Micin dikenal sebagai bahan makanan yang biasanya dianggap berdampak buruk bagi tubuh. Lantas, bagaimana faktanya? Simak penjelasan ilmiah berikut ini.
Dikutip dari situs resmi Universitas Harapan Bangsa (UHB), nama ilmiah micin adalah monosodium glutamat alias MSG. MSG adalah zat yang bisa membuat makanan menjadi lebih lezat untuk disantap.
Lebih lanjut, berdasarkan informasi dari Healthline, MSG selaku penambah rasa telah digunakan luas selama sekitar 100 tahun. Selama bertahun-tahun pula, MSG dianggap sebagai bahan yang tidak sehat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apakah anggapan negatif yang melekat pada MSG bisa dibenarkan secara ilmiah? Temukan jawabannya dalam penjelasan lengkapnya yang telah detikJogja siapkan dalam uraian di bawah ini.
Apa Itu Micin Alias MSG?
Diringkas dari laman resmi Food and Drugs Administration (FDA), micin atau MSG adalah garam natrium dari asam glutamat, sebuah asam amino non-esensial. Asam glutamat sendiri bisa dijumpai dalam tubuh, makanan, dan bahan tambahan makanan.
Secara alami, MSG bisa ditemukan dalam banyak makanan seperti tomat dan keju. Pada 1908, seorang profesor Jepang, Kikunae Ikeda, berhasil mengekstrak glutamat dari kaldu rumput laut. Pada zaman modern ini proses pembuatan MSG sedikit berbeda.
Alih-alih mengekstrak dan mengkristalkan MSG dari kaldu rumput laut, saat ini micin diproduksi dari hasil fermentasi pati, bit gula, tebu, atau molase. Proses fermentasinya mirip dengan cara membuat yoghurt, cuka, dan anggur.
Micin memiliki rasa khusus yang dikenal sebagai umami, rasa tersebut berbeda dengan manis, asam, asin, dan pahit. Dengan adanya rasa umami di MSG menyebabkan sekresi saliva. Alhasil, mulut menjadi berair dan makanan terasa lebih enak.
Latar Belakang Anggapan Buruk Terhadap Micin
Pada 1960-an, seorang dokter Tionghoa-Amerika bernama Robert Ho Man Kwok menulis surat kepada New England Journal of Medicine yang menjelaskan bahwasanya dirinya mengidap sakit usai mengonsumsi makanan China.
Dokter tersebut berpikir bahwa rasa sakit yang menyerangnya mungkin disebabkan konsumsi alkohol, natrium, atau MSG. Hal ini kemudian memicu banyaknya informasi salah mengenai MSG. Terlebih saat itu ada prasangka buruk untuk imigran China dan kulinernya.
Menyusul surat dari Robert Ho Man Kwok, mulai bermunculan penelitian yang mendukung reputasi buruk MSG. Namun, penelitian-penelitian tersebut dianggap memiliki sejumlah kelemahan, mulai dari kurangnya ketepatan dosis, ukuran sampel kecil, hingga kelemahan metodologis.
Apakah Micin Berbahaya?
Dirangkum dari Forbes Health, pada 1990-an, the Food and Drug Administration (FDA) memberikan sejumlah ilmuwan tugas untuk menguji stigma negatif yang menempel pada micin. Hasil penelitian membuktikan bahwasanya MSG aman dikonsumsi.
Namun, orang yang mengonsumsi 3 gram atau lebih MSG tanpa makanan dan sensitif terhadap asam amino bisa mengalami gejala yang berlangsung beberapa saat. Adapun di antara gejala yang dimaksud adalah sakit kepala, mati rasa, dan kantuk.
Namun, jumlah tiga gram tanpa makanan ini akan sangat sulit terpenuhi secara sengaja. Sebagai perbandingan, pada 2023, asupan rata-rata makanan dengan tambahan MSG di Amerika Serikat, Eropa, dan Inggris adalah 0,6 gram per hari. Sementara itu, di wilayah Asia Timur, angkanya mencapai 1,6 hingga 2,3 gram per hari.
Lebih lanjut, Food Allergy Research and Education (FARE) menjelaskan, tubuh memetabolisme MSG tambahan dan MSG alami dengan cara yang sama. FARE juga tidak melaporkan adanya kasus alergi terkait kekebalan tubuh terhadap micin alias MSG.
Keterangan senada juga dijumpai dalam laman the European Food Information Council (EUFIC), studi ilmiah belum menunjukkan adanya kaitan langsung antara micin dan reaksi merugikan pada manusia yang mengonsumsinya.
MSG yang diberitakan menyebabkan segala macam penyakit, seperti sakit kepala dan asma, tidak terbukti berdasar penelitian terkini. Misalnya, sebuah penelitian mengenai kaitan asma dan MSG belum terbukti karena metode yang digunakan tidak tepat.
Adapun kesimpulannya adalah beberapa otoritas kesehatan, seperti FDA, the European Food Safety Authority (EFSA), dan Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA), menyimpulkan MSG bisa dianggap aman. Dengan catatan, asupan maksimal per harinya adalah 30 mg/kg berat badan.
Kontroversi Penelitian Baru dan Lama
1. Micin Memengaruhi Kesehatan Otak
Asam glutamat punya peran penting dalam fungsi otak. Misalnya, glutamat bertindak sebagai neurotransmitter, zat kimia yang merangsang saraf untuk mengirim sinyal. Beberapa penelitian mengklaim toksisitas otak bisa jadi disebabkan kadar glutamat yang berlebihan.
Faktanya, penelitian terbaru mengungkap bahwa setelah dicerna, MSG akan sepenuhnya mengalami proses metabolisme di usus. Alhasil, hampir tidak ada glutamat yang masuk dari usus ke dalam darah atau melewati barrier otak. Akhir kata, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan MSG memengaruhi kesehatan otak.
2. Micin Menyebabkan Obesitas
Anggapan ini muncul akibat penelitian pada hewan yang menghubungkan MSG dengan resistensi insulin, kadar gula darah tinggi, dan diabetes. Sayangnya, penelitian ini dilakukan dengan metode yang tidak tepat.
Lebih-lebih, data terbaru justru menunjukkan hasil berlawanan. Misal, penelitian dengan objek hewan terbaru membuktikan zat umami justru memiliki efek antiobesitas. Sebaliknya, penelitian lain tidak menunjukkan adanya efek pada berat badan.
Makanan yang Umumnya Mengandung Micin
Kembali dikutip Healthline, beberapa makanan yang umumnya mengandung micin adalah:
- Protein hewani: daging ayam, sapi, salmon, mackerel, kerang, dan udang
- Keju: parmesan, cheddar, dan roquefort
- Sayuran: tomat, bawang, kubis, bayam, brokoli, dan jamur
- Makanan siap saji: sup kaleng, makanan beku, keripik kentang, dan tuna kaleng
- Saus: saus tomat, mustard, mayones, dan barbekyu
Demikian penjelasan atas benar tidaknya micin atau MSG berbahaya bagi tubuh manusia. Semoga pembahasannya bermanfaat!
(par/dil)
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Mahfud Sentil Pemerintah: Ngurus Negara Tak Seperti Ngurus Warung Kopi
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan