Pondok Pesantren (Ponpes) Darussalam Martapura berdiri sebagai salah satu pusat pendidikan Islam tertua dan paling berpengaruh di Kalimantan Selatan, bahkan di Pulau Kalimantan. Letaknya berada di Tanjung Rema, Kecamatan Martapura, Kabupaten Banjar, Kalsel.
Bermula dari perjuangan ulama lokal dalam membangun tradisi keilmuan, spiritualitas, dan kaderisasi ulama sejak awal abad ke-20, pesantren berkembang menjadi lembaga pendidikan Islam yang terus menyesuaikan zaman.
Simak artikel ini untuk mengenal sejarah dari Ponpes Darussalam Martapura, lengkap dengan perkembangannya, yang dirangkum dari situs Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) serta studi di UIN Antasari.
Awal Berdirinya Ponpes
Martapura merupakan bekas ibu kota Kerajaan Islam Banjar yang memiliki sejarah religiusitas yang mendalam. Kota ini dikenal sebagai pusat penyebaran agama Islam, yang melahirkan banyak ulama besar.
Salah satu ulama terkemuka, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, mendirikan pesantren di desa Dalam Pagar Martapura yang menghasilkan banyak ulama dan da'i. Setelah wafatnya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari pada tahun 1777 M, Martapura tetap menjadi pusat studi agama di Kalimantan.
Pada awal abad ke-19, ide-ide pembaruan Islam mulai masuk ke Nusantara, termasuk Martapura. Kondisi pendidikan Islam saat itu masih tradisional, dilakukan di musala, surau, atau rumah para ulama.
Dorongan untuk melakukan pembaruan semakin menguat seiring dengan berdirinya sekolah-sekolah umum oleh pemerintah kolonial Belanda yang bertujuan untuk mengokohkan kepentingan kolonial dan misi kristenisasi.
Puncaknya, pada 14 Juli 1914, dengan dimotori oleh KH Djamaluddin, didirikanlah sebuah lembaga pendidikan Islam bernama "Madrasah Darussalam" di kampung Pasayangan Martapura. Madrasah ini kemudian berkembang menjadi pesantren.
KH Djamaluddin adalah pendiri sekaligus pimpinan pertama (1914-1919) dan juga dikenal sebagai presiden Syarikat Islam (SI). Pada masa awal berdirinya, pesantren ini masih menggunakan sistem pengajaran tradisional dengan materi terbatas pada bidang keagamaan. Pengajaran dilakukan dengan sistem halaqah, di mana para murid duduk mengelilingi guru tanpa mengenal kelas atau batasan umur.
Transformasi ke Sistem Klasikal
Setelah KH Djamaluddin wafat, kepemimpinan dilanjutkan oleh KH Hasan Ahmad. Namun, lompatan besar dalam pembaharuan pesantren terjadi di bawah kepemimpinan KH Kasyful Anwar (1922-1940).
Beliau dianggap sebagai pendiri sistem pendidikan pesantren di Darussalam Martapura karena melakukan reformasi fundamental. Di antaranya mengubah nama menjadi "Madrasatul 'imad fi Ta'limil Aulad Darussalam". Beliau juga merombak gedung lama menjadi bangunan baru yang bertingkat.
Beliau meninggalkan sistem halaqah dan memperkenalkan sistem klasikal atau madrasah dengan jenjang pendidikan yang jelas, yakni Tahdiriyah (3 tahun), Ibtidaiyah (3 tahun), dan Tsanawiyah (3 tahun). Beliau juga menyusun kitab-kitab standar untuk pengajaran.
Tantangan Masa Jepang hingga Kemerdekaan
Pada masa kepemimpinan KH Abdul Qadir Hasan, pesantren menghadapi pergolakan akibat pendudukan Jepang. Bangunan pesantren dipaksa menjadi asrama tentara, namun kegiatan belajar tetap dilanjutkan secara sembunyi-sembunyi di rumah-rumah para guru.
Setelah revolusi kemerdekaan, Darussalam bisa berkembang sangat pesat. Di bawah kepemimpinan KH Anang Sya'rani Arief (1959-1969) dan KH Salim Ma'ruf (1969-1976), dilakukan penyempurnaan sistem pengajaran, penambahan jumlah santri dan guru.
Selain itu, didirikan lembaga pendidikan lanjutan seperti Isti'dadul Mu'allimin Darussalam, yaitu Lembaga khusus untuk persiapan guru agama yang mulai memasukkan kurikulum pelajaran umum, serta Fakultas Syari'ah Darussalam untuk untuk tingkat perguruan tinggi.
(bai/des)