Sungai Mahakam dikenal berliku dan alirannya tenang. Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana, yang terletak di tepi sungai kebanggaan warga Kalimantan itu punya tradisi yang telah mengakar.
Tradisi itu bernama Ngalak Air, sebuah ritual yang mengingatkan masyarakatnya untuk tidak melupakan tempatnya pulang. Tradisi tersebut menjadi pengingat bahwa di manapun langkah berada, asal-usul dan akar leluhur tidak boleh dilupakan.
Meski ibukota kerajaan telah lama berpindah ke Tenggarong, Kutai Lama tetap dianggap sebagai tanah asal leluhur. Di sinilah legenda Aji Batara Agung Dewa Sakti dan Putri Karang Melenu bermula, dua sosok yang dipercaya sebagai pasangan raja dan permaisuri pertama Kesultanan Kutai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asal-Usul Tradisi Ngalak Air
Dalam bukunya yang berjudul Menyusur Sungai Mahakam (2001), Siti Maria menceritakan bagaimana tradisi Ngalak Air dilakukan di Tepian Batu, Kutai Lama. Hal ini menjadi bukti bahwa ritual sakral Ngalak Air telah diwariskan dengan lestari hingga kini.
Kutai Lama dikenal sebagai tanah leluhur, titik awal lahirnya Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Di tempat inilah legenda tentang dua tokoh agung bermula.
Menurut kisah turun-temurun, seorang bayi ajaib bernama Aji Batara Agung Dewa Sakti muncul di atas Batu Raga Mas dengan membawa telur ayam di tangan kanan dan keris emas di tangan kiri. Sosok ini diyakini sebagai titisan dewa yang diturunkan dari khayangan.
Tidak lama berselang, dari dasar Sungai Mahakam, seekor naga membawa seorang bayi perempuan yang kemudian dikenal sebagai Putri Karang Melenu, terbaring di atas sebuah gong perunggu. Kedua sosok ini kemudian disatukan menjadi raja dan permaisuri pertama, melahirkan garis bangsawan Kutai yang terus berlanjut hingga kini.
Sejak saat itu, Kutai Lama dianggap tanah sakral, kampung leluhur, dan titik mula kekuasaan. Maka, setiap kali pesta adat Erau digelar di Tenggarong, air dari Kutai Lama harus selalu diambil melalui ritual Ngalak Air.
Air itu menjadi pengingat bahwa meski pusat kerajaan telah berpindah, akar kejayaan tetap bersumber dari tanah lama.
Proses Tradisi Ngalak Air
Ngalak Air biasanya dilaksanakan satu atau dua hari sebelum pendirian Tiang Ayu, yautu tanda dimulainya Erau.
Rombongan perwakilan Kesultanan berangkat menyusuri Sungai Mahakam dengan speedboat, dipimpin seorang belian (pengabdi ritual pria) dan seorang utusan dewa (wanita pengabdi ritual).
Mereka tidak datang dengan tangan kosong. Perlengkapan khusus dibawa sebagai bagian dari prosesi sakral antara lain beras wija kuning, wijen hitam dan dupa, air tepong tawar, arang membara, bunga-bungaan, dan telur ayam.
Benda-benda itu digunakan dalam dua prosesi utama, yaitu besawai (permohonan izin pada penghuni gaib sekaligus pemberitahuan akan dimulainya Erau) dan melaboh tigu (persembahan telur yang melambangkan kesuburan, keseimbangan, serta doa keselamatan).
Perjalanan Ngalak Air tidak langsung menuju Kutai Lama, tetapi melalui sejumlah titik penting di sepanjang sungai Mahakam yang masing-masing punya makna tersendiri. Titik-titik itu adalah ujung utara Pulau Kumala, Loa Gagak (Loa Kulu), Pamerangan (Jembayan), Tepian Aji (Samarinda Seberang), dan Tepian Batu (Kutai Lama).
Di titik terakhir, kapal rombongan berputar tiga kali sebelum melaksanakan ritual besawai dan melaboh tigu. Putaran tiga kali ini melambangkan keselarasan hidup antara tiga alam, antara dunia atas (langit), dunia tengah (manusia), dan dunia bawah (air/bumi).
Barulah setelah itu, air dari Kutai Lama diambil menggunakan guci khusus. Air sakral ini kemudian dibawa ke Tenggarong dan ditempatkan di Ruang Stinggil Keraton, dekat Tiang Ayu. Selama Erau berlangsung, air dalam guci itu ditambahkan setiap hari dengan air Sungai Mahakam dari depan Museum Mulawarman, melalui prosesi ngundang air dan ngalak air tuli.
Makna Filosofis Ngalak Air
Lebih dari sekadar tradisi, Ngalak Air menyimpan sejumlah pesan filosofis yang diwariskan dari generasi ke generasi. Bagi masyarakat Kutai, ritual ini adalah cara untuk terus mengingat asal-usul dan menghormati para leluhur.
Air yang diambil dari Kutai Lama bukanlah air biasa, melainkan simbol yang menghubungkan masa kini dengan jejak awal berdirinya kerajaan.
Selain penghormatan pada leluhur, Ngalak Air juga mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Persembahan berupa telur dan dupa menjadi doa agar hubungan dengan makhluk gaib penghuni sungai tetap harmonis.
Dalam pandangan tradisi lokal, sungai Mahakam bukan hanya digunakan sebagai jalur transportasi atau sumber penghidupan, tetapi juga ruang sakral yang dijaga oleh kekuatan tak kasatmata. Dengan menghaturkan persembahan, manusia diajarkan untuk rendah hati di hadapan alam dan tidak melupakan bahwa kehidupan berlangsung karena adanya keseimbangan.
Tak kalah penting, Ngalak Air menempatkan air sebagai lambang kesucian sekaligus kehidupan. Air yang diambil melalui ritual dianggap membawa berkah, karena air adalah unsur yang menyatukan, membersihkan, dan menghidupkan.
Dalam makna terdalamnya, Ngalak Air menjadi sebuah pesan moral untuk jangan lupa pulang. Pulang di sini bukan hanya tentang kembali secara fisik ke kampung halaman, tetapi juga kembali pada nilai-nilai dasar, kepada asal-usul, dan kepada jati diri yang membentuk identitas masyarakat Kutai Kartanegara.
Kini, Ngalak Air menjadi atraksi budaya yang memikat wisatawan. Taburan bunga di atas Sungai Mahakam, hingga prosesi pengambilan air dengan guci khusus, semuanya menghadirkan suasana magis dan syahdu dari tanah Kalimantan Timur.
Simak Video "Video: Ini Penyebab Kapal Tongkang Sampai Menabrak Kafe di Sungai Mahakam"
[Gambas:Video 20detik]
(aau/aau)