Kata Sosiolog soal Meningkatnya Angka Istri Gugat Cerai Suami di Kalteng

Ayuningtias Puji Lestari - detikKalimantan
Senin, 24 Nov 2025 08:01 WIB
Ilustrasi perceraian. Ilustrator: Edi Wahyono
Palangka Raya -

Jumlah istri yang mengajukan gugatan cerai di Kalimantan Tengah (Kalteng) meningkat dari tahun 2023 ke 2024. Data laporan yang diterima Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya pada tahun 2023 menunjukan sebanyak 2.896 istri ajukan cerai gugat.

Sementara pihak suami yang mengajukan cerai talak berjumlah 871 pengajuan. Data tersebut meningkat pada tahun 2024, sebanyak 3.045 istri ajukan cerai, artinya ada peningkatan sebanyak 149 pengajuan. Sementara pihak suami justru menurun 2 angka, yakni 869 pengajuan.

Dosen Sosiologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Palangka Raya (UPR), Yuliana, menerangkan pandangannya atas fenomena tersebut. Menurutnya meningkatnya jumlah istri yang mengajukan perceraian tidak hanya dilihat sebagai persoalan konflik rumah tangga, tetapi menunjukan adanya pergeseran nilai-nilai dalam berumah tangga.

"Fenomena ini sering terlihat sebagai kenaikan angka gugatan cerai, tetapi jika dibaca dengan kacamata Sosiologi Kritis, kenyataannya jauh lebih kompleks. Angka tersebut bukan hanya mencerminkan konflik rumah tangga, tetapi pergeseran struktur sosial, budaya, dan nilai relasi keluarga di Kalimantan Tengah," ujarnya kepada detikKalimantan, Minggu (23/11/2025).

Yuliana melanjutkan, banyaknya pihak istri yang mengajukan perceraian bukanlah perkara siapa yang lebih unggul dan berkuasa, baik istri maupun suami. Namun, fenomena itu menunjukan bahwa perempuan atau istri menginginkan hubungan yang jauh lebih aman, sehat dan relasi yang setara.

"Meningkatnya gugatan cerai oleh perempuan bukan berarti perempuan mengambil alih posisi, tetapi menandakan bahwa nilai keluarga sedang bergeser dari 'harmoni semu' menuju hubungan yang benar-benar aman, setara, dan sehat," imbuhnya.

Selain itu, Yuliana juga memberi catatan bagi masyarakat sekaligus pemangku kebijakan. Menurutnya, perempuan masa kini mulai banyak yang menyadari hak-haknya sebagai istri maupun sebagai manusia.

Di sisi lain, tingginya permintaan perceraian dari salah satu pihak, khususnya istri menjadi indikasi masih lemahnya dukungan sosial dan kehadiran negara dalam merespon dinamika rumah tangga di masyarakat.

"Ini adalah perkembangan yang dari satu sisi positif, karena menunjukkan meningkatnya kesadaran hak dan nilai kesehatan mental. Namun dari sisi lain, ini juga sinyal bahwa dukungan sosial terhadap keluarga masih lemah, baik dalam bentuk konseling, mediasi, maupun jaringan perlindungan bagi perempuan dan laki-laki yang sedang mengalami krisis rumah tangga," tutur Yuliana.

Tantangan untuk Ekonomi Kelas Bawah Lebih Berat

Yuliana melihat, istri yang mengajukan perceraian memiliki tantangan berbeda secara ekonomi. Istri dari kelas ekonomi ke bawah rentan mengalami kesulitan ekonomi usai bercerai.

"Ketika fenomena ini terjadi pada kelas ekonomi bawah, tantangannya lebih berat. Khususnya perempuan dari kelompok ini berisiko mengalami kerentanan ekonomi pascacerai, sementara laki-laki juga berada dalam tekanan ekonomi dan sosial yang tidak kecil," terang Yuliana.

Akan tetapi, dampaknya bisa berbeda bagi istri kelas menengah ke atas. Istri pada strata ekonomi dan sosial yang lebih tinggi kemungkinan memiliki banyak akses terhadap sumber pendapatan dan jaringan bisnis.

"Dampaknya berbeda jika dilihat pada kelas menengah, mungkin lebih siap secara mental dan ekonomi. Sehingga perceraian lebih mudah dikelola. Mereka memiliki akses terhadap pekerjaan, jaringan, serta sumber daya untuk memulai hidup baru," ujarnya.

Yuliana menekankan pentingnya peran negara sebagai pelindung dan pemenuh kebutuhan warga negaranya, khususnya bagi perempuan ekonomi kelas bawah. Menurutnya, negara perlu memperkuat baik dari segi hukum, dukungan akses ke pekerjaan, hingga layanan konseling.

"Akar dari banyaknya konflik domestik justru terletak pada ketimpangan ekonomi struktural, bukan sekadar persoalan individu. Di sinilah pentingnya kehadiran negara melalui jaring pengaman sosial, dukungan hukum, akses kerja, dan layanan konseling yang terjangkau," harapnya.

"Fenomena ini merupakan cermin perubahan nilai yang lebih besar pada masyarakat di Kalteng. Perubahan ini menuntut adaptasi struktural, bukan sekadar penilaian moral atas benar dan salah. Keluarga yang sehat bukan lagi yang sekadar bertahan, tetapi saling melindungi, setara, dan aman bagi semua anggota," sambung Yuliana.

Diketahui, Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya juga telah melakukan beberapa upaya dalam merespon peristiwa tersebut. Di antaranya dengan memperbesar jumlah suami-istri yang berdamai, serta memberi penghargaan bagi para hakim yang bisa mendamaikan dua belah pihak.

"Pengadilan Tinggi Agama dalam masalah perceraian ini kita tidak bisa juga secara langsung ke masyarakat ya. Tapi kita melalui PA-PA di Kalteng dengan memperbesar mediasi atau meningkatkan jumlah orang yang berdamai. Kita nantinya akan memberikan reward atau penghargaan bagi hakim yang bisa mendamaikan dua belah pihak," tutur Humas PTA Palangka Raya, Mustar kepada detikKalimantan, Selasa (14/10).



Simak Video "Video: Calon Hakim Agung Lailatul Ungkap Solusi Turunkan Angka Perceraian"

(aau/aau)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork