Kota Pontianak merupakan ibu kota dari Kalimantan Barat. Kota ini dikenal sebagai kota yang dilintasi garis khatulistiwa, sehingga diberi julukan Kota Khatulistiwa.
Garis lintang nol derajat atau equator melintasi wilayah ini. Hari ini, 23 Oktober 2025, Kota Pontianak berulang tahun ke-254. Pada tahun 1771 silam Pontianak dibangun dengan banyak harapan, melalui banyak sejarah, hingga menjadi pusat perekonomian di Kalbar.
Sejarah Kota Pontianak
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suasana salat di Masjid Jami di Pontianak, Kalimantan Barat. Foto: Dok. ANTARA Foto/Jessica Helena Wuysang |
Dalam buku Sejarah Sosial Daerah Kotamadya Pontianak oleh Syarif Ibrahim Alqadrie dan Pandil Sastrowardoyo terbitan Depdikbud dijelaskan Kota Pontianak disebut sebagai pintu gerbang daerah Kalimantan Barat karena letaknya sangat strategis dilihat dari lalu lintas laut.
Pantai Kalimantan Barat terletak di jalur lalu lintas laut international yang menghubungkan Nusantara dengan wilayah Asia melalui Selat Malaka. Dengan demikian sejak dulu daerah ini sering menjadi persinggahan kapal kapal besar.
Sejarah Kota Pontianak tidak terlepas dari sejarah kesultanannya. Setiap tanggal 23 Oktober masyarakat memperingati hari jadi Kota Pontianak.
Tanggal tersebut merupakan awal berdirinya suatu tempat pemukiman baru bagi kelompok pendatang yang ingin menyebarkan agama Islam dan sekaligus ingin memulai kehidupan baru.
Kota Pontianak didirikan pada 23 Oktober 1771 M (24 Rajab 1181 H) oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie. Rombongan tersebut membuka hutan di persimpangan tiga Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Kapuas untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal.
Kelompok pendatang ini dipimpin oleh Syarif Abdurakhman Alkadrie, putra Syarif Alhabab Alkadrie yang berasal dari Hadralmaut. Pemukiman baru itu dikenal dengan wilayah Kesultanan Pontianak yang terletak tepat pada persimpangan antara Sungai Kapuas Kecil dengan Sungai Landak.
Berdirinya pemukiman baru itu ditandai dengan berdirinya surau di tepi Sungai Kapuas Kecil tidak jauh dari muara Sungai Landak. Surau kecil itu sekarang menjadi Mesjid Jami Sultan.
Istana Kadariyah Kesultanan Pontianak. Foto: Dok. Kemdikbud |
Selanjutnya di sekitar mesjid itu memanjang ke tepi Sungai Kapuas Kecil, Sungai Landak yang mengarah ke dalam dan kemudian menjadi kampung-kampung yang sangat penting dalam mendukung perkembangan kesultanan.
Di tengah pemukiman, berdiri sebuah kraton sebagai pusat pemerintahan, ialah Keraton Kadriyah. Dalam waktu yang relatif cepat pemukiman tersebut berkembang secara pesat jauh mendahului pemukiman lainnya.
Berkat kepemimpinan Syarif Abdurrahman Alkadrie, Kota Pontianak berkembang menjadi Kota Perdagangan dan Pelabuhan. Tahun 1192 H, Syarif Abdurrahman Alkadrie dinobatkan sebagai Sultan Pontianak yang pertama.
Adapun Sultan yang pernah memegang tampuk Pemerintahan Kesultanan Pontianak:
- Syarif Abdurrahman Alkadrie memerintah dari tahun 1771-1808
- Syarif Kasim Alkadrie memerintah dari tahun 1808-1819
- Syarif Osman Alkadrie memerintah dari tahun 1819-1855
- Syarif Hamid Alkadrie memerintah dari tahun 1855-1872
- Syarif Yusuf Alkadrie memerintah dari tahun 1872-1895
- Syarifrif Muhammad Alkadrie memerintah dari tahun 1895-1944
- Syarif Thaha Alkadrie memerintah dari tahun 1944-1945
- Syarif Hamid Alkadrie memerintah dari tabun 1945-1950.
Toponimi Kota Pontianak
Dirangkum dari laman Pemkot Pontianak, V.J. Verth, seorang penulis buku sejarah 'Borneos Wester Afdeling' menjelaskan bahwa Belanda masuk ke Pontianak pada tahun 1194 (1773 Masehi) dari Batavia. Kemudian, putra ulama dari Syarif Hussein bin Ahmed Alqadrie yakni Syarif Abdurrahman atau Al Habib Husin meninggalkan kerajaannya dan memilih untuk merantau ke Banjarmasin.
Di Banjarmasin, Syarif menikah dengan adik Sultan Banjar, Sunan Nata Alam dan menjabat sebagai pangeran. Dengan kemampuan berdagang yang mumpuni, Syarif berhasil mengumpulkan modal untuk mempersenjatai kapal pelancang dan kapal miliknya untuk melawan Belanda.
Dibantu Sultan Pasir, Syarif akhirnya berhasil membajak kapal milik Belanda di Bangka, lalu kapal Inggris dan Perancis di Pelabuhan Pasir. Setelah berhasil memukul mundur Belanda, Syarif mendirikan pemukiman di Sungai Kapuas.
Di sana, ia menemukan cabang dari Sungai Landak lalu mengembangkannya menjadi pusat perdagangan yang maju. Diberikanlah nama Pontianak untuk wilayah tersebut.
Nama Pontianak tak lepas dari kisah-kisah hantu kuntilanak yang selalu mengganggu Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie di Sungai Kapuas. Konon, ia melepaskan tembakan meriam untuk mengusir hantu kuntilanak. Selain itu lokasi peluru meriam yang ditembakkan jatuh, akan didirikan sebuah kesultanan.
Nama 'puntianak' merupakan singkatan dari 'perempuan mati beranak'. Namun, ada juga yang menceritakan bahwa sebenarnya suara Kuntilanak tersebut berasal dari kumpulan perompak yang diketahui di dalam hutan agar tidak diketahui oleh siapa pun.
Versi yang lain menyebutkan nama Pontianak berasal dari pohon punti atau pohon yang sangat tinggi. Hal ini karena pulau Kalimantan dahulu terkenal dengan kepulauan yang banyak ditumbuhi pepohonan yang tinggi maka lahirlah nama puntianak tersebut.
Selanjutnya ada juga legenda versi keempat yang menyebutkan Pontianak berasal dari kata Pontian. Hal ini dilatarbelakangi dari posisi Kota Pontianak yang strategis sebagai Pontian, artinya pemberhentian atau tempat singgah.
Kota Pontianak Kini
Wajah Kota Pontianak dari ketinggian. Foto: Rengga Sancaya |
Dikutip dari data BPS melalui publikasi buku Kota Pontianak dalam Angka 2025, luas kota Pontianak yakni mencapai 118,209 km2. Pontianak terdiri dari 6 kecamatan dan 29 kelurahan.
Kota Pontianak dilalui oleh garis khatulistiwa, yaitu terletak pada 0Β°02'19,868'' Lintang Utara sampai dengan 0Β°05'53,292" Lintang Selatan, dan 109Β°16'22,758" Bujur Timur sampai dengan 109Β°23'9,618" Bujur Timur.
Kecamatan di Kota Pontianak yang mempunyai wilayah terluas adalah Kecamatan Pontianak Utara (34,77 persen), diikuti oleh Kecamatan Pontianak Selatan (13,98 persen), dan Kecamatan Pontianak Barat (13,86 persen) menjadi wilayah terluas ketiga.
Pontianak memiliki ketinggian 0,8-1,5 meter di atas permukaan laut. Pontianak terbelah menjadi tiga daratan, dipisahkan oleh Sungai Kapuan Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak.
Secara geografis, kota ini dilalui oleh dua sungai terbesar di Pulau Kalimantan, yakni Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Kedua sungai ini pun diabadikan sebagai lambang Kota Pontianak.
Ely Nurhidayati dalam bukunya yang berjudul Kebertahanan Permukiman di Tepian Air Kota Pontianak, menyebut peta lahan terbangun tahun 1978-2015 menunjukkan perkembangan lahan di Pontianak terbangun dimulai dari tepian sungai. Sungai Kapuas dan Sungai Landak merupakan mainroad, berfungsi sebagai penghubung antara Pontianak sebagai pusat perdagangan.
Posisi strategis ini juga menjadikan Pontianak sebagai pusat perdagangan dan pelayaran sejak masa kolonial Belanda, terutama karena aksesnya yang mudah ke jalur perdagangan maritim Nusantara. Pada buku Pemasaran dan Wisata Gastronomi Kota Pontianak yang Berkelanjutan oleh Febryola Indra dkk, disebut bahwa Pontianak menjadi pusat ekonomi terbesar di Kalimantan Barat, dengan sektor perdagangan, jasa, dan industri yang berkembang pesat.
Pelabuhan Dwikora dulu menjadi jalur utama distribusi barang di wilayah barat Kalimantan, termasuk ekspor komoditas seperti karet, kelapa sawit, dan hasil hutan. Kota ini berperan sebagai penghubung perdagangan antara Indonesia dan negara tetangga, terutama Malaysia, melalui jalur darat ke Entikong dan jalur laut ke Kuching.
Saat ini Kota Pontianak dipimpin oleh Wali Kota Edi Rusdi Kamtono dan Wakil Wali Kota Bahasan. Mereka bekerja untuk melayani 680.852 jiwa jumlah penduduk di Pontianak per tahun 2024.
Lambang Kota Pontianak. Foto: Pemkot Pontianak |
Kota Pontianak memiliki lambang daerah yang mengandung makna. Lambang berupa bulatan kubah dengan sisi kanan 23 lembar daun karet, sisi kiri 10 lembar daun kelapa, di antara daun-daun tersebut menyinar dari bawah ke atas yakni lima sinar. Pada pangkal sinar ditulis angka 1771, tahun berdirinya kota ini.
Pada bagian tengah, melintang garis Khatulistiwa di atas sungai bercabang tiga. Tulisan KOTA PONTIANAK membentang dari pangkal daun Karet sampai ke pangkal daun kelapa. Maknanya, Pontianak didirikan dengan ditandai berdirinya sebuah Masjid sebagai lambang Keagungan Tuhan Yang Maha Esa.
Ciri Khas Kota Pontianak
Tugu Khatulistiwa dibuat pada masa pemerintahan Hindia Belanda sebagai penanda titik nol derajat garis khatulistiwa. Yuk, lihat lebih dekat. Foto: Rifkianto Nugroho |
Kota ini terkenal dengan beberapa ikon seperti Tugu Khatulistiwa, Tugu Digulis atau Tugu Bambu Runcing, dan Keraton Kadriyah yang masing-masing menyimpan sejarah kota Pontianak.
Budaya Melayu memiliki peran dominan dalam membentuk identitas Kota Pontianak. Bahasa Melayu menjadi bahasa sehari-hari yang digunakan oleh mayoritas penduduk. Bahasa ini juga menjadi dasar bagi perkembangan Bahasa Indonesia.
Tradisi lisan seperti pantun dan syair masih sering digunakan dalam acara adat dan budaya. Struktur sosial masyarakat Melayu di Pontianak juga masih kental dengan nilai-nilai Islam dan adat Kesultanan. Tradisi seperti Tepung Tawar dalam pernikahan dan perayaan Maulid Nabi menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat.
Bangunan berarsitektur khas Melayu, seperti Istana Kadriah dan masjid-masjid tua, menjadi simbol sejarah kota. Tari Zapin, musik Gambus, Festival Khatulistiwa yang menampilkan unsur budaya Melayu dalam bentuk parade kerap ditampilkan dalam perayaan ulang tahun Pontianak.
Chai Kue. Foto: youtube |
Selain itu masyarakat Tionghoa juga membawa pengaruh besar dalam kuliner Pontianak. Maka dari itu kota ini memiliki makanan khas seperti Chai Kue, Bakmi Kepiting, dan Kwetiau.
Dalam setiap perayaan di Pontianak juga terdapat budaya kesenian Dayak yang tetap ditonjolkan. Seperti tari-tarian dan ukiran khas, dan tentu saja kuliner khasnya seperti Tempoyak dan Ikan Asam Pedas, juga menjadi bagian dari identitas kuliner kota.
Nah, itulah tadi penjelasan tentang sejarah kota Pontianak dan mengenal lebih jauh Kota Khatulistiwa. Selamat hari jadi Kota Pontianak ke-254.






