Pakar UGM Sebut Masuk Angin Bukan Penyakit Medis tapi Fenomena Budaya

Pakar UGM Sebut Masuk Angin Bukan Penyakit Medis tapi Fenomena Budaya

Serly Putri Jumbadi - detikJogja
Senin, 16 Jun 2025 12:19 WIB
ilustrasi sakit
Ilustrasi masuk angin. Foto: iStock
Sleman -

Masuk angin dikenal umum masyarakat Indonesia sebagai salah satu gangguan kesehatan. Pakar Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebut masuk angin merupakan fenomena budaya, di mana dalam dunia medis modern tak tercantum sebagai penyakit resmi.

Hal ini disampaikan Guru Besar Bidang Antropologi Kesehatan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Prof. Dr. Atik Triratnawati. Masuk angin merupakan sebutan yang berkembang dalam suatu komunitas.

"Penyakit dan rasa sakit itu dipengaruhi oleh penderitanya. Rasa sakit dan penyakit itu dibentuk oleh komunitas tempat penderita itu merasakan sakit. Sehingga label sakit, penyembuhannya, gejala, recovery, dan sebutan-sebutan khusus itu dipengaruhi oleh budaya si penderita," ujar Atik saat dihubungi detikJogja, Senin (16/6/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Maka, menurut Atik, masuk angin merupakan fenomena sosial budaya dari masyarakat. Sehingga, masuk angin dikonstruksikan sebagai penyakit oleh komunitas tersebut.

"Maka penyakit menurut fenomena sosial budaya itu penyakit dilihatnya dari sisi si sakit, apa yang dirasakan si sakit, apa yang dikonstruksikan penyakitnya itu oleh si sakit. Pendeknya semua basisnya itu dari pasien dan komunitasnya. Karena pasien dibentuk oleh komunitas," jelasnya.

ADVERTISEMENT

Sebab, masuk angin sendiri tak tercatat sebagai penyakit resmi di dunia medis modern. Dalam medis, gejala-gejala masuk angin lebih mengerucut ke penyakit flu.

"Karena masuk angin itu tidak ada di dalam kamus medis modern. Jadi tidak ada penyakit masuk angin, kata dokter. Adanya common cold atau flu. Sehingga dokter menyembuhkan masuk angin dengan obat flu atau obat common cold, panas dingin itu," tuturnya.

"Padahal konstruksi orang Jawa, masuk angin itu berbeda dengan flu, beda dengan common cold. Sehingga orang Jawa tidak mengobati dengan obat turun panas, obat menghilangkan pusing," jelas Atik.

Atik turut menjabarkan tiga jenis penyakit dalam antropologi kesehatan seperti magico religious model, kedua biomedical model, ketiga holistik model. Masuk angin sendiri masuk model holistik.

"Masuk angin itu masuk yang holistik, bukan yang magico religious. Jadi yang tradisional itu ada dua, tetapi khusus masuk angin itu yang holistik atau unsur panas dingin, yang dominan. Jadi nggak ada kaitannya dengan disihir atau diguna-guna," ungkapnya.

Adapun jenis masuk angin, Atik juga menjelaskan terdapat tiga jenis masuk angin. Yakni masuk angin ringan, berat, dan kasep.

"Jadi masuk angin ringan itu gejalanya seperti kembung, panas, dan pegal-pegal.Masuk angin berat ada tambahan dua gejala, mutah dan mencret. Kalau masuk angin kasep itu kelas yang paling tinggi. Itu gejalanya tidak dirasakan oleh penderita, tapi penderita tiba-tiba mengalami shock karena sesak napas," jelasnya.

"Kalau orang medis menyebut serangan jantung, itu kasep. Tidak pernah dirasakan, tidak pernah dikerok, tidak pernah diobati, tapi dipakai kerja terus. Akhirnya gejala itu akan datang tiba-tiba dalam bentuk serangan jantung. Biasanya tidak tertolong," ungkap Atik.

Untuk penanganan dari tiga jenis masuk angin tersebut bermacam-macam. Ati menyebut terdapat beberapa penanganan sederhana hingga medis untuk mengobati masuk angin.

"Banyak pengobatan sederhana untuk menggantikan kerokan. Misalnya minum kopi panas, jahe panas, the panas, terus leren atau berhenti, istirahat. Bisa juga pijat, itu cara sederhana. Karena kalau kerokan itu dia nyeri. Begitu dipijat seluruh tubuh, suhu turun dan sembuh," tuturnya.

"Kalau kasep,bisa diselamatkan, tapi harus medis modern atau ke dokter. Tapi karena orang awam, biasanya kaget, pasien dibiarkan ya bablas. Umumnya meninggal nggak ada yang terselamatkan. Tapi kalau orang pemahaman cukup, paham medis tradisional dan modern. Waktu serangan itu atau sesak napas, langsung dilarikan ke rumah sakit. Di IGD itu ada pertolongan pertama untuk serangan jantung. 15 menit pertama itu menentukan sembuh tidaknya pasien," pungkas Atik.




(apl/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads