Selokan Mataram merupakan salah satu kanal irigasi yang menyimpan sejarah perjuangan di masa penjajahan Jepang. Selokan Mataram ini ternyata merupakan salah satu taktik Raja Keraton Jogja, Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk menghindari masyarakat dari kerja paksa atau romusha. Seperti apa kisahnya?
Sebagai informasi Selokan Mataram terbentang dari Sungai Opak dan Sungai Progo dengan panjang 30,8 kilometer. Selokan ini dibangun pada masa penjajahan Jepang sekitar tahun 1943.
"Waktu zaman Jepang namanya kanal Yusheiro, Gunsei Yosuiro, mungkin itu namanya. Suiro itu aliran air, gunsei itu kan pemerintah militer," terang dosen sejarah Universitas Sanata Dharma Jogja, Aji Cahyo Baskoro, saat dihubungi detikJogja, Jumat (15/9/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pembangunan Selokan Mataram ini diinisiasi Sultan HB IX. Kala itu kondisi Jogja mengalami kekeringan sehingga membutuhkan pengairan agar hasil pertanian melimpah.
"Nah jadi ketika Selokan Mataram ini dibangun tentunya supaya misalnya lahan-lahan pertanian bisa teririgasi dengan baik sehingga hasil pertanian meningkat. Kalau hasil pertanian meningkat, logikanya Jepang masih berkuasa kan jatah yang didapat Jepang kan semakin banyak juga. Karena pada waktu itu pemerintah lokal atau warga itu kan harus menyerahkan beberapa persen hasil pertanian kepada pemerintah pendudukan," jelas Aji.
Oleh karena itu selama proses pembangunan kanal Yosuiro atau Selokan Mataram ini diawasi pemerintah Jepang. Mereka tidak menentang dan justru membiayai pembangunan saluran irigasi ini.
Dikutip dari situs Pemprov Jogja, Pemerintah Jepang mengeluarkan anggaran senilai 1,6 juta gulden untuk 1,2 juta buruh yang diupah 68.000 per orangnya.
"Jadi waktu itu memang sejak pertama kali dilantik menjadi Sultan, Sultan HB IX itu sudah punya visi tentang kesejahteraan. Misalnya lewat irigasi kemudian peningkatan produksi pertanian, penghijauan. Waktu itu Selokan Mataram jadi salah satunya," jelas Aji.
Upaya pembangunan kanal irigasi ini dilakukan Sultan HB IX agar masyarakat Jogja tidak dipekerjakan menjadi romusha di luar kota. Kala itu, warga yang terlibat pembangunan Selokan Mataram akhirnya terbebas dari romusha.
"Tapi ya memang pada waktu itu konteksnya adalah romusha. Waktu itu Sultan menawarkan bagaimana kalau dibuat proyek yang menyambungkan kedua sungai di Jogja, Sungai Opak dan Sungai Progo. Nah itu ternyata disetujui sama Jepang. Kemudian ya dikerahkan lah warga ke sana untuk melakukan itu," jelasnya.
"Di satu sisi memang konteksnya romusha tetapi kalau saya baca di beberapa kesaksian orang yang pernah menggali itu mereka bekerjanya itu mirip dengan kerja bakti," pungkas Aji.
Artikel ini ditulis oleh Galardialga Kustanto dan Elisabeth Meisya peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(ams/rih)
Komentar Terbanyak
Mencicip Kue Kontol Kejepit di Keramaian Pasar Kangen Jogja
Sederet Fakta Heboh Surat Perjanjian SPPG Minta Rahasiakan Kasus Keracunan
Cara Membuat Kue Kontol Kejepit yang Rasanya Manis, Cocok untuk Pendamping Kopi