Nyanggar dan Babarasih Banua adalah tradisi budaya di Kecamatan Kumai, Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah. Tradisi ini merupakan warisan leluhur yang masih dijalankan hingga kini, sebagai wujud penghormatan pada perjanjian nenek moyang.
Dikutip dari situs Pemkab Kobar, tradisi ini juga menjadi daya tarik wisata bagi pengunjung yang singgah menuju Taman Nasional Tanjung Puting. Simak asal-usul, pelaksanaan, hingga nilai-nilai di baliknya.
Asal-usul Nyanggar dan Babarasih Banua
Dikutip dari studi Nilai-Nilai Upacara Adat Nyanggar dan Babarasih Banua di Kecamatan Kumai Kalimantan Tengah: Kajian Folklor dari UIN Raden Mas Said Surakarta, tradisi Nyanggar dan Babarasih Banua memiliki akar bahasa dan budaya yang berbeda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Istilah Nyanggar berasal dari bahasa Dayak yang berarti memberikan sesajen kepada makhluk halus penghuni sungai-sungai keramat, sedangkan Babarasih Banua berasal dari bahasa Melayu yang berarti membersihkan tempat tinggal.
Upacara ini awalnya merupakan tradisi suku Dayak yang kemudian diadopsi oleh masyarakat Bubuhan Kumai dengan penyesuaian nilai-nilai Islam. Prosesi adat tersebut erat kaitannya dengan laut, dipandang sebagai ungkapan syukur sekaligus sarana tolak bala.
Selain sebagai wujud terima kasih kepada Allah atas rahmat dan rezeki, tradisi ini juga menjadi bentuk penghormatan kepada leluhur yang telah menjaga dan memperjuangkan wilayah setempat.
Rangkaian upacara ini berlangsung panjang, bahkan bisa sampai 40 hari 40 malam, dengan tiga tahapan utama: persiapan (Nyanggar), pelaksanaan (Babarasih Banua), dan penutup berupa doa-doa.
Tradisi budaya Nyanggar dan Babarasih Banua di Kumai, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Foto: dok YouTube Diskominfo Kotawaringin Barat |
Pelaksanaan Ritual Nyanggar dan Babarasih Banua
Pelaksanaan ritual Nyanggar dan Babarasih Banua dibagi menjadi tiga, mulai dari persiapan, pelaksanaan, dan penutup. Berikut penjelasannya, dikutip dari Ritual Babarasih Banua sebagai Upacara Tolak Bala bagi Masyarakat Kumai dari situs Universitas Lambung Mangkurat.
1. Persiapan
Ritual dimulai dengan serangkaian persiapan yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Beberapa hal utama yang dilakukan antara lain:
- Pembuatan sanggar, sebagai tempat meracik sesaji, menyiapkan perlengkapan adat, sekaligus dapur bagi kaum ibu untuk memasak makanan dan kue-kue ritual.
- Pembuatan Rumah Tiang Tunggal, rumah adat dengan satu tiang yang menjadi pusat kegiatan sekaligus tempat tinggal pemimpin upacara.
- Pembuatan pentas tradisional, yang digunakan untuk menampilkan kesenian daerah selama prosesi berlangsung, seperti tari Tirik, Jipen, Rudad, hingga pencak silat.
- Perlengkapan sesaji yang disiapkan meliputi Rumah Tiang Tunggal, Rumah Pamedangan, Balai Tujuh, Lancang, 41 jenis wadai (masing-masing tujuh buah), seekor kambing, serta tujuh ekor ayam untuk ditempatkan di tujuh lokasi berbeda.
2. Prosesi Ritual
Pelaksanaan inti ditandai dengan iring-iringan perahu yang membawa sesaji menuju titik-titik sakral di sepanjang Sungai Kumai, yaitu:
- Sungai Nyirih: Rumah Tiang Tunggal
- Sungai Tendang: Lancang
- Sungai Panggung: Lancang dan pemotongan kambing
- Sungai Kapitan: Lancang
- Sungai Sekonyer: Rumah Pamedangan
- Sungai Pasir Panjang: Rumah Balai Tujuh
- Muara Sungai: Pelepasan miniatur perahu
3. Penutup
Setelah seluruh rangkaian selesai, ritual ditutup dengan makan bersama yang diikuti oleh pelaksana adat dan seluruh warga. Momen ini menjadi simbol kebersamaan, syukur, dan pengikat solidaritas masyarakat Bubuhan Kumai.
Nilai-nilai dari Nyanggar dan Babarasih Banua
Tradisi Nyanggar dan Babarasih Banua memiliki kandungan nilai di dalamnya, antara lain sebagai berikut:
1. Nilai Religius
Upacara ini menjadi wujud syukur kepada Allah Swt atas rezeki, terutama dari laut, sekaligus doa tolak bala. Doa, selawat, dan penyembelihan hewan sesuai syariat Islam menegaskan perpaduan adat dan agama, serta penghormatan kepada leluhur.
2. Nilai Sosial
Tradisi ini memperkuat kebersamaan melalui gotong royong, musyawarah, dan silaturahmi. Prosesi seperti berabutan mengingatkan pentingnya berbagi, sementara kehadiran tokoh adat menunjukkan penghormatan pada struktur sosial.
3. Nilai Pendidikan
Ritual menjadi sarana pendidikan moral bagi generasi muda: menghormati orang tua, menjaga alam, dan hidup rukun dengan masyarakat. Mereka juga diajak memanfaatkan teknologi untuk melestarikan dan memperkenalkan budaya leluhur.
4. Nilai Budaya
Upacara ini melestarikan warisan leluhur melalui kesenian tradisional, pantun, dan prosesi simbolis seperti betawakan. Penentuan waktu pelaksanaan yang terkait Ramadan atau ulang tahun daerah menegaskan peran adat sebagai identitas budaya.
Demikian tadi penjelasan tentang tradisi Nyanggar dan Babarasih Banua yang menjadi cerminan harmonis antara adat leluhur dan ajaran Islam yang terus dijaga sebagai warisan budaya.

