Bagaimana Sistem Ekonomi Indonesia Sebelum Kemerdekaan?

Bagaimana Sistem Ekonomi Indonesia Sebelum Kemerdekaan?

Bayu Ardi Isnanto - detikKalimantan
Kamis, 14 Agu 2025 05:02 WIB
Ilustrasi persawahan
Ilustrasi perekonomian agraris. Foto: dok. Kementan
Balikpapan -

Sistem ekonomi Indonesia terus berubah seiring waktu sejak sebelum era kemerdekaan. Perubahan terjadi karena dinamika sosial, politik, hingga budaya bangsa.

Dalam artikel ini akan kita ulas bagaimana sistem ekonomi Indonesia sebelum kemerdekaan, mulai dari masa kerajaan, kedatangan Belanda, hingga pendudukan Jepang.

Sistem Ekonomi Kerajaan Nusantara

Dikutip dari buku Sejarah Perekonomian Indonesia oleh RZ Leirissa, dkk, sistem ekonomi di masa kerajaan juga berubah-ubah sejak masa Kerajaan Kutai, kemudian masa kejayaan Sriwijaya, hingga Majapahit.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masa Awal Nusantara

Sejarah Indonesia mulai tercatat sejak berdirinya kerajaan Kutai dan Tarumanegara. Kerajaan ini memiliki hubungan dagang dengan India dan Tiongkok melalui jalur darat dan laut.

Ada dua jalur utama perdagangan, yaitu jalur sutra yang menghubungkan Tiongkok, Asia Tengah, dan Eropa, serta jalur laut yang melintasi Selat Malaka menuju India dan Timur Tengah.

Perdagangan laut berkembang pesat sejak abad pertama Masehi, dengan komoditas seperti rempah-rempah dan kapur barus dari Indonesia mencapai India dan Kekaisaran Romawi.

Jenis pedagang terbagi menjadi dua golongan, yaitu finansir kaya dan saudagar keliling. Mereka mengambil keuntungan sangat tinggi karena harus memperhitungkan lamanya waktu tempuh dan biaya pengangkutan.

Masa Sriwijaya sebagai Pusat Maritim

Kerajaan Sriwijaya kemudian muncul sebagai kekuatan maritim dominan yang menguasai jalur perdagangan internasional di Selat Malaka. Dengan strategi monopoli pelabuhan dan paksaan menimbun barang, Sriwijaya memperluas kekuasaannya hingga Jambi, Lampung, Semenanjung Malaka, dan bahkan Sailan.

Raja Sriwijaya memiliki kapal sendiri dan memperoleh kekayaan dari perdagangan, pajak, dan pembajakan laut. Sebagai pusat perdagangan, Sriwijaya menarik pedagang dari Persia, Arab, dan Cina. Barang-barang seperti tekstil, rempah-rempah, dan logam mulia diperdagangkan secara luas. Kapitalisme politik Sriwijaya menempatkan raja sebagai aktor utama dalam ekonomi.

Masa Kejayaan Majapahit

Di Jawa, muncul sejumlah kerajaan dengan struktur atau sistem ekonomi yang berbeda di Sriwijaya. Misalnya Singasari hingga terakhir ada Majapahit, mereka berfokus pada pertanian dan ekonomi desa.

Meskipun perdagangan laut berkembang, kekuasaan mereka berakar pada sistem agraris. Setelah serangan kerajaan Cola dan kemunduran Sriwijaya, Singasari melalui ekspedisi Pamalayu memperluas pengaruhnya ke Sumatera.

Majapahit kemudian menggantikan Sriwijaya sebagai kekuatan dominan, dengan struktur pemerintahan yang lengkap dan wilayah kekuasaan luas. Di bawah Hayam Wuruk, Majapahit mencapai puncak kejayaan, menguasai perdagangan Nusantara dan menjalin hubungan dengan kota-kota dagang seperti Samudra Pasai dan Malaka.

Sistem Ekonomi Kolonialisme Belanda

Pada awalnya, kedatangan Belanda dianggap membawa harapan baru bagi masyarakat Indonesia. Namun, harapan itu pupus ketika Gubernur Jenderal Johannes Van den Bosch menerapkan kebijakan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa pada tahun 1830.

Kebijakan tersebut hanya menguntungkan Belanda, sementara para petani lokal semakin menderita karena dipaksa menyerahkan tanah mereka untuk menanam komoditas ekspor.

Cultuurstelsel menjadikan Jawa sebagai pusat ekspor hasil pertanian seperti kopi, gula, teh, tembakau, lada, dan kayu manis. Petani yang tidak memiliki tanah diwajibkan bekerja tanpa upah di perkebunan negara selama 66 hari per tahun. Selain itu, mereka juga harus mengelola hasil panen dan pabrik milik Belanda, dengan bayaran yang bergantung pada fluktuasi harga pasar.

Sistem tanam paksa ini berlangsung sampai puluhan tahun dan menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia. Baru pada tahun 1870, kebijakan ini dihentikan oleh Menteri Jajahan Belanda, Engelbertus de Waal, yang menilai bahwa cultuurstelsel merugikan masyarakat lokal dan tidak adil secara moral maupun ekonomi.

Ekonomi Perang Era Jepang

Di masa Jepang, waktu penjajahan 3,5 tahun tersebut menjadi masa yang sangat suram bagi Indonesia. Hal ini tergambar dalam buku Sejarah Kelas XI: Kehidupan Bangsa Indonesia pada Zaman Pendudukan Jepang yang disusun Irma Samrotul Fuadah.

Jepang menerapkan sistem ekonomi perang yang bertujuan mendukung Perang Asia Timur Raya. Jepang menguasai sumber daya alam dan bahan mentah, menyita hasil perkebunan, pabrik, bank, serta perusahaan penting.

Kebijakan yang berfokus pada industri perang menyebabkan lahan pertanian terbengkalai, produksi pangan menurun, dan rakyat mengalami kelaparan serta kemiskinan yang parah.

Pengawasan ekonomi dilakukan secara ketat dengan sanksi berat bagi yang melanggar. Jepang memonopoli penjualan komoditas seperti teh, kopi, karet, dan gula, serta membatasi tanaman yang tidak mendukung kebutuhan perang.

Masyarakat diwajibkan menanam padi, jarak, dan kapas. Sistem autarki diterapkan, memaksa daerah memenuhi kebutuhan sendiri demi kepentingan militer, yang semakin menyengsarakan rakyat secara fisik dan material.

Pada tahun 1944, kondisi militer Jepang memburuk, sehingga rakyat dibebani kampanye penyerahan bahan pangan melalui organisasi seperti Jawa Hokokai dan Nagyo Kumiai. Rakyat harus menyerahkan 60% hasil panen, menyebabkan kekurangan pangan, gizi buruk, dan wabah penyakit.

Untuk bertahan hidup, masyarakat terpaksa mengonsumsi bahan-bahan alternatif seperti keladi gatal dan batang pohon. Bahkan, kondisi sandang memburuk, dengan pakaian dari karung goni atau lembaran karet yang menimbulkan penyakit kulit.

Setelah merdeka pun, sistem ekonomi Indonesia masih berganti-ganti. Hingga kini sistem ekonomi yang dianut adalah Ekonomi Pancasila, yakni campuran dari ekonomi pasar dan terpusat dengan tetap berlandaskan asas Pancasila.




(bai/bai)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads