Suku Dayak Ngaju yang banyak berdiam di Kalimantan Tengah memelihara sebuah tradisi sakral, yaitu ritual Tiwah. Ritual ini memadukan spiritualitas, seni, dan solidaritas sosial.
Upacara ini bukan sekadar prosesi kematian, melainkan puncak penghormatan terakhir kepada leluhur. Simak sejarah, makna, tata cara, dan perkembangannya di masa kini.
Sejarah dan Asal-usul Tiwah
Ritual Tiwah diyakini sudah ada sejak masa lalu yang berakar pada kepercayaan Kaharingan, agama asli masyarakat Dayak sebelum masuknya Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nenek moyang penganut Kaharingan melakukan tiwah untuk keluarga yang meninggal. Tujuannya mereka ingin menyucikan arwah kerabat agar mencapai kesempurnaan di Lewu Tatau, yaitu alam baka yang damai atau bisa dikatakan surga.
Dahulu tiwah dilaksanakan oleh satu keluarga secara mandiri, namun kini sering dilakukan secara massal oleh beberapa keluarga sekaligus, bahkan difasilitasi pemerintah daerah sebagai bagian dari pelestarian budaya dan daya tarik wisata.
Tradisi budaya ini mulai diakui publik sejak 1994. Kemudian pada 2014 semakin dipromosikan sebagai atraksi budaya oleh pemerintah.
Tata Cara Ritual Tiwah
Pelaksanaan ritual tiwah biasanya dilakukan setelah panen padi, saat masyarakat memiliki cukup bahan pangan dan waktu luang. Lama pelaksanaan tiwah bervariasi, tergantung skala dan jumlah keluarga yang terlibat. Ada yang 3 hari, 4 hari, 7 hari, bahkan 40 hari.
Untuk memahami ritual tiwah, ada beberapa hal yang diperhatikan, seperti perlengkapan, pantangan atau pali, dan urutan pelaksanaan.
Perlengkapan Utama
- Sapundu: tiang kayu ulin berukir untuk mengikat hewan kurban.
- Sangkaraya: susunan bambu di depan balai tiwah sebagai tanda pelaksanaan.
- Pasah tali: wadah sesaji (nasi ketan, kue cucur, lemang, kopi, teh).
- Hewan kurban: ayam, babi, sapi, atau kerbau.
- Kain putih: pembungkus tulang belulang sebelum ditempatkan di sandung (rumah tulang).
Pantangan (Pali)
Ada pantangan yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan tiwah. Pelanggaran pali dikenai denda adat (singer adat), yakni mengganti dua kali biaya tiwah.
- Pali makanan: dilarang mengonsumsi sayuran tertentu (rebung, jamur, pakis), hewan (kancil, kijang, rusa, babi hutan), dan ikan tertentu (jelawat, arwana, gabus, udang sungai) selama prosesi.
- Pali perilaku: dilarang bertengkar, mabuk, membawa senjata tanpa izin adat, mencuri, atau melakukan kawin lari ke lokasi tiwah.
Urutan Tata Cara Tiwah
Karena durasi tiwah berbeda-beda, maka tata caranya mungkin agak sedikit berbeda. Berikut ini urutan tiwah yang dilaksanakan selama 7 hari.
Hari 1: Persiapan dan Pendirian Balai Tiwah
Pada hari pertama, keluarga dan panitia adat berkumpul untuk memutuskan jadwal, jumlah liau (arwah) yang akan ditihwahkan, dan pembagian tugas. Kemudian mendirikan balai pangun jandau (balai sementara untuk prosesi) dan pemasangan sangkaraya sebagai tanda resmi dimulainya tiwah.
Dilakukan juga penyiapan sapundu (tiang pengikat hewan kurban) dari kayu ulin, diukir dengan motif pelindung. Peralatan ritual seperti pasah tali (wadah sesaji), kain putih, dan perlengkapan musik tradisional (gong, gendang) juga disiapkan.
Hari 2: Tawur dan Pemberitahuan kepada Roh
Hari kedua, Basir atau pemimpin ritual memimpin doa dan mantra untuk memanggil roh leluhur dan memberitahu bahwa tiwah akan dilaksanakan.
Bunyi gong dan gendang dibunyikan berulang sebagai sinyal kepada masyarakat dan dunia roh. Hewan kurban mulai diikat di sapundu sebagai simbol kesiapan persembahan.
Hari 3: Manganjan dan Penyembelihan Hewan
Dilakukan tarian manganjan oleh penari adat mengelilingi sapundu, diiringi musik tradisional. Kemudian hewan kurban (ayam, babi, kerbau/sapi) disembelih dengan tata cara adat, darahnya dipercikkan sebagai penyucian. Daging hewan lalu dibagi untuk dimakan bersama, dan sebagian untuk sesaji.
Hari 4: Pengambilan Tulang Belulang
Hari keempat, rombongan keluarga menuju makam untuk mengambil tulang belulang kerabat yang telah meninggal. Tulang dibersihkan, dibungkus kain putih, dan dibawa kembali ke balai tiwah dengan prosesi khusus.
Hari 5: Penyucian dan Penyimpanan Sementara
Tulang belulang disimpan di balai tiwah selama semalam, diiringi doa dan mantra oleh basir. Keluarga dan tamu melakukan jamuan adat, makan bersama, dan pertunjukan seni tradisional.
Dalam prosesi ini, pantangan tetap berlaku ketat, termasuk larangan makanan tertentu dan perilaku yang dianggap mencemari kesucian.
Hari 6: Puncak Ritual
Pada puncaknya, dibacakan doa penyempurnaan ruh, memohon agar arwah diterima di Lewu Tatau. Ini juga sebagai prosesi simbolis "pemutusan ikatan kematian" (memutus rutas matei) dilakukan oleh basir.
Karena ruh dianggap sudah mencapai kesempurnaan, maka keluarga bersuka cita. Pesta adat besar pun digelar.
Hari 7: Penempatan di Sandung dan Penutup
Tulang belulang kemudian dibawa ke sandung (rumah tulang) atau pantar (tempat penyimpanan tulang di tiang tinggi). Penempatan dilakukan dengan doa terakhir, diiringi tarian dan musik.
Tiwah pun ditutup secara resmi, diikuti pelepasan pantangan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak.
Nilai-nilai dan Makna Filosofis
Ritual tiwah sarat nilai-nilai dan makna filosofis, antara lain sebagai berikut:
- Nilai spiritual: Mengantarkan arwah melewati cobaan di alam baka hingga tiba di Lewu Tatau, bersatu dengan Ranying Hatalla (Tuhan).
- Nilai sosial: Mempererat ikatan kekeluargaan, gotong royong, dan toleransi antarumat beragama. Warga non-Kaharingan pun kerap membantu pelaksanaan.
- Nilai budaya: Menjaga kesinambungan adat, simbol-simbol sakral seperti sapundu, sangkaraya, dan bahalai menjadi penanda identitas Dayak Ngaju.
- Nilai moral: Mengajarkan saling menghormati, menghindari konflik, dan mematuhi pantangan (pali) demi menjaga kesucian prosesi.
Ritual Tiwah di Masa Kini
Di era modern, ritual tiwah tetap menjadi bagian penting kehidupan masyarakat Dayak Ngaju, namun bentuk pelaksanaannya telah beradaptasi dengan konteks sosial, ekonomi, dan pariwisata.
Kini pelaksanaan tiwah semakin umum dilakukan secara massal untuk meringankan beban biaya keluarga. Pemerintah daerah, tokoh adat, dan komunitas Kaharingan sering berkolaborasi dalam penyelenggaraannya, dan memasukkannya sebagai event pariwisata berkala.
Sumber:
- Himmah: Jurnal Kajian Islam Kontemporer. Komodifikasi Ritual Tiwah Suku Dayak Ngaju Kabupaten Kotawaringin Timur. - Universitas Nasional.
- Triwikrama: Jurnal Multidisiplin Ilmu Sosial. Ritual Tiwah sebagai Warisan Budaya dan Kearifan Lokal pada Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. - Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
- Jurnal Anterior. Penerapan Pali dalam Ritual Tiwah Dayak Ngaju. - Universitas PGRI Palangka Raya.
- Repositori Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Tiwah: Upacara Kematian pada Masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah.