Sebanyak 2.770 istri di Kalimantan Tengah (Kalteng) gugat cerai suami. Berdasarkan data Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Palangka Raya sepanjang bulan Januari hingga September 2025, menerima laporan cerai gugat dari pihak istri sebanyak 2.770.
Sedangkan laporan cerai talak dari pihak suami berjumlah 758. Humas PTA Palangka Raya, Mustar menjelaskan perbandingan gugat cerai dari pihak istri diperkirakan 5 banding 1.
Artinya, jika satu laki-laki yang menggugat cerai talak, maka pihak istri bisa sampai 5 orang yang melakukan cerai gugat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini selalu istri, perempuan. Jadi yang menggugat itu seringnya istri bukan suami. Dia berbanding 5, kalau satu laki-laki, nanti 5 perempuan yang mengajukan," ujar Mustar pada detikKalimantan, Selasa (14/10/2025).
Adapun penyebab utama faktor perceraian yang paling tinggi adalah 'Perselisihan dan Pertengkaran yang terjadi terus menerus'. Disusul faktor 'Meninggalkan Salah Satu Pihak', lalu yang ketiga faktor ekonomi.
Mustar mengungkapkan faktor 'Pertengkaran dan Perselisihan' diduga karena hadirnya orang ketiga. Orang ketiga tersebut disebut dapat bermacam-macam, kemungkinan bisa dari mertua, orang tua, hingga selingkuhan.
"Faktor penyebab terjadinya yang paling banyak itu perselisihan dan pertengkaran. Tapi perselisihan dan pertengkaran kan penyebabnya banyak tuh, bisa selingkuh, atau orang ketiga biasanya," terang Mustar.
"Orang ketiga ya entah mertua, orang tua, mertua, bisa juga orang lain," imbuhnya.
Jumlah faktor perceraian akibat 'Perselisihan dan Pertengkaran Terus Menerus' mencapai 2.840 kasus. Data tersebut tersebar sepanjang Januari hingga September 2025. Pada tahun sebelumnya, tahun 2024 faktor perceraian tertinggi juga masih sama, yakni perselisihan dan pertengkaran, jumlahnya 2.392 kasus.
Panitera Muda (Panmud) Hukum PTA Palangka Raya, Lisnawatie juga menjelaskan bahwa meskipun penyebab perselisihan dan pertengkaran tidak dapat diketahui putusan detailnya. Namun, diduga kuat faktor orang ketiga dapat mempengaruhi terjadinya perselisihan dan pertengkaran. Hal ini berdasarkan pasal yang digunakan yaitu Pasal 19 PP 9 Tahun 1975 jo Pasal 11 KHI tentang alasan perceraian.
"Tapi di tempat kami data itu dia tidak bisa dikategorikan sama-sama gitu. Jadi semua perselisihan terus-menerus, kita tidak mencari setiap putusan itu. Misal penyebab detailnya pelakor atau pebinor itu nggak bisa. Tapi disitu ujungnya adalah perselisihan. Karena pasalnya disitu ya tidak ada pebinor atau pelakor," ungkap Lisnawatie.
Lisnawatie juga menyampaikan faktor-faktor perceraian tersebut juga didorong oleh cara pandang yang sudah berbeda dari sebelumnya. Menurutnya, perempuan sekarang sudah jauh lebih berani untuk memutuskan dari hubungan yang sudah tidak dapat diperbaiki.
"Kenapa perceraian sekarang banyak oleh perempuan, itu mungkin cara pandang juga, cara pandang perempuan jaman sekarang yang sudah berbeda. Karena pertama sudah banyaknya keterbukaan informasi. Kedua, perempuan sekarang sudah punya keberanian. Ketiga, karena banyaknya informasi sekarang yang menekankan bahwa kita sebagai perempuan harus melindungi diri, kita berhak bahagia daripada bertahan dalam hubungan yang toksik," ujar Lisnawatie.
"Dulu kan perempuan memandangnya bercerai atau jadi janda itu masih tabu. Padahal dia sudah dipukuli suaminya. Tapi kalau sekarang ya mungkin daripada bertahan dalam hubungan yang toxic, makanya perempuan banyak yang memilih cerai," sambungnya.
(aau/aau)