Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan riset di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN). Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM) BRIN, Laras Tursilowati menilai jumlah ketersediaan air bersih di IKN belum ideal.
Dikutip detikInet dalam Media Lounge Discussion (MELODI) BRIN, Kamis (2/10/2025), hanya 0,5% air yang tersedia langsung di permukaan, 20% tersimpan dalam vegetasi, dan sisanya 79% merupakan kawasan non-air berupa lahan terbangun.
Prediksi ini didapat dari pendekatan artificial neural network (ANN). Menurutnya kondisi tersebut perlu menjadi perhatian serius, mengingat target pemerintah menjadikan IKN sebagai ibu kota politik pada 2028.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hasil ini bisa dianggap sebagai warning bagi pemangku kebijakan. Air yang benar-benar terlihat di permukaan hanya 0,5%. Angka ini tentu jauh dari ideal untuk menopang kebutuhan kota," ujar Laras.
Apalagi, kajian berbasis data satelit dengan metode ANN ini mencapai akurasi hingga 97,7%, karenanya ini dapat dijadikan acuan awal bagi perencanaan IKN.
Laras menekankan, upaya perbaikan ketersediaan air di IKN memerlukan kolaborasi lintas disiplin. Kajian hidrologi, konservasi lahan, serta pengelolaan infrastruktur air harus berjalan beriringan.
"Ini bukan sekadar isu teknis, tapi menyangkut biaya besar yang harus dihitung secara matang. Pembangunan ibu kota tidak boleh hanya fokus pada infrastruktur fisik, tetapi juga ekologi," ungkap Laras.
Ia juga menambahkan, edukasi masyarakat menjadi faktor penting dalam menjaga keberlanjutan. Air bisa jadi rebutan jika tidak ada pengelolaan yang bijak. Kesadaran untuk menghemat dan tidak mencemari air harus dibangun sejak awal.
Kendati demikian, hasil kajian BRIN ini belum sepenuhnya dikomunikasikan kepada Otorita IKN. Namun, Laras berharap media dapat menjadi saluran agar hasil riset sampai ke pengambil kebijakan.
Dengan kondisi eksisting yang masih jauh dari ideal, pembangunan IKN menuntut strategi pengelolaan air yang komprehensif. Kondisi saat ini memang kurang, akan tetapi masih bisa diperbaiki.
Lebih lanjut, Laras menjelaskan bahwa kondisi geografis Kalimantan sebenarnya memiliki curah hujan yang cukup. Namun, air hujan banyak yang langsung hilang sebagai limpasan (runoff) karena minimnya vegetasi penyerap dan keterbatasan infrastruktur penampung air.
"Saat terakhir ke IKN, terlihat sudah ada danau buatan. Namun, volumenya masih sangat kecil untuk menopang kebutuhan jangka panjang. Air permukaan memang sedikit sehingga harus ada strategi untuk memperbanyak cadangan melalui embung atau waduk kecil," terangnya.
Selain itu, karakteristik tanah, keberadaan rawa dan gambut, serta tingginya tingkat pembangunan lahan non-hijau memperbesar risiko kelangkaan air. Air gambut misalnya, sulit dimanfaatkan langsung sebagai air bersih tanpa proses pengolahan khusus.
Solusi yang diusulkan BRIN adalah perlunya adopsi konsep tata kelola kota yang ramah lingkungan. Langkah yang ia usulkan, salah satunya, pembangunan hutan kota di kawasan IKN.
"Hutan kota berfungsi sebagai penyangga ekologi, penyerap air hujan, dan sekaligus meningkatkan kenyamanan termal. Saat ini kawasan masih terasa sangat gersang dan panas," jelasnya.
Selain hutan kota, konsep sponge city juga dinilai relevan. Model ini bertujuan menjadikan kota mampu menyerap dan menyimpan air hujan secara alami melalui infrastruktur hijau, taman, area resapan, serta pengelolaan lahan yang tidak seluruhnya tertutup aspal dan beton.
"Curah hujan di Kalimantan sebenarnya tinggi. Pertanyaannya, ke mana air itu pergi? Jika tidak dikelola, air hanya lewat sebagai banjir sesaat lalu hilang. Dengan teknik yang tepat, air bisa ditangkap, diserap, dan dimanfaatkan kembali," tambahnya.
Selain itu, pembangunan embung di berbagai titik juga mendesak. Embung berfungsi menampung air hujan sekaligus menjaga cadangan pada musim kemarau. Dalam jangka panjang, diperlukan pula sistem digitalisasi distribusi air agar penggunaannya lebih teratur dan efisien.
(aau/aau)