Kabupaten Bantul memiliki beraneka ragam kuliner unik, salah satunya mi lethek. Mi lethek kerap menjadi bahan utama untuk olahan mi rebus, goreng, hingga plecing. Berikut sejarah mi lethek asli Bantul.
Generasi ketiga pembuat mi lethek tertua di Bantul, Yasir Ferry (49) mengatakan sebutan mi lethek sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Mengingat usaha mi lethek leluhurnya sudah ada sejak tahun 1940.
"Sudah sejak 1940, sejak perusahaan berdiri pertama kali orang-orang sudah menyebut begitu. Saat ini saya generasi ketiga dari kakek saya, perusahaan kami mie lethek cap Garuda, mi yang paling tua di Kabupaten Bantul," kata Ferry saat ditemui wartawan di Pantai Baru, Poncosari, Srandakan, Bantul, Sabtu (25/5/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Menurut Warga Bendo, Trimurti, Srandakan ini, penyebutan mi lethek karena warnanya yang cenderung gelap lantaran bahan bakunya dari tepung gaplek.
"Dinamakan mi lethek karena dulu itu warnanya sangat gelap, sehingga orang kampung itu menyebutnya lethek, karena warnanya kecoklatan," ujarnya.
"Karena proses pembuatan mi ini masih tradisional, tanpa pengawet dan pemutih, hanya tepung tapioka dan tepung gaplek," lanjut Ferry.
Cara Membuat Mi Lethek
Dalam membuat mi lethek, Ferry mengungkapkan, langkah pertama ialah merendam tepung gaplek untuk menghilangkan getahnya. Setelah itu tepung gaplek ditiriskan lalu dicampur dengan tepung tapioka di dalam silinder yang digerakkan menggunakan tenaga sapi.
"Setelah tercampur di situ kita tambahkan air. Begitu sudah betul-betul tercampur baru kita kukus lalu kita kembalikan ke silinder lagi," ucapnya.
Ketika di dalam silinder, Ferry harus memastikan lagi kadar air pada adonan mi. Apabila kadar air terlalu tinggi maka perlu menambah lagi dengan tepung tapioka kering.
"Setelah selesai kita pres menjadi bentuk mi. Kalau sudah jadi bentuk mi kita kukus lagi. Setelah matang pagi harinya kita rendam di ember untuk dihilangkan lendir lemnya lalu dibentuk kotak-kotak dan dijemur," katanya.
Oleh sebab itu, Ferry menyebut proses produksi mi lethek memakan waktu yang tidak sebentar.
"Pembuatan mie lethek bisa memakan waktu sekitar dua hari. Karena sistem kita masih sistem tradisional," ujarnya.
Dalam sekali produksi, Ferry bisa menghasilkan sekitar satu ton mi lethek. Dia bilang produksi sebanyak itu belum bisa mencukupi kebutuhan mi lethek di pasaran Bantul.
"Pemasaran lokal Bantul, tapi sebarannya ke mana-mana. Harga jual per pak isi lima kilogram Rp 100 ribu," ucapnya.
"Kita fokus di Bantul karena kapasitas produksinya kita untuk memenuhi Bantul saja masih kurang. Warung bakmi Srandakan Pandak sudah pakai ini," imbuh Ferry.
Kantongi Sertifikat Warisan Budaya Takbenda
Di sisi lain, Ferry mengungkapkan bahwa mi lethek sudah mengantongi sertifikat warisan budaya takbenda (WBTb) dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
"Mi lethek ini makanan khas Bantul dan sudah jadi ikon Bantul, bahkan mendapatkan sertifikat warisan budaya takbenda (WBTb) dari Kementerian Kebudayaan (Kemendikbudristek)," kata dia.
Baca juga: Ndaskilung, Olahan Kambing Unik Asal Bantul |
Sementara itu Plt Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Bantul, Pamuji membenarkan jika mi lethek sudah mengantongi sertifikat WBTb. Semua itu tertuang dalam surat keputusan (SK) dengan nomor 362/M/2019.
"Mi Lethek ini sudah menjadi WBTb sejak tahun 2019,"kata Pamuji.
(dil/cln)
Komentar Terbanyak
Jokowi Berkelakar soal Ijazah di Reuni Fakultas Kehutanan UGM
Blak-blakan Jokowi Ngaku Paksakan Ikut Reuni buat Redam Isu Ijazah Palsu
Tiba di Reuni Fakultas Kehutanan, Jokowi Disambut Sekretaris UGM