Judulnya Genjer-genjer, sebuah lagu yang sempat dilarang untuk dinyanyikan. Dalam buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 oleh Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri, dijelaskan bahwa selama puluhan tahun, lagu genjer-genjer digambarkan sebagai instrumen ideologis PKI.
Padahal, lagu genjer-genjer merupakan seruan pilu masyarakat kaum jelata saat zaman penjajahan. Mereka hanya mampu menyantap sayur genjer, sayuran liar yang hingga kini masih dikonsumsi bahkan menjadi sayuran khas orang Kalimantan dan pedalaman.
Bagaimana lagu ini bisa menjadi simbol peristiwa berdarah tahun 1965?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lirik dan Sejarah Lagu Genjer-genjer
Lagu Genjer-genjer diciptakan oleh Muhammad Arief, pemuda dari Jawa Timur. Ia menulis lagu tersebut, terinspirasi dari kondisi masyarakat Banyuwangi pada masa pendudukan Jepang.
Lagu ini berfokus pada perjuangan para petani yang terpaksa memakan tanaman genjer, tanaman yang awalnya dianggap hama, demi bertahan hidup. Sejarawan menilai lagu tersebut diciptakan pada tahun 1943.
Arief mengambil inspirasi dari dolanan anak 'Tong Alak Gentak'. Syair yang ditulis dalam bahasa Using, bahasa rakyat Banyuwangi, dimaksudkan untuk menyindir Jepang.
Saat itu penjajahan membuat rakyat menderita sehingga hanya bisa makan genjer, tanaman gulma yang biasa dimakan itik. Berikut liriknya:
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
EmakΓ© thulik teka-teka mbubuti gΓ©njΓ©r
EmakΓ© thulik teka-teka mbubuti gΓ©njΓ©r
Emake jebeng padha tuku nggawa welasah
Genjer-genjer saiki wis arep diolah
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Genjer-gnjer mlebu kendhil wedang gemulak
Setengah mateng dientas ya dienggo iwak
Setengah mateng dientas ya dienggo iwak
Sega sak piring sambel jeruk ring pelanca
Masih dikutip dari buku karya Muhidin dan Rhoma, dalam lagu tersebut bersemayam tradisi rakyat dari respons emosi atas kondisi sosial terbawah. Alat musik pengiring awalnya sederhana, yakni angklung dari Jawa Barat. Angklung saat itu mulai akrab dengan masyarakat Timur di Banyuwangi.
Arief muncul di tahun 1954 ketika Sri Tanjung, organisasi yang bergerak di bidang khusus angklung caruk didirikan. Sri Tanjung pun lebur menjadi Sri Muda (Seni Rakyat Indonesia Pemuda). Lagu-lagu yang dibawakannya, yang paling populer tentu saja Genjer-genjer.
Lagu ini kian menaik popularitasnya sejak 1962, terutama sekali lewat suara penyanyi kondang jaman itu, Lilis Suryani. Hit Genjer-genjer ini pun mengangkat Sri Muda, berkembang pesat dan diterima rakyat.
Dikutip detikFood dari jurnal Ruddy Eppata Cahyono berjudul Genjer-genjer: Fungsi dan Peran (2010), lagu ini sempat dilarang karena genjer punya kaitan erat dengan Gerakan 30 September PKI atau disingkat G30SPKI.
Sang pencipta lagu disinyalir tergabung dalam organisasi politik PKI. Selain itu, lirik pada lagu Genjer-genjer dianggap sebagai sebuah simbol atau bermakna ganda.
Lagu Genjer-genjer sebenarnya murni karya seni. Konon, kepopuleran lagu Genjer-genjer dimanfaatkan PKI untuk alat propaganda masa Demokrasi Terpimpin pada periode 1959-1966.
Dalam rangkuman catatan detikcom, lirik lagu itu diubah, kemudian dinyanyikan di berbagai kampanye. Alhasil, lagu itu seolah-olah milik partai berlambang palu arit.
Saat pemberontakan PKI pecah pada tahun 1965, seluruh unsur partai dihabisi. PKI dinilai makar dan menjadi partai terlarang. Arief ikut kena imbas dan ditangkap aparat penguasa saat itu. Lagu ciptaannya diasosiasikan dengan tewasnya para jenderal TNI.
PKI mengubah lagu ini untuk perayaan HUT mereka di Senayan. Ulah PKI yang mengaransemen lagu ini berimbas buruk pada lagu rakyat Genjer-genjer. Lagu ini seperti haram dinyanyikan sejak Orde Baru. Bila berani menyanyikannya, bisa dicap PKI dan bisa berujung penjara.
Derita sang pencipta lagu Genjer-genjer terus berlarut. Rumah Arief di kawasan Temenggungan, Banyuwangi, dirusak massa. Keluarga tercerai berai.
Menurut informasi dari kerabat, Arif ditahan di LP Kalibaru, kemudian dipindah ke Lowokwaru, Malang. Hingga kini entah di mana.
Dalam penelusuran detikcom tahun 2016, keluarga Arif kemudian pindah dari Banyuwangi dan ingin mengubur masa lalu. Mereka tidak ingin kenangan pahit itu terungkit.
Larangan terhadap lagu tersebut sebetulnya berakhir pada tahun 1998 dengan mundurnya Soeharto dan berakhirnya Orde Baru. Sejak tahun 1998, semakin banyak musisi Indonesia yang mulai membawakan lagu tersebut, meski stigma yang melekat pada lagu tersebut pada masa Orde Baru belum sepenuhnya hilang dari masyarakat Indonesia.
Puluhan tahun telah berlalu, lagu Genjer-genjer yang menurut sejarawan awal penciptaannya tidak ada nuansa ideologi PKI, seolah belum bisa lepas dari cap 'lagu terlarang'. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti pada tahun 2016 bahkan menyebut orang yang menyanyikan lagu Genjer-genjer bisa ditangkap.
"Ya kalau kamu lihat gambar palu arit, apa pikiran kamu? Komunisme kan. Meski gak ada tulisannya. Ya bisa ditangkap, tentu kami akan minta keterangan yang bersangkutan," kata Badrodin di kompleks Istana Kepresidenan, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Rabu (11/5/2016).
Badrodin menjelaskan, tak hanya pemakai atribut bergambar palu arit yang akan ditangkap. Orang yang menyanyikan lagu genjer-genjer pun juga akan ditangkap.
"Ya sama (ditangkap). Nanti kan tinggal minta pandangan para ahli apakah menyanyi seperti itu (genjer-genjer) juga menyebarkan paham komunisme atau tidak. Itu sangat tergantung penafsiran penyidik dan ahli," tegas Badrodin.
"Yang dilarang kan menyebarkan atau mengembangkan faham komunisme, marxisme, dan leninisme," imbuhnya.
Genjer adalah Sayur Andalan Masyarakat Kalimantan
Dirangkum dari buku Kitab Tumbuhan Obat oleh Syamsul Hidayat, Rodame Monitorir Napitupulu dan Panduan Praktis Mengenal Tumbuhan di Sekitar Kita oleh Deniek G Sukarya, Genjer (Limnocharis flava) adalah salah satu jenis tumbuhan yang hidup di tanah berair seperti di rawa, empang, atau sawah.
Genjer dikenal sebagai sejenis tanaman paku, tapi beberapa literatur menyebut dua tanaman ini berbeda. Biasanya genjer banyak dijumpai bersama dengan eceng gondok.
Namun, genjer tidak mengapung di atas air. Tumbuhan tersebut tertanam di dalam genangan lumpur dan daunnya berbentuk tegak.
Genjer pernah dianggap sebagai makanan simbol orang miskin. Pada zaman pendudukan Jepang (1942-1945) ketika krisis pangan terjadi, genjer jadi alternatif bahan makanan.
Disebut sebagai makanan 'wong cilik' atau orang miskin karena berdasarkan sejarahnya, genjer dipilih jadi makanan oleh masyarakat Indonesia karena mereka tidak mampu membeli sayuran atau daging untuk bahan makanan.
Kebijakan Jepang sangat menyengsarakan masyarakat Indonesia. Saking sengsaranya, masyarakat Indonesia sulit mendapat makanan. Hingga akhirnya mereka menjadikan tanaman genjer sebagai bahan makanan.
Selain itu, genjer juga sebenarnya merupakan pakan ternak. Dulu banyak yang memiliki hewan ternak, seperti sapi, kambing atau domba yang diberikan tanaman genjer.
Sayur genjer sampai kini masih jadi salah satu sajian sederhana yang begitu lekat dengan kehidupan masyarakat Kalimantan. Hidangan ini terbuat dari tanaman genjer yang tumbuh subur di rawa-rawa dan sawah.
Tumbuhan liar ini dapat disulap masyarakat Suku Dayak menjadi olahan sayur yang sederhana namun sehat dan sedap. Ketika diolah dengan bumbu rempah, sayur genjer kerap hadir di meja makan sebagai pendamping lauk yang murah meriah.
Bagian dari daun genjer lah yang bisa diolah menjadi makanan dengan cara ditumis, diurap, atau sebagai campuran lauk. Tanaman yang satu ini memang tersohor sebagai tanaman pengganggu, tapi nyatanya bisa diolah menjadi hidangan dengan cara ditumis.
Umumnya masyarakat Indonesia mengolah sayur genjer menjadi tumisan. Rasanya sedikit pahit dan teksturnya keras. Beberapa orang memasak genjer dengan direbus dan dicampur asam Jawa dulu untuk menghilangkan rasa pahitnya.
Selain daunnya, bunga genjer pun sangat enak diolah menjadi lauk. Bagian daun genjer biasanya dipilih daun yang muda, sedangkan untuk bunganya dengan kuncup bulat sedikit panjang di ujungnya juga diambil yang belum mekar.