Kesultanan Pontianak secara politik telah berakhir sejak awal 1950-an. Namun, jejak sejarahnya masih terpelihara kuat di tepi Sungai Kapuas. Tiga peninggalan utama, yaitu Kompleks Makam Batu Layang, Masjid Jami' Sultan Abdurrahman, dan Keraton Kadriah menjadi saksi perjalanan panjang kerajaan Islam terakhir di Kalimantan Barat.
Setiap bangunannya menyimpan kisah tentang kekuasaan, spiritualitas, dan budaya Melayu yang berpadu dengan pengaruh Arab serta Eropa. Mari telusuri lebih dekat tiga peninggalan Kesultanan Pontianak yang masih dijaga hingga saat ini.
1. Keraton Kadriah Pontianak
Istana Kadariyah Kesultanan Pontianak. Foto: Dok. Kemdikbud |
Peninggalan paling penting dari Kesultanan Pontianak adalah Keraton Kadriah, pusat pemerintahan yang berdiri megah di tepi Sungai Kapuas. Sebelum memasuki kompleks keraton, pengunjung akan menemukan sebuah tugu peringatan yang dibangun oleh Sultan Syarif Usman Al Kadri, untuk menandai 40 tahun masa pemerintahannya (1213-1315 H).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gerbang utama keraton berbentuk lengkung dengan balkon di atasnya, ditopang oleh dua belas tiang kayu belian. Lantainya dari kayu belian, dan atapnya bersirap berbentuk limasan. Dahulu balkon ini digunakan penjaga untuk mengawasi keamanan istana. Di depannya berdiri tiang bendera kesultanan yang didirikan pada 19 Januari 1845 oleh Sultan Syarif Usman, sebagaimana tertulis dalam inskripsi pada batangnya.
Keraton yang sekarang berdiri merupakan hasil pembangunan kembali oleh Sultan Syarif Muhammad Al Kadri pada tahun 1923. Bangunan ini berukuran sekitar 60 meter panjang dan 25 meter lebar, berdiri di atas kolong kayu belian setinggi 75 sentimeter. Di depannya terletak meriam timbul, senjata yang menurut legenda ditemukan Sultan Abdurrahman mengapung di Sungai Kapuas.
Anjungan di bagian depan berfungsi sebagai tempat Sultan bersantai dan menikmati pemandangan sungai. Di sampingnya tergantung genta perunggu, digunakan pada masa lalu sebagai tanda bahaya atau serangan. Untuk menuju ruang utama, pengunjung harus menaiki tangga sembilan, melambangkan tingkat spiritual dalam budaya Melayu.
Bagian depan keraton disebut Balai, tempat Sultan menerima tamu penting seperti Residen Belanda atau pejabat kerajaan lain. Di sini pula dahulu dilakukan upacara penyerahan upeti, sebagaimana tampak dalam beberapa foto lama koleksi keraton.
Di dalamnya terdapat sepuluh ruang utama, termasuk dua ruang singgasana, enam kamar di sisi kanan-kiri, dan dua kamar kerja di bagian depan. Ruang Singgasana menjadi pusat perhatian karena menampilkan kursi kerajaan berwarna kuning emas dengan ukiran mahkota, harimau, bulan-bintang, dan ornamen flora Islam.
Selain kursi raja dan ratu, keraton juga menyimpan 13 meriam kuno, dua payung kebesaran kesultanan, tombak trisula, tongkat penobatan, kursi kerja sultan, tandu upacara, baju kebesaran kerajaan, hingga cermin besar dari Prancis yang dikenal sebagai Kaca Seribu. Koleksi lainnya berupa foto-foto para sultan, piagam dari Residen Belanda, lampu hias, dan kipas angin tua.
Sebagian ruangan, terutama kamar pribadi Sultan dan keluarganya, masih ditempati oleh ahli waris dan tidak dibuka untuk umum. Di ruang koleksi terdapat benda-benda keramik, vas, senjata, kitab Al-Qur'an, serta patung marmer istri Sultan Hamid II, karya seni peninggalan masa akhir kesultanan.
2. Kompleks Makam Batu Layang
Salah satu peninggalan paling bersejarah dari Kesultanan Pontianak adalah Kompleks Makam Batu Layang yang menjadi tempat peristirahatan terakhir para sultan dan keluarganya. Kompleks ini berada di Kecamatan Pontianak Utara, sekitar 200 meter ke arah selatan dari jalan utama. Lokasinya mudah dijangkau dengan kendaraan dan menjadi salah satu destinasi ziarah yang ramai dikunjungi, terutama di akhir pekan dan hari libur.
Meski terbuka untuk umum, kompleks ini tidak digunakan untuk pemakaman masyarakat biasa. Hanya keturunan dan keluarga sultan yang diperkenankan dimakamkan di sini. Di sinilah dimakamkan delapan sultan Pontianak, di antaranya:
- Sultan Syarif Abdurrahman Al Kadri (wafat 1223 H)
- Sultan Syarif Kasim Al Kadri (wafat 1234 H)
- Sultan Syarif Usman Al Kadri (wafat 1277 H)
- Sultan Syarif Hamid I Al Kadri (wafat 1289 H)
- Sultan Syarif Yusuf Al Kadri (wafat 1895 M)
- Sultan Syarif Muhammad Al Kadri (wafat 1944 M)
- Sultan Syarif Taha Al Kadri (wafat 1978 M)
- Sultan Syarif Hamid II Al Kadri (wafat 1978 M)
Masing-masing sultan dimakamkan bersama keluarga dekatnya. Misalnya, di ruang makam Sultan Syarif Abdurrahman terdapat dua pusara, yaitu makam sang sultan dan istrinya, Utin Kasmiri, yang wafat pada tahun 1246 H. Makam ini merupakan peninggalan tertua dari Kesultanan Pontianak, berusia hampir dua abad, meski telah beberapa kali diperbaiki.
Ruang lain menampung makam Sultan Syarif Kasim Al Kadri, Sultan Pontianak II yang memerintah pada 1808-1819. Makamnya berkelambu kuning, berpagar kayu, dan berdinding kaca di bagian depan. Tak jauh dari situ terdapat makam Sultan Syarif Usman Al Kadri, Sultan Syarif Hamid I, serta Sultan Syarif Yusuf Al Kadri, yang dikelilingi makam anak dan cucu mereka.
Sementara makam Sultan Syarif Muhammad Al Kadri menempati ruang tersendiri, bersama makam istrinya, Syecha Djamilah binti Mahmud Syarwani (Maha Ratu Surie), dan Sultan Hamid II Al Kadri, Sultan kedelapan yang wafat di Jakarta pada 30 Maret 1978. Di dekatnya juga terdapat makam Sultan Syarif Taha Al Kadri dan istrinya, Raden Ajeng Sriyati bin Mas Noto (Ratu Negara), yang wafat pada 12 Juni 1982.
Ciri khas makam di Batu Layang terletak pada bahan dan bentuknya. Sebagian besar jirat (nisan) dibuat dari kayu belian, porselen, atau marmer. Bentuk gada menandakan laki-laki, sedangkan nisan pipih melambangkan perempuan. Ada pula nisan berbentuk mahkota berwarna kuning keemasan, tanda bahwa yang dimakamkan adalah raja, ratu, atau keturunan bangsawan.
Hiasan pada jirat sering kali berupa ukiran bunga dengan tulisan Arab, serta simbol bulan dan bintang sebagai lambang Islam. Setiap makam biasanya berundak empat tingkat dan jumlah trap ini diyakini mencerminkan tingkat kebangsawanan pemilik makam.
3. Masjid Jami' Sultan Abdurrahman
Masjid Jami' Sultan Abdurrahman Pontianak. Foto: Dok. Istimewa |
Tak jauh dari Keraton Kadriah, di pertemuan Sungai Kapuas Besar dan Sungai Landak, berdiri megah Masjid Jami' Sultan Abdurrahman. Masjid ini didirikan oleh Sultan Syarif Usman Al Kadri pada hari Selasa, bulan Muharram tahun 1237 H (sekitar 1821 M). Arsitekturnya memadukan gaya tradisional Kalimantan, pengaruh Timur Tengah, dan sentuhan Barat.
Bangunannya berdiri di atas tiang kayu belian khas rumah panggung masyarakat pesisir. Atapnya bertingkat empat dan semakin mengecil ke atas, puncaknya berbentuk seperti kubah lonceng. Di ruang utama terdapat enam tiang utama (soko guru) berbentuk silinder berdiameter sekitar 60 cm, ditopang oleh empat belas tiang tambahan berbentuk segi empat.
Pintu dan jendela besar memperlihatkan sentuhan arsitektur Eropa, sementara bentuk kubah semu dan lengkungan di dalam ruangan menunjukkan pengaruh Timur Tengah. Atap bertingkat-tingkatnya mengingatkan pada gaya masjid kuno Nusantara seperti Demak atau Banten Lama.
Bagian luar masjid dikelilingi serambi berpagar kayu belian, dengan atap yang ditopang banyak tiang. Di serambi inilah tergantung beduk tua dari kulit hewan yang digunakan untuk memanggil jamaah salat. Di sisi selatan berdiri tiang bendera kerajaan yang bentuknya serupa dengan yang ada di Keraton Kadriah, meskipun berukuran lebih kecil.
Itulah tiga peninggalan Kesultanan Pontianak yang masih berdiri hingga sekarang. Ketiga situs ini, mulai dari makam, masjid, dan keraton, merupakan simbol perjalanan panjang Islam dan kebudayaan Melayu di Kalimantan Barat.
Meski telah melewati ratusan tahun dan berbagai perubahan politik, Keraton Kadriah, Masjid Jami', dan Kompleks Batu Layang tetap menjadi pusat ziarah sejarah, penelitian budaya, dan kebanggaan masyarakat Pontianak hingga kini.


