Sebelum peristiwa 30 September 1965 bergejolak, keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah dilarang di Kalimantan Selatan (Kalsel). Perwira TNI bernama Hasan Basry adalah sosok di balik gerakan ini.
Peristiwa ini menarik karena Soekarno tengah menggagas Nasakom, sehingga tindakan Hasan bisa dianggap sebagai pembangkangan. Simak kisahnya dalam artikel ini.
Siapa Hasan Basry?
Dikutip dari jurnal Universitas Lambung Mangkurat (ULM) berjudul Menumbuhkan Sikap Nasionalisme Melalui Perjuangan Brigjend Hasan Basry Sebagai Sumber Belajar IPS, Hasan Basry lahir di Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, pada 1923.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia termasuk golongan terpelajar karena berkesempatan menempuh pendidikan dasar di Holland Inlandsche School, lalu melanjutkan ke Tsanawiyah Al-Wathoniyah Kandangan.
Dia juga sempat belajar di Pondok Modern Gontor, Ponorogo, dan sempat menjadi guru agama di SMP Islam Malang. Namun, ketika mendengar bahwa Kalimantan mulai bergolak, ia memutuskan kembali ke tanah Banua pada 30 Oktober 1945.
Hasan Basry pun menghimpun pemuda dan membentuk Laskar Syaifullah pada November 1945. Ini adalah tonggak awal kiprahnya sebagai pemimpin gerilya.
Pada pertengahan 1946, setelah Laskar Syaifullah dibubarkan oleh Belanda, ia membentuk organisasi rahasia bernama ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan pada 18 November 1946. Dalam struktur ini, Hasan Basry menjabat sebagai Komandan Divisi berpangkat Mayor.
Puncak perjuangannya terjadi pada 17 Mei 1949, ketika ia memproklamasikan Kalimantan Selatan sebagai bagian dari Republik Indonesia melalui Proklamasi 17 Mei. Dalam dokumen tersebut, ia menandatangani sebagai "Gubernur Tentara", menegaskan otoritas militer lokal yang menolak dominasi Belanda.
Setelahnya, Hasan Basry melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar dan American University di Kairo (1951-1955). Sepulang dari Mesir, ia kembali aktif di militer dan pendidikan.
Dia dilantik sebagai Komandan Teritorial Kalimantan Selatan pada tahun 1956, dan pada 1959 diangkat sebagai Panglima Daerah Militer X/Lambung Mangkurat berpangkat Kolonel.
Tidak hanya sebagai pejuang, Hasan juga berperan besar dalam pendidikan di tanah Banua. Dia menggagas lahirnya Universitas Lambung Mangkurat (ULM) di Banjarmasin pada tahun 1958.
Ia wafat pada 15 Juli 1984 dan dimakamkan secara militer di Banjarbaru. Pangkat terakhirnya adalah Brigadir Jenderal TNI. Hasan Basry dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden No 110/TK/2001 dan dikenal sebagai "Bapak Gerilya Kalimantan".
Melarang PKI Sejak 1960
Salah satu kebijakan Hasan Basry selama memimpin militer adalah melarang aktivitas PKI dan organisasi massanya di Kalimantan Selatan sejak 22 Agustus 1960. Sejumlah masalah sosial-politik daerah menjadi latar belakangnya.
Salah satunya, terjadi ketegangan nyata antara PKI dengan kalangan ulama dan masyarakat Banjar dalam insiden di Amuntai, di mana seorang tokoh agama diserang oleh simpatisan PKI. Hasan Basry yang dekat dengan basis Islam Banjar, menganggapnya sebagai ancaman serius terhadap harmoni sosial.
Hasan Basry juga melihat PKI sebagai kekuatan politik yang berpotensi mengganggu stabilitas daerah, karena berbeda ideologi dengan nilai-nilai lokal dan agama. Dia menilai Kalsel baru saja pulih dari pergolakan, sehingga ia tidak ingin keadaan menjadi keruh lagi.
Secara pribadi Hasan Basry juga menolak gagasan Bung Karno terkait Nasakom. Ia menilai bahwa menyatukan nasionalis, agama, dan komunis dalam satu wadah politik adalah kontradiksi yang berbahaya.
Tindakan Hasan Basry yang berseberangan dengan garis politik Soekarno, membuatnya mendapat teguran keras dari presiden. Keberanian ini menjadikan Kalimantan Selatan salah satu daerah pertama yang secara resmi menolak PKI.
Namun sebenarnya tidak hanya Hasan Basry yang memiliki pandangan serupa. Dalam jurnal Mulyer Mananda Setyahadi berjudul Analisis Konflik Politik Elite TNI Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), pimpinan TNI AD di pusat pun tidak setuju dengan komunis, salah satunya Jenderal AH Nasution.
Bahkan jabatan AH Nasution sebagai Kepala Staf TNI AD digantikan dengan Letjen Ahmad Yani. Sementara AH Nasution ditugaskan sebagai Menteri Pertahanan yang lebih bersifat administratif.
Ahmad Yani pun sebetulnya sama-sama antikomunis, namun dia tidak cepat mengkritik kebijakan Soekarno. Dia menilai kedekatan Soekarno dengan PKI hanya kepentingan politik yang bertujuan meningkatkan popularitas Soekarno.
Peristiwa Tiga Selatan dan Kemarahan Soekarno
Rupanya tindakan Hasan Basry juga diikuti daerah lain. Dua panglima daerah lain, yakni di Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan, juga mengambil langkah serupa.
Gerakan kolektif ini kemudian dikenal sebagai Peristiwa Tiga Selatan. Dengan melarang PKI, Hasan Basry dianggap membangkang langsung terhadap garis politik Presiden.
Dalam jurnal Biografi Brigjen (Purn) H. Hasan Basry oleh Muhammad Ihsan dari ULM, kemarahan Soekarno tampak dalam bentuk teguran resmi kepada Hasan Basry. Teguran ini bukan sekadar administratif, melainkan juga peringatan politik bahwa seorang panglima daerah tidak boleh melawan kehendak Presiden.
Munculnya sikap antikomunis di berbagai daerah dan berbagai sektor pun disentil Soekarno dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1962 berjudul Tahun Kemenangan (Takem). Dia menyebutnya sebagai penyakit Komunisto-phobi atau kiri-phobi.
Saat G30S/PKI Meletus
Menjelang peristiwa G30S/PKI, Hasan Basry menempati posisi penting dalam konstelasi politik nasional. Sebagai Pangdam X Lambung Mangkurat, ia berhasil menjaga Kalimantan Selatan relatif steril dari pengaruh PKI.
Memang setelah Peristiwa Tiga Selatan, hubungan sipil-militer di daerah semakin tegang. Namun, keputusan Hasan Basry untuk tetap melarang PKI membuat Kalimantan Selatan relatif aman ketika G30S/PKI meletus pada 30 September 1965.
Basis PKI di daerah ini sudah lemah sejak awal dekade 1960, sehingga tidak terjadi eskalasi kekerasan sebesar di Jawa atau Bali. Aksi mahasiswa dan masyarakat yang menuntut pembubaran PKI pasca-1965 pun berlangsung lebih terkendali.
Dalam Elite Muslim Banjar di Tingkat Nasional oleh Rahmadi dkk, Hasan Basry ditempatkan sejajar dengan tokoh nasional lain seperti Idham Chalid dan Djohan Effendi, meski perannya lebih menonjol di bidang militer.
Ia menjadi representasi elite daerah yang menolak PKI, sekaligus bagian dari dinamika internal Angkatan Darat yang semakin keras menentang dominasi politik Soekarno.
Kini nama Hasan Basry selalu dikenang oleh masyarakat Kalimantan Selatan. Selain sebagai pahlawan, Hasan Basry juga diabadikan sebagai nama jalan di Banjarmasin dan Hulu Sungai Selatan.
Sumber:
- Muhammad Ihsan. Biografi Brigjen (Purn) H. Hasan Basry. Universitas Lambung Mangkurat
- Muhammad Nur Hidayat, dkk. (2024). Menumbuhkan Sikap Nasionalisme Melalui Perjuangan Brigjend Hasan Basry Sebagai Sumber Belajar IPS. Universitas Lambung Mangkurat
- Mulyer Mananda Setyahadi. (2018). Analisis Konflik Politik Elite TNI pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Universitas Pamulang
- Rahmadi, Abd. Rahman Jaferi, Ahmad. (2013). Elite Muslim Banjar di Tingkat Nasional: Perjalanan Hidup dan Kiprah Hasan Basri, Idham Chalid dan Djohan Effendi Era Orde Lama dan Orde Baru (1950-1998). IAIN Antasari Press
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (1996). Sejarah Surat Perintah 11 Maret. Jakarta: Kemendikbud