik hingga dapat menjadi material baru yang punya sifat optimal seperti material keramik asli. Dia pun berhasil membuat keramik 'ramah lingkungan'.

Setali tiga uang dengan Dyah Retno, Hana Madness seniman visual asal Jakarta yang juga dikenal sebagai aktivis mental health membuat karya yang berdampak bagi sekitarnya. Dimulai dari membuat pop-up bernama joy faces yang berbentuk ikan-ikan terbang sejak tahun 2015 atau 2016.

Seniman Visual Hana MadnessSeniman Visual Hana Madness Foto: Courtesy of Hana Madness

"Ini makhluk yang selalu lompat dari kepalaku, dipersepsikan jadi warna-warni. Sebelumnya black and white, seperti tetesan air mata sebelum aku jadi seniman ya," katanya ketika ditemui di Anthem Jakarta, kawasan Sudirman, Jakarta, pada Kamis (17/4/2025).

Hana Madness yang baru saja dikaruniai anak pertamanya pun bangkit dari keterpurukan. Permasalahan disabilitas mental yang diidapnya sejak remaja coba dipulihkan lewat karya seni dan berobat ke psikiater.

"Sembari bangkit dari keterpurukan ya, buat perempuan Indonesia agar nggak mau diinjek-injek oleh sistem negara, sistem kesehatan yang nggak berpihak pada kita. Kita nggak boleh lagi ada narasi seperti itu, bangkit melawan keterbatasan dan bentuk minimnya kebebasan ekspresi," pungkasnya.

Baca artikel berikutnya ya.


(tia/nu2)


TAGS


BERITA TERKAIT

Selengkapnya


BERITA DETIKCOM LAINNYA


Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama berkomentar di sini

TRENDING NOW

SHOW MORE

PHOTO

VIDEO