Kalimantan Barat memiliki warisan budaya yang masih terawat hingga kini, yaitu bidai. Tikar anyaman ini bukan sekadar produk kerajinan, namun juga simbol filosofi, identitas, dan kearifan lokal masyarakat Dayak.
Dikutip dari situs Kemdikbud, bidai juga disebut bide' yang terbuat dari rotan kecil dan kulit kayu. Anyamannya menggunakan bahan alam hingga membuatnya kuat atau tahan lama, sekalipun sering terkena air dan panas matahari.
Mau tahu lebih lengkap mengenai kerajinan bidai? Simak penjelasan berikut ini, mulai dari fungsi dan perkembangannya, bahan-bahan, cara membuat, hingga makna filosofis dan simbolisnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fungsi dan Perkembangan Tikar Bidai
Dirangkum dari penelitian berjudul Kerajinan Anyaman Tikar Bidai Di Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Kalimantan Barat oleh Fransiska Ria dari UNY, bidai ini memiliki tiga fungsi:
1. Perlengkapan Rumah
Secara umum, bidai digunakan sebagai alas duduk, alas tidur, dan perlengkapan rumah tangga sehari-hari. Pada masa lalu, bidai juga banyak digunakan untuk menjemur hasil panen.
2. Keperluan Adat
Dalam konteks sosial dan adat, bidai juga berfungsi penting. Misalnya dalam upacara naik dango, musyawarah adat, maupun pertemuan lintas suku, bidai menjadi simbol pemersatu.
Tikar ini digelar sebagai tempat duduk bersama, menciptakan ruang yang setara bagi semua peserta, tanpa memandang status atau latar belakang.
Bidai juga digunakan dalam ritual penyambutan tamu, sebagai bentuk penghormatan dan penerimaan.
3. Karya Seni
Seiring waktu, fungsi bidai meluas hingga menjadi produk seni dekoratif sekaligus komoditas ekonomi. Banyak perajin yang memodifikasi ukuran dan motif bidai sesuai selera pasar modern.
Bidai bisa dijadikan hiasan dinding, bahan tas, hingga alas sajadah. Tak hanya dijual untuk wisatawan, bidai juga menjadi produk yang diekspor ke Malaysia dan Eropa.
Cara Membuat Tikar Bidai
Tahap pembuatan tikar bidai dimulai dari persiapan bahan hingga penguatan struktur. Berikut penjelasannya:
1. Menyiapkan Bahan dan Peralatan
Bahan dan peralatan yang dibutuhkan di antaranya sebagai berikut:
- Rotan, bisa berjenis saga, lahoa, bulu mata, dan bulu padi.
- Kulit kayu tarap (pantongan) yang diambil dari bagian dalam pohon tarap.
- Beberapa peralatan seperti parang, pisau kecil, palu kayu, penjepit, meteran, dan kayu pengukur.
2. Pengolahan Rotan
Pengambilan rotan dilakukan dengan cara memotong sekitar 15 cm dari akar. Ini dilakukan agar tanaman tetap dapat tumbuh kembali, sebagai praktik yang berkelanjutan.
Rotan yang terkumpul lalu direndam selama satu minggu untuk melenturkannya. Proses ini dilanjutkan dengan pengikisan kulit luar, pembelahan menjadi bilah kecil selebar sekitar 0,5 cm, penjemuran, dan perautan agar permukaannya halus dan siap dianyam.
3. Pengolahan Kulit Kayu Tarap
Kulit kayu tarap, atau pantongan, diambil dari bagian dalam pohon tarap yang memiliki tekstur lentur dan kuat. Setelah dipisahkan dari lapisan luar, kulit kayu dipukul menggunakan palu kayu agar menjadi lebih fleksibel dan menyerupai lembaran kain kasar.
Selanjutnya, kulit tersebut dikeringkan, dilipat, dan dibelah menjadi helai-helai selebar sekitar 2 cm. Helai kulit kayu ini berfungsi sebagai dasar anyaman dan pengikat antar bilah rotan dalam struktur tikar bidai.
4. Proses Penganyaman
Kemudian barulah mulai proses menganyam secara manual dengan teknik satu langkah, di mana bilah rotan disusupkan di antara galah-galah (lusi) yang telah dijepit dan ditahan agar tidak bergeser.
Rotan dianyam dari arah kiri ke kanan, diselingi dengan helai kulit kayu untuk membentuk motif geometris yang khas. Proses ini membutuhkan ketelitian dan kesabaran tinggi.
Setiap helai harus diposisikan dengan presisi agar menghasilkan pola yang rapi dan simetris. Motif yang dihasilkan biasanya berupa garis lurus, kotak-kotak, atau pola horizontal, tergantung kreativitas pengrajin.
![]() |
5. Finishing dan Penguatan Struktur
Setelah dianyam, lanjut pada tahap finishing untuk memperkuat dan memperindah hasil akhir. Teknik 'nepo' digunakan untuk menambahkan helai kulit kayu di bagian depan dan belakang tikar.
Kemudian, proses 'ngalape' dilakukan dengan menganyam kulit kayu di antara bilah rotan agar struktur lebih kokoh dan tidak mudah lepas. Terakhir, tahap 'ngalalitn' mengikat seluruh anyaman menggunakan tali dari kulit kayu, memastikan kekuatan dan kerapian produk.
Tikar kemudian dibalik, bagian yang tidak terpakai dipotong, dan hasil akhir diperiksa sebelum digunakan atau dijual.
Makna Simbolis dan Filosofis Bidai
Bidai memiliki makna simbolis dan filosofis, baik dari bahan, motif, maupun prosesnya:
- Rotan dan kulit kayu yang digunakan melambangkan kedekatan masyarakat Dayak dengan alam.
- Warna alami yang dihasilkan dari proses pewarnaan tradisional, seperti proses rendaman lumpur dan rebusan daun mencerminkan kejujuran, kesucian, dan kemuliaan.
- Motif anyaman geometris yang teliti menyimbolkan keteraturan, kesabaran, dan ketekunan.
- Proses pembuatannya yang panjang dan manual menyimbolkan perjalanan hidup yang penuh tantangan namun bermakna.
- Dalam konteks sosial, bidai adalah lambang persatuan. Satu helai rotan tidak akan berarti tanpa ikatan dengan helai lainnya, sebagaimana satu individu tidak berarti tanpa komunitasnya.
- Secara filosofis, bidai mengajarkan nilai kesederhanaan, kerja sama, dan penghormatan terhadap tradisi. Ia menjadi ruang duduk yang menyetarakan, tempat berbagi cerita, dan wadah refleksi spiritual.