Seorang warga Babadan, Gedongkuning, Banguntapan, Bantul menyulap limbah kayu menjadi tableware atau perlengkapan makan. Bahkan, penjualan kerajinan tersebut sudah merambah pasar internasional dan mampu meraup omzet ratusan juta per bulannya.
Pendiri Rubycraft, Ahmat (32), menjelaskan bahwa awalnya bekerja sebagai supervisor di toko kerajinan bandara. Saat itu, Ahmat melihat banyak kerajinan berbahan baku kayu dan tertarik untuk memproduksinya sendiri.
"Lalu saya dan beberapa orang belajar otodidak karena memang tidak punya basic perajin, dan mulai produksi dengan modal Rp 2 juta dari gaji jadi supervisor saat itu," katanya kepada wartawan di workshopnya, Babadan, Banguntapan, Bantul, Senin (29/7/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah mampu memproduksi sendiri, lulusan jurusan manajemen UPN Veteran Jogja ini mulai mendirikan Rubycraft pada tahun 2019. Ahmat menjelaskan bahwa Rubycraft sendiri memiliki arti khusus.
"Nama Rubycraft itu dari nama ibu saya yaitu Rubiyanti," ujarnya.
Untuk bahan baku produk, Ahmat mengaku memanfaatkan limbah kayu dari industri kayu grade A atau kualitas terbaik. Limbah-limbah itu Ahmat dapatkan dari luar Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
"Karena melihat banyak kayu ranting di sekitar di pabrik tahu, terus kita olah jadi telenan, piring, mangkok atau yang disebut tableware yang memiliki nilai jual lebih, daripada hanya menjadi kayu bakar," ucapnya.
![]() |
Menurutnya, penggunaan bahan dari limbah kayu itu yang menjadi ciri khas tersendiri untuk produknya. Pasalnya sudah banyak produk serupa di pasaran dan Ahmat harus memiliki ciri khusus agar berbeda dari lainnya.
"Kalau ciri khas menggunakan kayu perhutani, grade A bukan kayu dari Wonosari atau Wonogiri itu bukan, tapi dari Blora. Tetep jati tapi grade yang bagus, warnanya coklat tua, bukan jati muda," jelasnya.
"Jadi kita ambil yang di sana itu ada yang limbah, ada yang akar, terus kita potong-potong. Hampir seratus persen limbah, luar Jogja, Blora, Gresik. Karena persaingan ketat, dari Jogja sendiri juga banyak, jadi kita pakai bahan yang bagus sekalian untuk menghindari perang harga di bawah," lanjut Ahmat.
Saat ini, Ahmat mengaku telah memiliki 20-30 karyawan dam semuanya merupakan warga Babadan. Mengingat dalam sebulan Ahmat mengaku mampu memproduksi tableware berbahan baku limbah kayu hingga ribuan buah.
"Produksinya sampai 10 ribu per bulan, tapi tergantung pesanannya juga. Kalau untuk harga dari Rp 5 ribu, Rp 50 ribu sampai Rp 250 ribu," katanya.
Sedangkan pemasarannya, Ahmat mengaku sudah merambah pasar internasional. Namun, saat ini untuk pasar internasional Ahmat fokus di Asia.
"Pembeli semua segmen kita masuk, ada yang lokal, ekspor, marketplace, offline hingga online. Kalau yang paling banyak itu dari bisnis to bisnis seperti punya toko terus dijual lagi," ujarnya.
"Kalau ekspor ke Jepang, Malaysia, Spanyol. Saat ini sedang penjajakan juga ke market Asia karena Eropa lagi lesu," imbuh Ahmat.
Ahmat menambahkan, bahwa ke depannya bakal melebarkan sayap ke dekorasi dari limbah kayu. Semua itu agar produknya lebih bervariasi dan bisa mencakup pasar yang lebih luas.
"Kalau produk lebih kuatnya ke tableware, seperti piring, mangkok, sendok, garpu vas bunga dan juga produk yang ada di atas meja. Tapi kita semakin ke sini mengembangkan produk home dekor, jam kayu, jam meja dan lain-lain," ucapnya.
(cln/ahr)
Komentar Terbanyak
Jokowi Berkelakar soal Ijazah di Reuni Fakultas Kehutanan UGM
Blak-blakan Jokowi Ngaku Paksakan Ikut Reuni buat Redam Isu Ijazah Palsu
Tiba di Reuni Fakultas Kehutanan, Jokowi Disambut Sekretaris UGM